Gunung Sagara: Tempat Mengintip Neraka

1:15:00 PM Gehol Gaul 37 Comments


Gunung Kumbang (didiwiardi.multiply.com)

Di tempatku tepatnya di Marenggeng sana, daerah ini merupakan tetangga kmpungku, terdapat seorang kuncen dari sebuah gunung yang penuh sejarah dan misteri. Gunung ini dijadikan rujukan bagi kekuatan mistik di daerahku. Sayangnya karena fokus pada kekuatan mistik yang digali, keluhuran dan nilai sejarahnya justru terlupakan. Di gunung ini berbagai mitos dan cerita menganai dunia lain terangkum begitu kuat. Gunung ini adalah Gunung Sagara.

Gunung Sagara ada yang menyebut sebagai anak dari Gunung Kumbang, namun ada juga yang menyebut Gunung Sagara adalah Gunung Kumbang itu sendiri. Gunung Sagara sendiri dinamakan demikian karena gunung ini memiliki kesamaan dengan sagara (lautan) yang jika diarungi dengan tidak dengan bijaksana bsa menyesatkan. Ada juga yang menganggap nama sagara berasal dari sebuah danau terpendam yang ada di dalam perut gunung yang sebagian besar hutannya masih alami ini.

37 comments:

Mereka Bukan Sekedar Angka

9:45:00 AM Gehol Gaul 0 Comments


Peduli AIDS

Melihat ODHA bukan sekedar melihat deretan angka. Meski angka penting untuk menggambarkan betapa mengerikannya HIV/AIDS, namun mengatasinya hanya berdasarkan hitung-hitungan angka tentu kurang efektif. Mereka bukan sekedar angka-angka, mereka nyata adanya. Karena mereka nyata, maka yang dibutuhkan untuk mengatasinya bukan sekedar seabrek tips dan petunjuk di atas kertas.

Sebagaimana menurut Ketua Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sugiri Syarief, ungkapkan bahwa epidemi HIV telah terjadi di Indonesia. Bahkan menurutnya, Indonesia merupakan negara dengan penularan HIV tercepat di Asia Tenggara.  Berdasarkan data resmi Kementerian Kesehatan, kata Sugiri, sekitar 26.400 pengidap AIDS dan 66.600 pengidap HIV positif, lebih dari 70 persen di antaranya adalah generasi muda usia produktif yang berumur di antara 20-39 tahun1.  Ini hanya di Indonesia, lihat angka-angka fantastis yang berasal dari seluruh dunia di bawah ini.

0 comments:

Sekolah Bercelana Jeans dan Telanjang Kaki

10:38:00 AM Gehol Gaul 2 Comments

Ilustrasi (suaramerdeka.com)
Dulu, sekitar tahun 90-an, Gehol masih belum dialiri listrik dan jalanan masih banyak yang berlumpur. Di Gehol, hanya ada dua sekolah dasar, TV yang bisa dihitung dengan jari sebelah tangan dan tiga pesantren yang ramai.

Bisa ditebak bagaimana keseharian warganya. Si kecil balita bermain belepotan lumpur setiap hari. TK adalah kemewahan yang saat itu belum kami kenal. Setiap jam penayangan film favorit, anak-anak berkumpul di salah satu rumah penduduk yang memiliki TV. Sepulang sekolah kami akan bergerombol bermain dan di malam hari yang ada hanya bermain dan mengaji.

Dilihat dari sudut kemajuan jaman mungkin jaman itu terkesan terbelakang. Namun dari sisi kepedulian sosial masa itu adalah masa keemasan. Saat itu, tak ada warga desa yang tak kenal sesam warga. Tak ada teras rumah yang kosong di sore hari. Semua orang yang berbaris di teras masing-masing berbincang dengan sesama tetangga tanpa gangguan sinetron, siaran langsung olahraga, update status, sms, atau dering telepon.

2 comments:

Xlangkah Lebih Erat dengan Keluarga

3:40:00 PM Gehol Gaul 0 Comments

Ilustrasi Kedekatan Keluarga (google.com)
Apa tujuan utama dari kemunculan berbagai alat komunikasi mulai dari telepon, ponsel, hingga internet? Percaya atau tidak ada unsur keluarga atau orang yang dicinta di belakang itu semua.

Marilah kita tengok ke belakang, dulu pada tahun 1876 seseorang berhasil menemukan sebuah perangkat yang dapat digunakan untuk berkomunikasi menggunakan media kabel. Alexander Graham Bell adalah orang itu. Berkat beliau kita bisa melakukan komunikasi dengan menggunakan media kabel.

Bell lahir pada tanggal 3 Maret 1847 di Edinburg, Scotland. Bell berasal dari keluarga yang sangat mementingkan pendidikan. Ayahnya adalah seorang psikolog dan elocution bernama Alexander Melville Bell, sedangkan kakeknya Alexander Bell merupakan seorang professor elocution.

0 comments:

Rafting ala Bocah Gehol

9:57:00 AM Gehol Gaul 4 Comments

Ilustrasi Ngalun (http://binoracom.wordpress.com)
Bagi siapapun yang hobi mengarungi derasnya arus sungai, maka belum lengkap jika belum mengetahui bagaimana kami, bocah-bocah dari Gehol yang miskin, menaklukkan arus sungai Cigunung. Sungai yang membentang dari Gunung Jaya di Kecamatan Salem sana dan bermuara di Sungai Cipamali.

Jika biasanya rafting dilakukan dengan perlengkapan keamanan yang lengkap, memakai alat yang dirancang khusus dan didampingi oleh instruktur, maka kami melakukannya hanya dengan satu syarat: nyali! Hanya ada satu syarat yang mesti dipenuhi selain nyali yaitu musim hujan. Sebab karakter sungai-sungai di Jawa kebanyakan sungai musiman. Kering di musim kemarau dan meluap di musim hujan.

Mari menelusuri kelakuan kami dahulu semasa bocah kala bermain di sungai. Bagi kami bocah Gehol, kemampuan berenang itu wajib dimiliki. Kami para bocah biasa melatih kemampuan renang kami di Ciparigi, Petahunan dan Cileuwi. 

4 comments:

Menyelamatkan Air, Menyelamatkan Peradaban

11:13:00 AM Gehol Gaul 4 Comments


Banjir Besar karya Raden Saleh (id.wikipedia.org)

Air adalah kehidupan dan kehidupan selalu berkaitan dengan air. Air, bersama udara, menjadi satu-satunya faktor penentu sebuah daerah layak atau tidak dihuni. Tak heran jika selama ini setiap misi ke luar angkasa dikhususkan untuk menemukan air dan oksigen. Tak heran jika sebuah planet dengan kemungkinan memiliki air selalu menjadi tujuan utama eksplorasi luar angkasa.

Kepentingan akan air sebenarnya sudah terbukti dan diwujudkan oleh para pendahulu kita. Sederet peradaban kuno selalu bersanding dengan sumber air dan alirannya sebagai penunjang kemajuan peradaban mereka. Mesir bisa menjadi peradaban penuh misteri tentu karena ada Sungai Nil. Demikian juga dengan Mesopotamia dengan peradaban Sumeria Akkadia, Assyria dan Babilonia. Jangan lupakan peradaban India Kuno dengan Mahenjo Daro dan Harappa. Perhatikan juga Tiongkok Kuno, Persia Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno/Kekaisaran Romawi, Makedonia, Kartago. Bahkan Inca, Maya, Aztek dan Maurya tak luput dari peran air. Dari kesemuanya mungkin hanya peradaban Inca saja yang beristana jauh dari aliran sungai atau laut.

4 comments:

Petahunan: Kisah yang Tak Tercantum

4:35:00 PM Gehol Gaul 1 Comments

Bendungan Petahunan, Jetak, Sindangwangi, Bantarkawung, Brebes
Bendungan Petahunan telah diceritakan dalam artikel terdahulu berjudul Petahunan dan Legendanya. Kali ini akan saya ceritakan mengenai asal usul nama Petahunan. Kisah ini sayangnya tidak terdokumentasikan dengan baik. Hanya melalui mulut ke mulut para tetua kampungku.

Petahunan biasa dilogatkan warga Gehol dengan kata pataunan. Awalnya saya mengira kata tersebut berasal dari kata taun. Dengan mengambil taun debagai kata dasar, maka pataunan awalnya saya kira berarti setiap tahun. Namun, semuanya ternyata salah setelah saya berdiskusi dengan beberapa orang tua di kampungku.

Menurut mereka kata Patahunan berasal dari Ki Matahun alias Aki Matahun. Menurut mereka, Aki Matahun ini adalah orang kepercayaan Arya Jipang. Uniknya, hanya terpaut jarak sekitar 20 kilometer dari kampungku, terdapat Desa Jipang. Jelasnya bisa dilihat di wikipedia

1 comments:

Sebiasa Apapun, Mereka Tetap Luar Biasa

3:01:00 PM Gehol Gaul 4 Comments

Kita Semua Sama, Tanpa Kecuali
Sering melihat ODHA yang berprestasi? Tentu saja mereka patut diacungi seluruh jempol yang dimiliki oleh kita. Mereka adalah salah satu contoh figur yang tidak menyerah meski sebuah tembok besar menghalangi pandangan, kreatifitas hingga gerak mereka.

Karena dunia ini bersifat kompetitif, maka tentu saja tidak mungkin semua ODHA akan seterkenal mereka yang biasa menghiasi media. Layaknya kita manusia biasa, ada sedikit yang dianggap berprestasi dan berguna bagi masyarakat. Sebagian besar lainnya dari kita tentulah menjalani kehidupan yang dianggap biasa saja bahkan tanpa arti.

Lalu bagaimanakah memberi apresiasi bagi mereka yang sama seperti kita, menjalani hidup yang biasa saja? Yang memiliki jalan sama seperti kita pada umumnya? Karena bagiku, memperhatikan mereka yang mayoritas ini tentu sangat penting.

4 comments:

Dangiang: Sang Penentu Pemimpin Gehol

2:39:00 PM Gehol Gaul 2 Comments


Di kampungku, Gehol sana, seseorang sehebat apapun belumlah bisa memimpin jika belum didatangi oleh Dangiang. Dangiang sendiri dipercaya sebagai penguasa alias pemilik Gehol.

Dangiang bisa berbentuk apa saja. Namun, yang paling sering ia berupa cahaya seperti selendang yang masuk atau mengarah ke rumah seseorang yang akan memimpin desa atau kampung. Meski itu cuma mitos, namun kehadirannya biasa ditunggu oleh para pendukung sang calon pemimpin. Bahkan, mereka biasa bergadang sambil menyaksikan kemanakah Sang Pemilik Kampung mengarah.
Ilustrasi Dangiang
 
Kehadiran Dangiang biasa menjadi semacam bumbu dari perebutan kekuasaan di kampungku. Karena hanya sebuah desa, maka perebutan kekuasaan melalui arena pilkades tidak lengkap tanpa adanya Dangiang. Uniknya, kehadiran Dangiang ke rumah salah seorang kandidat dijadikan rujukan oleh para swing voter di kampungku. Mereka beranggapan bahwa hanya pemimpin yang disrestui oleh Dangiang-lah yang mampu membawa perubahan positif.

Dangiang kemungkinan berasal dari kata Hyang yang berarti Yang Maha. Ia merujuk pada kekuatan gaib penguasa tempat atau alam semesta.Bisa juga Hyang diartikan sebagai Pemimpin Yang Agung. Karena kampungku dulunya terpengaruh oleh kebudayaan Hind-Budha, maka masuk akal jika Dangiang berasal dari kata Hyang.

Sementara itu, dalam mitos Sunda – dalam cerita Sangkuriang – Dangiang memiliki arti yang sama dengan Danghyang yaitu sejenis lelembut. Sementara dalam cerita pewayangan Dangiang diartikan sebagai penunggu suatu tempat. Dijelaskan bahwa agar dunia damai, maka Dangiang dan Sanghyang harus bersatu. Merujuk kalimat tersebut, maka jelas bahwa seorang pemimpin yang direstui oleh Yang Maha Kuasalah (beriman) yang mampu mengurus negeri. (Kalimat itu sendiri diucapkan oleh Prabu Baladéwa kepada Sri Batara Kresna dengan maksud Sanghyang (Sanghyang Ismaya alias Semar) dan Dangiang (Dangiang Dorna alias Dorna) untuk mencegah Perang Baratayudha. Maklum keduanya ada di pihak yang  berseberangan).

Di masa lalu, sehebat apapun kampanye yang dilakukan oleh seorang kandidat, penentunya adalah Dangiang. Sebanyak apapun uang yang ditawarkan, para pemilih akan tetap memperhatikan malam sebelum pencoblosan dilaksanakan. Bahkan serangan fajarpun tak mempan untuk mengubah penglihatan mereka akan Dangiang. Bagi kaum tua di kampungku dulu, alam lebih tahu mana yang pantas dan layak memimpin kampungku.

Malam saat penentuan Dangiang menentukan dukungan amat ditunggu oleh sebagian warga yang memercayainya. Kemunculan Dangiang sendiri biasanya saat tengah malam hingga menjelang senja. Tak heran jika semua warga baik yang berkumpul di rumah kandidat mapun yang begadang di rumah masing-masing akan keluar dan melihat fenomena langit. Biasanya semua orang pintar akan dikerahkan demi meraih restu Dangiang.

Jika melihat hal tersebut, maka ada sebuah pelajaran menarik dari Dangiang. Rakyat di kampungku yakin dan percaya bahwa sehebat apapun manusia, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa jika tidak direstui Yang Maha Agung. Meski caranya dinilai salah – oleh orang yang mengaku beriman – namun kegigihan rakyat kecil menyaksikan fenomena mendaratnya Dangiang patut diapresiasi. Mereka memilih seorang pemimpin bukan hanya karena iming-iming materi, rayuan kata-kata atau bahkan intimidasi.

Sayangnya hal tersebut kini sudah pudar. Keberadaan Dangiang dianggap sebagai kegiatan syirik, musyrik alias tahayul belaka. Padahal, ada sebuah renungan yang sangat dalam mengenai hal ini. Bagi rakyat kampungku, nurani lebih penting dalam menentukan pemimpin. Sesuatu yang saat ini telah hilang.

2 comments:

Untukmu Sahabat

9:13:00 AM Gehol Gaul 2 Comments


Wahai sahabat, kalian yang kurang beruntung karena ada HIV/AIDS ditubuh kalian, izinkan aku berbagi dengan kalian. Semoga ketika selesai membaca curahan hatiku, kita bisa lebih saling mengerti. Mengerti lebih akan diri kita sendiri.



Aku pada dasarnya sama dengan kalian dan semua yang ada di dunia. Punya rasa. Rasa inilah yang terkadang mengungkungku dari keindahan dunia. Sehingga menjauhkanku dari rasa syukur akan nikmat yang telah begitu banyak kureguk.

Aku pernah remaja, sebuah masa yang amat ingin kureguk kembali. Saat remaja pernah aku patah hati berkali-kali. Setiap patah hati, maka kurasakan dunia hanya selebar tempat aku berpijak. Kututup hati, mata, telinga dan semua indra demi meresapi betapa dunia berlaku tidak adil padaku.

Uluran tangan sahabat kutolak mentah-mentah. Nasihat orang tua dan yang lebih dewasa tak kugubris. Aku selalu berkata pada mereka bahwa apa yang kurasakan tak ada yang mengerti. Selalu kukatakan bahwa mereka takkan mengerti sebab mereka tak mengalami. Aku yang mengalami akulah yang paling mengerti. Itulah aku masa itu.

Aku juga berasal dari keluarga kurang mampu. Petani biasa yang lahan garapannya sangat sedikit. Aku terpaksa menunda melanjutkan ke SMA karena minimnya dana. Kemudian kuliahpun kubiayai sendiri sebab orang tua takkan sanggup. Kembali aku menghujat nasibku, kenapa ketidakadilan begitu ramah menyapa hidupku.

Saat begitu banyak sahabat berusaha meringankan egoku lebih menganggap itu sebagai cibiran. Aku menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah semacam cemooh untuk memperlihatkan bahwa betapa patut aku dikasihani. Itulah aku yang masih seperti masa itu.

***
Sahabat, dari cerita itu aku berusaha memahami kalian lebih jauh. Jika aku yang sekadar patah hati dan anak petani merasa dunia begitu tak adil, maka akupun paham jika kau bertindak serupa. Hanya karena aku yang mengalami maka aku menganggap lebih mengerti, maka akupun bisa memahami jika kalian menjauh dari kami. Aku yang cuma anak petani yang susah melanjutkan pendidikan begitu merasa terhina saat ada yang mau membantu. Aku sangat paham jika ketika ada yang mendekati kalian, sikap merasa dicemooh ada dalam benak kalian.

Aku hanya ingin kalian tidak sepertiku. Sebab kala aku lebih banyak menyerap pengalaman maka segala sikapku dulu begitu ingin aku tanggalkan. Jika kau beranggapan bahwa apa yang aku alami tidak mengancam jiwaku itu benar. Tapi sebagaimana remaja yang masih sempit pikiran, kematian pernah begitu dekat hanya karena merasa hidup tidak adil.

Sahabat, sekali lagi aku hanya ingin berkata, jangan tiru sikapku. Aku pernah merasa paling malang di dunia. Tapi aku sadar bahwa setiap orang memiliki kemalangannya masing-masing. Akupun sadar bahwa kemalangan seseorang bisa menjadi kekuatan sekaligus kebanggaan jika dikelola dengan baik.

Sekali lagi sahabat, jangan tiru aku. Mungkin aku tidak bisa mengerti seutuhnya karena aku tidak mengalami apa yang kalian alami. Tapi setidaknya aku punya dua tangan yang setiap saat rela dan ikhlas terulur untuk kalian. Aku juga punya tubuh yang dengan rela bisa kalian peluk. Aku punya telinga yang bersedia mendengarkan kisahmu. Aku punya sederet indra yang dianugerahkan Tuhan yang bisa kalian manfaatkan. Jika aku bisa, maka aku bersedia.

Sahabat, kalian tidak sendiri. Aku dan jutaan lainnya memiliki tekad sama. Berjuang bersama.

Bekasi - Jawa Barat
Bukti Tweet

Bukti Follow

2 comments:

Xlangkah Lebih Dekat dengan Budaya Lokal

3:12:00 PM Gehol Gaul 2 Comments

Seiring dengan bertambahnya usia dan ilmu, dulu aku merasa bahwa apa yang ada di kampungku kuno belaka. Banyak mitos, pamali, legenda, dan cerita kuanggap sebagai penghambat kemajuan. Otakku telah dipenuhi oleh rasa iman berlebih dan pemujaan terhadap akal sehat.
Ilustrasi Cinta Leluhur (http://3.bp.blogspot.com)


Namun saat mulai dewasa baik secara fisik dan mental, maka kerinduanku akan kearifan leluhurku bangkit. Rasa rindu sekaligus keinginan menggali makna dibaliknya membuatku kian rajin mencari info. Internet adalah salah satu media yang sangat membantu. Tinggal ketik kata dan klik, maka sedikit banyak info akan tampil.

Ada keuntungan tersendiri karena jaringan internet yang kumiliki lebih cepat. Hal ini membuatku XLangkah Lebih Maju dalam mendapatkan info. Artikel dan tulisan lainnya yang terkait dengan kearifan lokal dengan mudah kudapatkan. Pada akhirnya akupun bisa dengan mudah berbagi dengan kawan, sahabat dan siapa saja yang mampir ke blogku.

Dalam blogku, sengaja aku kulik ingatanku semasa kecil dan menambahnya dari info kawan-kawan. Banyak teman dan sahabat yang satu grup denganku di jejaring sosial. Sayangnya meskipun kami dapat berhubungan dengan mudah lewat jeajring sosial, masalah jaringan menjadi kendala yang cukup sering. Sekali lagi aku beruntung sebab jaringanku yang bagus membuatku XLangkah Lebih Maju dalam berbagi info.

Kecepatan jaringan memang menjadi sebuah keuntungan tersendiri. Bagaimana tidak saat aku sering stuck ketika membuat artikel mengenai kearifan lokal di kampungku. Sering aku harus menunggu info dari kawan dalam waktu yang cukup lama. Beruntung aku tidak menyerah, aku klik Google dengan kata kunci yang kuinginkan dan sederet hasilnya tiba dalam hitungan detik.  Dari berbagai website yang tampil, aku dapat memilah mana yang sesuai dan mana yang tidak. Ketika info dari kawan sudah tersedia di jejaring sosial, hasilnya tidak jauh berbeda. Kembali aku XLangkah Lebih Maju dalam hal ini.

Diantara kawan satu grup yang diikat oleh kedaerahan, akulah satu-satunya yang memiliki blog sebagai tempat untuk mendekatkan diri dengan sejarah masa lalu kampungku. Kegiatan ini memang mengasyikan apalagi blogku kadang dijadikan rujukan dan sumber informasi bagi kawan-kawan satu grupku. Mereka yang rindu kampung halaman dan sederet kisah tentangnya sangat terbantu dengan tulisan-tulisan di blogku.

Indah dan bahagia sekali bisa berbagi dengan sahabat. Bahkan sering juga aku, karena mulusnya jaringan internetku, menjadi problem solver bagi kawan-kawan grup jejaring sosialku. Kembali terbukti bahwa kedekatan sekaligus pemanfaatan internet yang baik membuatku XLangkah Lebih Maju.

Sekarang dan selanjutnya yang harus aku lakukan adalah konsisten menjaga agar ruh dan semangat blogku yang sebagian besar membahas kearifan lokal kampungku tetap terjaga. Dengan mengandalkan internet yang baik aku harus XLangkah Lebih Maju sekaligus Xlangkah Lebih Dekat dengan leluhurku. Mereka yang telah menyelipkan berbagai ajaran dalam setiap mitos, pamali, legenda, dan cerita. Agar generasi setelahku tetap mampu mengingat apa, siapa, dan bagaimana hebatnya leluhurku.



2 comments:

Hulu Dayeuh: Cara Leluhur Memelihara Air

10:55:00 AM Gehol Gaul 3 Comments


Ilustrasi Hulu Dayeuh
Di desaku terdapat tujuh dukuh, Jetak, Sindangwangi Anyar, Cipancur, Babakan, Sindangwangi Lawas, Marenggeng dan Ciheuleut,  dengan ciri khas memiliki “hulu dayeuh”.  “Hulu dayeuh” sendiri adalah semacam pusat kekuatan mistis dari sebuah dusun. Dari tujuh dukuh, tinggal enam yang tetap memelihara ”hulu dayeuh”. Sementara Jetak yang merupakan ibukota desa telah melepasnya dengan alasan iman dan modernitas.

Hulu dayeuh di lima dukuh berupa sekumpulan pohon kiara dengan diameter lebih besar dari pelukan manusia dewasa. Semua warga mengeramatkan kumpulan pohon-pohon raksasa ini. Tidak boleh ada yang mengganggu pohon bahkan sekedar mengambil ranting-ranting yang jatuh sekalipun. Biasanya area ”hulu dayeuh” akan dipagar sehingga terjaga dari tangan jahil.

Karena kekeramatan dan aura mistisnya sangat menonjol, meski letaknya dekat dengan pemukiman, namun kelestariannya amat terjaga. Sepanas apapun cuaca, daerah hulu dayeuh bak oase abadi di gurun. Kekuatan pohonnyapun patut diacungi jempol. Entah karena memang dikeramatkan atau semata kekuatan pohon, alat berat semacam bekho dan gergaji mesin tak mampu merobohkan pohon-pohon tersebut.

Dari keuletan leluhur memelihara ”hulu dayeuh” kita mampu mengambil pelajaran penting mengenai konservasi alam. Dengan adanya pohon-pohon raksasa yang dipelihara tersebut, nyatalah bahwa dusun-dusun ini selamat dari krisis air. Air minum dapat mereka usahakan dengan memanfaatkan mata air yang tersebar tidak jauh dari dusun. Adanya pohon-pohon raksasa keramat ini juga sekaligus mengajarkan kepada kita bahwa dengan memelihara alam, niscaya kelangsungan hidup akan terpelihara.

Bagaimana dengan Jetak?

Jetak yang tidak memiliki hulu dayeuh berupa pepohonan besar tentu mengalami banyak kendala dengan air minum bersih. Pada masa lalu, air bersih diusahakan dengan membendung mata air Cipantun yang terletak tak jauh dari dusun. Namun mata airnya hanya mampu memenuhi kebutuhan sebagian ekcil warga. Sisanya terpaksa menggali tanah membuat sumur agar dapat minum air yang bersih.

Beruntung Jetak memiliki Cihirup. Sesuai namanya, air Cihirup mengalir sepanjang tahun. Alirannya juga termasuk besar mengingat kini alirannya telah dinikmati ole empat desa di sekitar Kelurahan Sindangwangi, yaitu Bangbayang, Jipang dan Bantarkawung. Jetak sendiri karena dianggap sebagai pemilik tempat dapat menikmati sumber air ini secara gratis. Berbeda dengan Bangbayang, Jipang dan Bantarkawung yang harus menebusnya dengan uang.

Cihirup sendiri terletak di sebuah ngarai yang memiliki banyak pohon. Wajar saja jika ia mampu mengalir sepanjang tahun karena memang daerah sekitarnya berfungsi sebagai penahan air yang baik. Kualitas airnyapun sangat baik, hal ini dibuktikan oleh seorang pegawai dinas setempat yang langsung meminum airnya tanopa dimasak setelah dilakukan beberapa tes.

Belajar dari Cara Leluhur

Jika konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Maka sudah wajib hukumnya bagi kita mempelajari metode sederhana dari leluhur. Sisakan pohon besar, niscaya air tetap mengalir.

Jetak sebagai desa tanpa ”hulu dayeuh” berupa pohon terbukti mengalami nasib yang tidak mengenakkan terkait air minum. Beruntung Cihirup yang sekitarnya juga ditumbuhi pohon-pohon lebat dekat lokasinya sehingga Jetak dapat menikmati air minum bersih dan gratis.Tanpa pohon disekitarnya, mustahil Cihirup akan mengalirkan airnya sepanjang tahun dengan debit yang banyak.

Cipantun yang dahulu memiliki mata air, memiliki sekitar dua pohon tua yang menaunginya. Saat kemarau airnya akan sangat sedikit bahkan tak jarang tinggal rawa belaka. Karena tidak didayagunakan dengan optimal, Cipantun di masa penghujan memang debitnya banyak namun airnya keruh.

Kasus diatas kiranya cukup untuk kita agar melakukan hal sama meski dengan cara berbeda. Kita wajib memelihara pohon demi kesinambungan pasokan air bagi kita. Namun tak perlu kiranya kita mengeramatkan pohon tersebut. Apalagi saat ini kondisi cuaca tidak menentu yang mengakibatkan pasokan air untuk diolah tanah dan pohon juga mengalami fluktuasi yang susah diprediksi. Hanya pohon dan tanahlah satu-satunya harapan agar air bisa tetap langgeng. Tentu saja tak perlu penjelasan kenapa pohon mampu melakukannya bukan?

Kini, hanya kemauan kita saja untuk menanam pohon sesegera mungkin dan memelihara yang sudah ada yang mampu menyelamatkan kita dari kekeringan abadi.

3 comments:

Seharusnya Kita, Bukan Mereka!

12:39:00 PM Gehol Gaul 3 Comments


Jika ada sebuah kemalangan menimpa kita, apakah yang pertama yang kita butuhkan? Teman dan sahabat adalah jawabannya. Demikian juga dengan mereka yang kurang beruntung karena AIDS. Seharusnya kitalah yang lebih dahulu mengetuk pintu rumah mereka sebelum mereka datang meminta kita membuka jendela rumah kita untuk memperhatikan mereka. Dan remaja memiliki peran kunci dalam situasi ini.

Sebagai remaja yang lebih cair dalam pergaulan, maka inilah masa paling emas sekaligus rentan. Emas karena kecairan sikap mereka dalam menghadapi hidup mampu menyerap semua pengalaman tanpa batas. Rentan karena kecairan sikap terkadang sukar menyeleksi pengalaman. Namun terkait penderita HIV/AIDS, cairnya sikap remaja adalah senjata ampuh meruntuhkan sikap menyesali diri pada para ODHA – jujur berat mengatakan mereka yang menderita dengan kata ini karena terkesan mengekslusifkan mereka.

Dalam mengelola hubungan antara ODHA dan remaja harus ada kepedulian. Sikap terbuka, menerima sekaligus berhenti mengungkit apa yang diderita sangat penting dilakukan. Kunci utamanya adalah berhenti menyuruh penderita HIV/AIDS mencari informasi, membuka diri dan mau bergaul dengan masyarakat. Ubahlah agar diri kita yang mau berbagi informasi, mau menerima mereka, dan tak membedakan dalam pergaulan. Remaja, karena dalam bergaul lebih ikhlas, maka sangat mungkin lebih mampu memerankan.

Sering sekali dalam berbagai kesempatan kita menuntut mereka yang terkena HIV/AIDS berhenti menyesali diri. Namun dalam kesempatan yang sama kita seakan enggan menerima mereka. Kita dengan semangat menyuruh ODHA mencari informasi yang konstruktif, namun kita yang seharusnya memberi malah belum siap memberi. Semoga kesalahan ini tidak dilakukan oleh kaum remaja.

Karena sikap remaja yang cair mereka mampu dan mau bergaul dengan ODHA. Semoga ke depannya remaja dan kita pada umumnya berhenti mengharapkan mereka yang memulai hubungan. Namun kita semua yang berinisiatif. Kitalah pemberi informasi bukan mereka yang harus mengais sendiri. Kitalah yang memperlihatkan bahwa dunia itu indah, bukan mereka yang dengan segenap kekuatan mencoba menikmati.

Bukti Tweet

Bukti Follow
Hal ini berlaku juga saat kita mencari informasi. Berhentilah minta ada yang membuat seminar agar kita mengerti apa itu sesuatu. Sejak dini, apalagi remaja kini kian mudah mengakses media, carilah informasi sebanyak mungkin. Karena dengan banyaknya info, maka proses menyaring pengetahuan kian lebih mudah.

Sebagai info, data dari www.aidsindonesia.or.id bisa kita jadikan acuan kenapa remaja bisa memainkan peran penting dalam pencegahan sekaligus pendekatan pada penderita HIV/AIDS. Berdasarkan laporan Kementrian Kesehatan Triwulan Kedua 2011 terlihat bahwa kelompok umur 20-29 tahun memiliki presentase tertinggi. Melihat data tersebut, remaja akan lebih mudah menjalin komunikasi karena kesamaan usia, meskipun berbeda namun perbedaannya sangatlah tipis.

Kesamaan umur inilah yang diharapkan akan lebih mudah memahami ODHA sekaligus mencegah penyebaran AIDS. Dengan kemampuan remaja masa kini yang supel dan rileks, maka penderita AIDS akan lebih mudah diterima sekaligus menerima. Karena pergaulan mereka dengan ODHA intens dan positif, maka otomatis remaja akan lebih mudah berbagi informasi. Maka penyebaranpun bisa kian diredam.

Sekali lagi, kuncinya adalah lebih banyak kita yang memberi sehingga mereka dan kita bisa lebih baik. ODHA tidak sendiri, sebab kita peduli.

Bekasi - Jawa Barat

3 comments:

Stop Menjual Ketakutan!

11:10:00 AM Gehol Gaul 11 Comments



Setiap kali kita akan mengingatkan seseorang akan dampak buruk sesuatu, maka yang pertama dilakukan adalah membuat takut, bukan membuat paham. Saat seseorang berusaha mencari tahu, sederet peringatan bernada ancaman datang. Ketakutan menjadi semacam obat ampuh dalam meredakan gejolak akan keingintahuan.

AIDS adalah salah satu yang menjadi momok karena lebih banyak ketakutan yang dijual demi mencegah penyebarannya. Meski dampaknya memang menakutkan, namun sejatinya sebagaimana penyakit pada umumnya, pencegahannya relatif mudah.

Akibat dari terlalu banyaknya bumbu takut dalam AIDS maka tak heran jika mereka yang kurang beruntung telah terkena menjadi sasaran. Maka jangan harap mereka – yang dengan secara jelas kita telah memarjinalkan dengan menyebutnya ODHA – susah sekali diterima oleh masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah.

Stigma bahwa AIDS adalah penyakit karma harus dipupus. Kita yang lebih beruntung harus lebih bijak mengatakan apa saja yang bisa membuat kita terkena virus HIV. Selama ini hanya pemindahan cairan melalui hubungan seks saja yang digaungkan. Sehingga ketika ada seseorang yang terkena, maka dengan otomatis disematkan kata kualat.

Bukti Tweet

Bukti Follow
Padahal virus ini sejatinya memiliki media penularan yang relatif tertutup. Kita semua tahu bahwa HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Jadi sangat berlebihan jika kita kemudian memperlakukan ODHA seperti penderita kusta di masa lalu.

Secara tidak sadar kita telah terlalu menganggap ODHA begitu ”spesial”. Sayangnya perhatian berlebih kita justru secara tidak langsung menjauhkan mereka dari masyarakat pada umumnya. Terutama karena kita masih lebih banyak menjual ketakutan saat memberikan penyuluhan tentang AIDS. Misalnya saja dengan selalu memfokuskan pada pekerja seks komersial (PSK), kaum homoseksual dan pemakain narkoba. Dengan demikian, secara tidak langsung ketika seseorang terkena HIV/AIDS maka hal pertama yang terlintas adalah akibat ”jajan” atau kualat.

Mari berhentilah memfokuskan bahwa HIV/AIDS hanya disebabkan oleh aktivitas seksual dan napza. Berhenti pula mempertontonkan ODHA saat ada penyuluhan. Sebisa mungkin rahasiakanlah peserta seminar tentang AIDS. Jangan  juga setiap ada pemeriksaan kesehatan PSK dan razia narkoba maka selalu diasosiasikan dengan HIV/AIDS. Tak bijak juga rasanya jika penyebaran melalui media nonaktivitas seksual diabaikan. Karena justru hal tersebut makin membuat penyebaran HIV/AIDS kian susah dideteksi.


Yang paling penting digalakkan sekarang ini justru adalah bagaimana gaya hidup sehat sebagai acuan hidup masyarakat. Karena dengan gaya hidup sehatlah, semua penyakit bisa dihindari bahkan disembuhkan. Pada dasarnya sehebat apapun serangan kuman dari luar, akibat yang ditimbulkannya tergantung seberapa kuat daya tahan tubuh kita.

Dengan fokus memperingatkan masyarakat tentang HIV/AIDS dari sisi gaya hidup sehat, maka pandangan masyarakatpun seharusnya ikut berubah. Penderita HIV/AIDS bukan lagi mereka yang terkena karma karena hidup yang penuh hura-hura saja. Tetapi siapapun mereka yang memperlakukan diri dengan tidak sehat. Sudah saatnya kita menanamkan bahwa siapapun yang tidak bergaya hidup sehat bisa terkena penyakit ini. Sebab virus ini bisa masuk melalui berbagai media yang tercemar.

Karena gaya hidup sehat yang ditonjolkan maka ODHA-pun tidak lagi perlu perlakuan ekstrim dari kita. Mereka yang terlampau disorot oleh kita pada akhirnya akan kembali hidup normal. Sebab dengan memandang mereka sebagai korban gaya hidup yang tidak sehat, mereka akan lebih mudak diterima kaum awam. Sehingga dalam benak masyarakat mereka adalah manusia biasa, bukan manusia kualat.

Mereka dekat dengan kita, sebab mereka adalah sahabat! 

Bekasi - Jawa Barat

11 comments:

Petahunan dan Legendanya

12:10:00 PM Gehol Gaul 5 Comments

Tak usah memasukkan Petahunan ke sebuah lembaga untuk dirating guna menilai keindahan alamnya. Tak butuh voting, SMS apalagi kampanye untuk meyakinkan bahwa Tuhan menciptakan Petahunan dengan penuh rasa seni. Cukup warga Gehol dan sekitarnya yang tahu. Sebab semakin banyak yang tahu, semakin besar kerusakan yang bisa timbul.

Petahunan dilihat dari hilir
 
Petahunan yang seakan menjadi pijakan bagi Gunung Geulis adalah tempat yang eksotis sekaligus mistis. Airnya yang tenang seolah menyembunyikan kekuatan magis yang tersembunyi. Maklumlah, Patahunan adalah tempat yang memiliki banyak legenda mulai dari Bulus Raksasa, Mungkal Putri, hingga Leuwi Liang. Belum lagi dengan adanya Mayangga dan Gulung-gulung Samak.

Bulus Raksasa alias Kura-kura Raksasa adalah penjaga kelestarian hewan-hewan air yang ada di Petahunan. Percaya atau tidak, setiap warga meracun air Petahunan, ikan-ikan di Petahunan seolah menghilang entah kemana. Anehnya, saat air kembali normal maka ikan-ikan Petahunan akan dengan jelasnya terlihat.

Konon Bulus Raksasa memiliki tempat bersembunyi yang dinamakan Leuwi Liang. Saat manusia serakan menaburkan racun, dengan sigap ia akan menggiring ikan-ikan pergi ke Leuwi Liang. Hebatnya, Sang Bulus akan menutup pintu gua tersebut sehingga air beracun tidak dapat masuk.

Leuwi Liang sendiri – sebagaimana banyak penyelam berkisah – memiliki pintu yang cukup besar untuk dimasuki manusia. Namun jangan sekali-kali memasuki Leuwi Liang. Sebagimana namanya, gua ini adalah jalan menuju ke alam gaib yang secara kasat mata hanya berupa karang. Telah dikisahkan turun temurun bahwa Leuwi Liang merupakan jalan pintas menuju Hutan Maribaya. Hutan ini berdasarkan cerita rakyat di Gehol adalah sebuah desa yang hingga kini eksis, namun desa tersebut tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Manusia yang tidak memiliki belahan pemisah bibir, menurut legenda, merupakan penghuni Maribaya. Mereka secara berkala berkeliaran untuk berbelanja di Bumiayu.

Jangan lupakan Mungkal Putri, yang dipercaya masyarakat Gehol sebagai tempat bertapa penghuni Petahunan dan Gunung Geulis. Mungkal – dalam bahasa Indonesia berarti batu – ini berada beberapa meter di hilir Petahunan. Bentuknya yang seperti tempat bertapa dan memiliki permukaan halus sangat enak untuk diduduki. Disinilah dalam waktu-waktu tertentu, sering muncul perempuan cantik yang entah berasal dari mana.

Terlepas dari legenda yang mengiringinya,. secara geografis Petahunan memang menarik. Ia berada tepat diantara dua bukit yang menjulang. Ada Gunung Geulis yang menjulang bak tumpeng di sisi kiri Petahunan. Sedangkan di sisi kanan terdapat sebuah bukit yang sering dijadikan tempat cangkarama atau makan-makan pengunjung Petahunan. Bukit itu sendiri dinamakan Bukit Gajah Sunda.

Petahunan merupakan tempat menampung air Cigunung yang memiliki mata air di Salem – sebuah kecamatan yang berada paling barat di kabupaten Brebes. Petahunan adalah harapan bagi kaum petani Gehol di masa kemarau, sekaligus benteng terakhir dari membludaknya air Cigunung di masa penghujan. Meski saat kemarau, Petahunan tetap berbahaya apalagi bagi yang kurang pandai berenang. Entah sudah berapa korban meninggal tenggelam di Petahunan.

Belum lagi melihat bagaimana aliran air di hulu Petahunan. Alirannya yang deras sangat nikmat untuk dijadikan ajang berarung jeram. Jeram dan alirannya masih murni karena belum disentuh oleh warga Gehol. Bahkan pengunjung yang datangpun belum banyak yang berani melihat-lihat di hulu Petahunan. Selain aura angkernya yang nyata, kesunyian adalah alunan alam setia di sana.

Jangan lewatkan melihat petahunan di malam hari. Pesonanya sungguh luar biasa indah. Sebab Petahunan digunakan hewan-hewan nokturnal mencari mangsa. Saat malam, hewan-hewan yang turun untuk mencari mangsa di Petahunan akan terlihat jelas. Salah satunya Sero atau Berang Berang – sejenis Musang – yang memiliki mata bersinar di kegelapan. Rombongan mereka akan terlihat jelas menghiasi Gunung Geulis maupun Gajah Sunda. Cahaya yang merupakan pantulan mata mereka akan berlarian sepanjang malam, membuat malam di Petahunan takkan membosankan.

Dengan alamnya yang masih asli, Petahunan memang menawarkan pengalaman yang mengesankan. Jika Anda berani, berarungjeramlah dari hulunya, berenanglah di Petahunan dan bermalamlah menikmati lumpatan-lompatan cahaya yang berasal dari mata hewan-hewan nokturnal.  

5 comments:

Yang Gaib dari Gehol

10:05:00 AM Gehol Gaul 4 Comments


Lain ladang lain belalang, lain tempat lain juga hantunya. Begitulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa hantu dan makhluk gaib sangat erat dengan kehidupan manusia. Dimanapun mereka hidup, makhluk halus dan mitosnya selalu ada seiring berkembangnya peradaban.

Geholpun demikian, ada sederet makhluk gaib penghuni daerah-daerah yang dianggap angker. Ada juga beberapa nama gaib yang wajib ditakuti anak-anak demi keselamatan mereka. Adapun tempat-tempat seram yang biasa didiami oleh makhluk gaib Gehol antara lain sungai, hutan, kebun dan sawah. Sedangkan waktu yang paling sering dijadikan ajang unjuk gigi kaum gaib ini adalah tengah hari, menjelang maghrib, tengah malam dan menjelang subuh.

Berikut adalah beberapa nama makhluk gaib yang hingga kini dipercaya menjaga tempat-tempat keramat di Gehol.

Ilustrasi Mayangga


  1. Mayangga
Ini adalah monster sungai yang mendiami ceruk-ceruk yang dalam dan bersembunyi di bawah bebatuan. Monster ini akan memangsa korbannya dengan cara menarik tubuh sekaligus melilitnya hingga lemas. Korban kemudian akan disedot seluruh darah dan otaknya melalui ubun-ubun.

Bentuk mayangga sendiri tidak ada yang tahu pasti. Namun pada saat mengambang, makhluk gaib ini akan terlihat seperti kepala yang memiliki rambut yang sangat panjang dan berantakan. Jika disamakan dengan berbagai monster di dunia perairan, Kraken atau cumi-cumi raksasa mungkin paling pas.

Korban yang disedot Mayangga biasanya akan lama dipendam dalam air dan saat ditemukan ada lubang di ubun-ubun atau jidatnya.

  1. Gulung-gulung samak
Seperti Mayangga, Gulung-gulung Samak mendiami tempat dalam dari sungai. Biasanya makhluk ini mendiami bagian dalam sungai yang tenang dan tanpa ada batu-batu besar. Dinamakan Gulung-gulung Samak karena ia akan menggulung korbannya sebagaimana samak (karpet) menggulung manusia.

Korban Gulung-gulung Samak akan merasakan tempat ia berpijak sangat licin sehingga ia akan tergelincir. Saat tubuh korban tergelincir dan tenggelam, Gulung-gulung Samak kemudian akan menggulungnya hingga mati lemas. Tidak itu saja, makhluk ini juga akan menyerap energi korbannya dengan menghisap seluruh cairan dalam tubuh korban melalui ubun-ubun atau kepala.

Tubuh korban makhluk ini akan bertahan di air selama cairan dalam tubuh korban ada. Jika cairan sudah tidak ada, maka tubuh korban baru akan muncul ke permukaan. Meski tubuhnya tenggelam lama, namun tubuh korban justru akan menciut dan busuk. Di dunia permonsteran, entahlah makhluk apa yang sejenis dengan Gulung-gulung Samak asal Gehol ini. 
 
Dalam mitos Sunda sendiri, ternyata Gulung-gulung Samak disebut juga Leled Samak.

  1. Kelong
Kelong adalah nama setan yang bertuga khusus menculik anak-anak yang bermain di malam hari. Anak yang menjadi target adalam mereka yang bermain terpisah dari teman-temannya. Adapun umur korban biasanya paling tua berumur 12 tahun.

Jika dua makhluk di atas akan membunuh korbannya, Kelong tidaklah demikian. Korban Kelong akan dijadikan budaknya. Jika lebih dari semalam korban tidak ditemukan, maka jelas sudah bahwa Gehol akan kehilangan salah satu penerusnya tanpa jejak. Namun kebanyakan korban Kelong berhasil ditemukan di pepohonan tinggi.

Seorang anak yang menjadi korban Kelong akan mengalami lupa ingatan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Tergantung seberapa cepat ia ditolong dan disadarkan. Ada yang dalam beberapa menit lupa ingatan, namun ada juga yang sampai beberapa hari seperti orang linglung.

Kelong mungkin setipe dengan Wewe Gombel, namun sayangnya tidak ada yang dapat memberi keterangan apakah Kelong juga berubah wujud menjadi perempuan cantik saat ia menculik anak-anak sebagaimana yang dilakukan Wewe Gombel. Yang jelas cara mengusir Kelong sama persis denga Wewe Gombel yaitu mengusirnya dengan membunyikan berbagai benda.

  1. Sandekala Mawa Dadung

Makhluk yang satu ini khusus datang saat hari menjelang Maghrib. Sandekala sendiri kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti menjelang akhir. Sedangkan mawa dadung merupakan bahasa Sunda yang berarti membawa tali.

Makhluk yang satu ini akan menjerat anak-anak yang masih berkeliaran di waktu orang-orang wajib menjalankan ibadah sholat Maghrib. Namun tidak ada deskripsi apapun mengenai mahkluk ini apakah berbentuk manusia, hewan atau kombinasi keduanya. Yang jelas Sandekala Mawa Dadung siap menjerat korbannya untuk kemudian menghilang dari peredaran.

Tidak ada penjelasan juga apakah korbannya akan meninggal atau dijadikan budak seperti Kelong. Dalam dunia gaib entah makhluk apa yang bisa dijadikan representatif dari makhluk satu ini.

Yang patut ditarik kesimpulan dari keberadaan mereka adalah pelajaran apa yang hendak diberikan leluhur melalui penyebutan dan pengisahan makhluk-makhluk gaib di atas. Semoga kita bisa menjawabnya.

4 comments:

Kajak, Liliuran dan Kerid: Gotong Royong ala Gehol

11:18:00 AM Gehol Gaul 6 Comments


Gotong royong adalah tradisi yang diidentifikasikan dengan Indonesia. Jika tidak pernah atau tidak kenal gotong-royong, maka ke-Indonesiaan seseorang patut dipertanyakan. Tradisi gotong royong sendiri mengalami puncak keemasan di masa Orde Baru. Selain menjadi santapan wajib tiap hari di sekolahan, banyak program pemerintah yang mencirikan gotong royong.

Ilustrasi Kerid (antarafoto.com)

Di Gehol alias Jetak sendiri, ada setidaknya tiga tradisi gotong royong. Kajak untuk membantu salah satu warga Gehol memperbaiki atau membangun rumah. Liliuran yang dikhususkan untuk membantu salah satu warga dalam menggarap sawah. Terakhir adalah kerid, sebuah tradisi gotong rotong khusus untuk memperbaiki sarana dan prasarana kampung.

1.      Kajak

Tradisi ini sangat membantu warga demi menghemat keuangan yang sedang membangun rumah. Maklum tradisi ini dulunya begitu kompak menunjukkan solidaritas warga dalam membantu sesama.

Hal yang unik dari tradisi ini adalah adanya sistem bergilir dari seluruh warga Gehol. Bisa dipastikan bahwa semua warga akan mengirimkan minimal satu wakil yang mewakili sebuah keluarga untuk membantu. Saking teraturnya, semua mampu melihat kebutuhan si tuan rumah. Jika kebanyakan peserta maka yang kajak akan mengurangi diri dan jika kekurangan orang dengan segera ada warga yang akan menambalnya.

Tentu saja mereka yang kajak datang dengan kesadaran sendiri dengan bermodal satu harapan bahwa jika dia sedang mengalami hal yang sama maka akan mendapatkan bantuan dari semua warga. Banyak tidaknya yang mengikuti kajak menjadikan sebuah ukuran sejauh mana kebaikan orang tersebut.

Kenapa kajak membantu keuangan warga yang sedang membangun rumah? Tak lain karena mereka yang kajak akan membantu tukang yang sedang membangun. Dengan banyaknya tenaga gratisan ini, maka pembangunan akan kian cepat selesai. Dulu, kajak akan berjalan hingga proses pembanguna selesai.

Sayangnya sekarang kajak kian hilang dari budaya Gehol. Kajak kini hanya berlaku di awal dan akhir kegiatan saja. Bahkan tak jarang tak ada kajak sama sekali tergantung tuan rumah tentunya. Beruntung kajak ala ibu-ibu masih terus berlangsung hingga kini, meski terbatas pada kerabat. Ibu-ibu akan membantu tidak dengan tenaga, tetapi dengan menyumbang makanan ala akdarnya bagi tuan rumah.

2.      Liliuran

Sama seperti kajak, liliuran juga merupakan seni saling membantu sesama warga atas dasar ikhlas. Hanya saja objeknya berbeda. Liliuran khusus untuk membantu warga dalam menggarap sawah atau ladangnya.

Liliuran sendiri tentu sangat membantu, mengingat sebagian besar warga Gehol adalah petani. Dengan liliuran, pekerjaan yang seharusnya bisa sampai seminggu dapat selesai hanya dalam sehari.

Uniknya program liliuran dilihat kontinuitas dalam pelaksanaannya. Jika peserta liliuran adalah sepuluh orang, maka bisa dipastikan dalam waktu tertentu – biasanya dalam masa tanam – kesepuluh orang tersebut akan berkeliling ke ladang atau sawah mereka. Jika hari Senin kesepuluh orang tersebut menggarap sawah si A, maka sembilan hari kemudian mereka akan menggilir sawah masing-masing.

Konstinuitas dalam waktu berdekatan memang sangat unik dan menguntungkan. Dengan demikian, masa tanam serta masa panen sawah atau ladang mereka akan terhitung serentak. Senada dengan masa tanam, masa panenpun akan diisi dengan liliuran juga.

3.      Kerid

Kerid adalah seni gotong royong untuk memperbaiki sarana dan prasarana desa mulai gedung balai desa, jalan hingga pengairan. Khusus untuk kerid masalah air, disebut dadawuan. Sayangnya jika kerid hampir seluruh warga ikut, dadawuan lebih terbatas kepada mereka yang merasakan manfaat langsung dari sistem irigasi dari sarana yang diperbaiki tersebut.

Kerid biasanya dikordinir langsung oleh pamong desa. Warga akan berbondong-bondong memperbaiki sarana tersebut hingga kembali berfungsi normal. Karena jaman Orde Baru masalah sarana bersama jarang ditenderkan secara terbuka kepada pihak swasta, maka kerid di Gehol sering sekali terjadi.

Kini, kerid masih sering dijumpai meski dalam skala terbatas dan biasanya terkait hal darurat. Misalnya saja memperbaiki jembatan roboh, mencari korban longsor, mencari korban hanyut dll.

Sekelumit kisah tradisi yang mencerminkan kebersamaan tersebut kini kian jarang dan mendekati musnah. Sesuatu yang sangat disayangkan, mengingat selain sebagai ajang memperbaiki sarana fisik juga sebagai tempat mempererat silaturahim.


6 comments:

Tundan, Babarit dan Bada Bumi: Tradisi Hilang dari Gehol

4:48:00 PM Gehol Gaul 0 Comments


Mengenang Gehol selalu teringat berbagai tradisi yang hilang karena ego kaum kini. Tradisi yang terselip diingatan tersebut, hanya beberapa kali terkecap saat aku masih kecil.  Tiga dari tradisi yang terselip di ingatan tersebut adalah tradisi Tundan, Babarit dan Bada Bumi. 

Ilustrasi Bada Bumi (radarkarawang.blogspot)
 
1.      Tundan

Tradisi ini berkaitan erat dengan mata pencaharian penduduk Gehol sebagai petani. Tundan diadakan jika sawah di Gehol diserang oleh hama. Hama yang biasanya membuat masyarakat Gehol melaksanakan Tundan adalah tikus.

Tundan dilakukan oleh seluruh penduduk dengan menggiring sang hama keliling kampung sambil diiringi tabuh-tabuhan. Tikus yang merupakan hama, ditangkap kemudian diiring oleh seluruh penduduk kampung sehingga sang tikus dan hama lainnya malu dan menghilang dari sawah warga.

Tentu saja, sebelum pengiringan dilaksanakan para tetua adat akan melakukan doa-doa kepada Yang Kuasa. Kemenyan dan perangkatnya akan mengharu biru sehingga suasana menjadi hikmad. Sesudah berdoa itulah, proses Tundan  di atas dilakukan.

Jika melihat prosesnya memang susah dicerna secara akal sehat bahwa untuk mengusir hama, yang dilakukan penduduk adalah dengan mengaraknya seperti maling. Namun, sebagai tradisi tentu saja banyak makna terpendam di balik tradisi tersebut. Yang jelas Tundan seratus persen membuktikan bahwa penduduk Gehol cinta alam. Bayangkan dengan cara ”ilmiah” sekarang yang lebih banyak menimbulkan penyakit.

Selain Tundan, cara mengusir hama di kampungku memang unik. Salah satu yang sejak aku kecil hanya terdengar kisahnya adalah cara mengusir hama Kungkang. Kungkang sendiri bernama latin Leptocorisia sp, suku Coreidae. Sebutan bahasa Indonesianya kalau tidak salah Walang Sangit.

Konon, untuk mengusir hama ini, pemilik sawah cukup mengelilingi sawah mereka dengan telanjang bulat. Yang lebih ekstrim lagi, pasangan suami istri pemilik sawah harus melakukan ritual khusus. Ritual itu adalah sang istri harus mengikat kelamin suaminya saat mengelilingi sawah.

Dengan kata lain, sang istri menuntun suami layaknya kerbau dengan mengikatkan tali di kemaluannya. Entah apa maksud dari tradisi ini, yang jelas 100% tidak merusak lingkungan. Tentu saja, ritual ini dilakukan saat suasana sawah telah sepi. Biasanya dilakukan saat senja tiba, dimana para petani lainnya sudah pulang ke rumah.


2.      Babarit
Babarit adalah tradisi Gehol yang telah punah juga. Tradisi ini adalah semacam acara syukuran penduduk Gehol. Babarit dilaksanakan saat Bulan Maulid. Hari yang dipilih jika tidak Jumat Kliwon maka Selasa Kliwon.

Pelaksanaan Babarit sama dengan pelaksanaan tradisi lainnya. Penduduk berkumpul di tempat yang ditentukan kemudian berdoa bersama dipimpin oleh tetua desa. Setelah itu para penduduk pulang ke rumah masing-masing. Setelah sampai rumah, maka masing-masing penduduk akan melemparkan hasil bumi mereka ke atas atap.

Hasil bumi yang dilemparkan tersebut biasanya biji jagung rebus, kacang tanah, singkong rebus yang sudah dipotong kecil dan umbi-umbian lainnya. Sambil melemparkan hasil bumi tersebut, maka penduduk akan berteriak, ”Babarit!” Setiap lemparan akan menyebutkan kata Babarit.

Jika dilihat dari waktunya, maka Babarit kemungkinan besar adalah ucapan syukur masyarakat Gehol atas kelahiran nabi. Apalagi, hari yang dipilih lebih banyak Jumat yang bagi sebagian besar dianggap sebagai hari lahir Nabi Muhammad SAW. Di kalangan Syi'ah, sesuai dengan arahan para Imam yang merupakan keturunan langsung Muhammad, meyakini bahwa ia lahir pada hari Jumat, 17 Rabiulawal; sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada hari Senin, 12 Rabiulawal (2 Agustus 570 M). Hal ini kian dikuatkan dengan pemakaian nama Babarit. Sebagaimana diketahui, babarit berasal dari kata babar yang artinya lahir. Meski secara religius, kampungku tidak beraliran Syiah dan cenderung Sunni. Namun pemakaian Jumat atau Selasa Kliwon kemungkinan besar karena kedua hari tersebut dianggap hari baik dan kramat oleh masyarakat Gehol.

3.      Bada Bumi

Tradisi Bada Bumi dilaksanakan pada bulan Sura dalam sistem kalender Jawa. Bulan ini sendiri adalah bulan Muharram alian bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Dengan kata lain, Bada Bumi adalah tradisi syukuran penduduk Gehol menyambut pergantian tahun.

Bada Bumi sendiri secara harfiah bisa diartikan lebaran atau perayaan bagi Bumi. Tradisi ini dilaksanakan dengan cara semua penduduk Gehol berkumpul sambil membawa makanan terenak yang bisa disiapkan. Makanan tersebut kemudian dimakan bersama seluruh penduduk. Biasanya para penduduk melakukan saling tukar makanan. Selain itu, masing-masing penduduk akan menyiapkan satu bungkus makanan yang akan disetorkan kepada panitia.

Bungkusan yang disetorkan kemudian akan dibagi-bagikan ke rumah-rumah seluruh penduduk. Tentu saja bagian pamong desa dan perangkatnya mendapatkan bagian yang dinilai makanan terbaik. Ini sebagai tanda terima kasih rakyat atas kesediaan mereka memutar roda pemerintahan.

Yang paling inti dari Bada Bumi adalah adanya penanaman kepala kerbau atau kambing di tempat paling strategis di kampung. Biasanya penanaman dilakukan di perempatan yang dilalui oleh semua orang baik yang masuk maupun keluar kampung. Tujuannya agar tanah tempat bercocok tanam memberikan kesuburannya bagi seluruh penduduk kampung.

Itulah sekelumit ingatan mengenai beberapa tradisi di kampungku. Tradisi yang hilang karena manusia di kekinian jaman merasa lebih beriman. Sebuah hal yang patut disayangkan sebab tradisi-tradisi tersebut pastilah memiliki makna yang dalam.

0 comments: