In Memoriam of Neng Neng

2:41:00 PM Unknown 0 Comments

Jaman SD di Gehol dulu, Indonesia masih dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai negara agraris. Gehol alias Jetak tentu berada dalam garis untuk mendukung pernyataan tersebut. Maka, jadilah tanah kelahiranku sebagai desa yang setia menjadikan warganya petani.

Salah satu ciri dari masyarakat tani adalah “tidak” butuhnya banyak hal. Listrik yang belum menyala waktu itu kami anggap sebuah keniscayaan.  Tidak ada gejolak apalagi menuntut agar pemerintah memenuhi yang satu ini. Kami, termasuk aku yang masih SD, sudah sangat gembira jika ada tetangga yang memiliki TV dan aki sekaligus.

Malam hari bisa menonton TV bersama tetangga yang kadang jika pelitnya kumat hanya membolehkan kami mengintip lewat kaca yang juga sudah serapat mungkin ditutupi horden. Siang hari, jurus curi-curi waktu dikeluarkan, sebab Mahabaratha ala India waktu itu ditayangkan TPI di siang hari pas jam istirahat kedua.

Meski tanpa listrik, hanya sedikit siswa SD di Gehol yang terlambat. Sebab sekolah adalah pembebasan anak-anak dari tugas yang lebih berat, bertani dan beternak. Maka tak heran, saat aku yang tak punya sawah dan kebun terus sekolah para tetangga menysinyalir kegetolanku sekolah hanya karena malas bertani.

Padahal, waktu itu alat pemanggil sekolahku amatlah sederhana. Bahkan jika dilihat dari kacamata kemajuan saat ini, maka alat tersebut sungguh sangat jauh dari fungsi asalnya. Sekolahku saat pertama aku masuk hanya menggunakan sebatang besi berkarat yang digantung di teras kelas. Alat pemukulnya sendiri hanya bisa diakses oleh penjaga sekolahku, Pak Amet. Semoga Tuhan memberkati Beliau.

Kenapa hanya Pak Amet yang bisa mengakses alat tersebut? Sebab sedusun apapun kami anak-anak Gehol yang telah diselamatkan oleh sekolah sehingga bebas dari capainya bertani tentu tetap saja merasa jenuh dengan aneka pelajaran. Bagi beberapa anak yang berani, menabuh Neng-Neng (loncengnya dinamakan demikian karena bunyinya mendekati kata itu di telinga kami), dengan batu untuk kemudian lari.

Demi mendengar bunyi neng-neng tersebut, biasanya para siswa yang ada didalam akan tetap rebut meski tahu bahwa Neng-Neng bukan dipukul oleh petugas yang memiliki mandat. Bagaimanapun, bunyi besi yang dipukul besi akan berbeda dengan bunyi besi yang dipukul dengan batu.

Ternyata, bukan hanya sekolah kami saja yang menggunakan benda tak layak untuk dijadikan alat pemanggil murid-muridnya. Banyak di tempat lain di masa itu yang menggunakan beraneka benda yang bisa berbunyi nyaring mengalahkan riuhnya anak-anak bermain silat ala Tutur Tinular.

Sebagian ada yang memakai bagian dari per daun, veg mobil, atau bagian dari kontruksi bangunan. Semuanya berupa besi atau logam. Ada juga sekolah yang terbilang mampu membelinya berupa tabung yang pemukulnya menggantung di dalamnya.

Untuk lonceng yang satu ini, penjaga sekolah tinggal menggoyannya dan berbunyilah lonceng tersebut. Mekanismenya sama dengan lonceng gereja yang belakangan sering kulihat saat berkelana di Ibu Kota Jakarta. Dalam kacamata dusunku, lonceng gereja adalah alat yang digunakan tukang es di kampungku. Hanya ukuran yang membedakan keduanya.

Kini, Neng-Neng sudah banyak diganti dengan bel listrik. Tentu saja karena listrik telah menjamah kampungku sejak belasan tahun lalu. Semoga, semangat anak-anak Gehol tidak lagi mewarisi semangat sebagian besar dari kami dahulu. Sekolah sebagai ajang pembebasan diri dari kerja keras yang lebih berat dibandingkan menghitung, mengeja, dan menulis. Semoga.

0 comments: