In Memoriam of Cecetoran

3:16:00 PM Unknown 0 Comments

Mari kembali menelusuri jaman ketika kesederhanaan menguasai benak. Saat pikiran diperas sedemikian banyak karena sedikit sekali alat bantu di sekitar kita. Ketika uang tidak bisa memberikan segalanya karena banyak harta berlimpah meski dalam bentuk yang tak terduga.

Di masa itulah cecetoran dan susumpitan menguasai relung-relung ingatan bocah-bocah telanjang dada di Gehol. Yang menghabiskan waktu bermain kejar-kejaran dengan temannya seraya berperilaku layaknya Rambo, pejuang, atau musuh negeri ini, kompeni.

Kenapa cecetoran dan susumpitan memiliki nilai lebih dari mainan yang berserakan kini di tiap rumah anak-anak Gehol yang sudah lebih banyak menyimak TV daripada ustadz? Karena untuk mendapatkan kedua benda tersebut dibutuhkan perjuangan lebih dari sekedar merengek kepada orang tua. Di jaman kedua benda ini Berjaya, uang tidak bisa membelinya

1. Cecetoran
Mainan ini adalah senjata paling purba yang bisa ditiru oleh anak-anak kreatif Gehol. Pembuatannya membutuhkan pengalaman dan insting yang tajam. Lebih tajam dari silet! (hehehehe). 

Yang harus dilakukan pertama kali adalah memilih bambu yang kuat terhadap tekanan. Bambu yang dipilih harus jenis khusus, yang tahan terhadap cuaca dan harus basah selama mungkin. Biasanya pilihan jatuh pada Bambu Tali, yaitu jenis bambu yang memiliki kelenturan lebih dibanding bambu-bambu yang lain.

Pilihan bambu juga harus mempertimbangkan besar lubang bambu yang hendak dijadikan cecetoran. Terlalu kecil akan membuat cecetoran “berdaya ledak”  rendah dan memiliki jangkauan yang pendek. Jika kebesaran, tentu saja akan menghabiskan bahan baku peluru yang biasanya kertas yang dibahasi.

Jika sudah mendapatkan bambu yang tepat dengan lubang yang sesuai, maka buatlah kokang yang juga terbuat dari bambu. Kokang inilah yang nantinya akan menyodok peluru sehingga desakan udaranya akan menimbulkan bunyi dan kertas yang didorong akan muntah dan meluncur membidik sasaran.

Cara mainnya mudah saja. Masukkan satu peluru dan biarkan ia tetap ada di ujung cecetoran. Selanjutnya, masukkan lagi peluru lainnya dan dorong dengan kokang dengan kekuatan secukupnya. Peluru yang kedua akan mendesak udara dalam lubang bambu dan mendorong peluru pertama dan cetor!

Cetor adalah bunyi yang keluar dari “senjata” mainan tersebut. Oleh karena itulah benda tersebut dinamakan cecetoran. Mungkin Syahrini waktu kecil suka main cecetoran sehingga saat dewasa suka bicara cetar membahan. (:p)

2. Susumpitan
Untuk yang satu ini, bambu yang dibutuhkan adalah jenis Tamiang. Bambu tamiang lebih sulit didapatkan karena biasanya ia tumbuh liar di hutan di perbukitan sekitar Gehol alias Jetak. Untuk mendapatkannya, anak-anak Gehol biasanya bergerombol mencari ke hutan. Saking inginnya mendapatkan Tamiang terbaik, terkadang anak-anak Gehol sampai harus mendaki Gunung Cikadingding atau Gunung Geulis.

Untuk dijadikan susumpitan, dibutuhkan Tamiang yang sudah menguning. Berlawanan dengan cecetoran yang berbahan baku bambu muda, susumpitan memilih yang tua. Sebab bahan baku pelurunya berbeda sama sekali.

Anak-anak biasanya mengangkut Tamiang sebanyak yang mampu diangkut. Hal ini karena susumpitan memiliki variasi bentuk yang sangat beraneka tergantung seberapa kuat imajinasi, seberapa sabar membentuk, dan seberapa banyak karet yang kau punya.

Pilihlah Tamiang dengan lubang sedang yang paling panjang yang akan dijadikan laras utama. Selanjutnya, potong-potong Tamiang lainnya sesuai kebutuhan. Susun dan rakit dengan karet Tamiang yang telah dipotong-potong sesuai kebutuhan tersebut. Ada yang digunakan sebagai alat membidik alias mengeker dan pegangan.

Bentuk susumpitan biasanya dibuat seseram alias secanggih mungkin meniru senjata paling canggih saat itu. Anak-anak gehol akan meniru senapan mesin yang biasa disebut Bren. Meski hanya mampu menembakkan peluru sebanyak mulut kuat menyimpannya.

Pelurunya biasanya terbuat dari buah Hareba yang bulat-bulat sebesar telur Cicak. Buah ini tumbuh liar di sekitar Gehol alias Jetak. Namun demi mendapatkan peluru sebanyak mungkin, tak jarang anak-anak sampai harus bergelirya ke hutan di sekitar Gehol. Terkadang, tanah liat juga dijadikan peluru (jorok bukan?). Tanah liat akan diletakkan tepat di pangkal susumpitan dan dibentuk bulat kecil agar muat di lubang susumpitan.

Cara memainkannya sangat sederhana, hanya butuh kekuatan mulut saja. Peluru-peluru tadi ditiup oleh mulut, layaknya menggunakan sumpit suku-suku terasing. Jadi kebayang bukan bagaimana “rekasa”-nya anak-anak Gehol dalam bermain perang-perangan. Mulut penuh peluru yang siap disemburkan melalui susumpitan.

0 comments: