Dua BBM dalam Satu Windows Phone

Setelah resmi diparkir di Store, BBM Beta di handphone Lumia 625 ane malah bisa dobel. Kenapa bisa begitu? 

Ane juga gak tahu kok bisa, yang jelas setelah mengadopsi program beta tester dari Blackberry beberapa waktu lalu, ane coba aja versi BBM Beta yang diobral ke seluruh pengguna WP. Hasilnya, BBM Beta dalam hape ane bisa diinstall tanpa menghilangkan versi yang sudah ada.

Ini mungkin mirip dengan menginstall dua BBM atau lebih dalam sistem Android. Dalam sistem aplikasi buatan Google tersebut, BBM yang diinstall yang resmi berasal dari Play Store. Sedangkan aplikasi BBM kedua dan seterusnya berasal dari "market" lain. Biasanya BBM kedua dan seterusnya diinstall dalam bentul file .apk dan dapat diinstall melalui komputer. 

Ane sendiri tidak tahu efek negatif apa yang ditimbulkan setelah menginstall dua BBM Beta dalam satu hape ini selain lemot. Yang jelas, ini hanya percobaan dan jawaban atas keingintahuan sekaligus keisengan ane. Soalnya, pas mau diuninstall yang versi beta tester sayang rasanya. 

Yang mau ikutan, silakan saja mencoba. Syaratnya cuma satu, sudah menginstall versi program beta tester beberapa waktu lalu.


Nyobain BBM for Windows Phone

Tampilan awal
Akhirnya BBM mampir di Windows Phone ane. Kebetulan ane pake Lumia 625 dan daftar program beta kira-kira seminggu. Ane dikirimi link download hari ini (18/7/2014).

Tampilan Kontak BBM
Kalo menurut anesih, overall gak ada problem berarti di BBM for WP ane. Malahan kirim pesen kerasa cepet banget dari ceklis, D, dan R. Ini bukan sekedar klaim ane doang ya, tapi lawan bicara ane juga bilang begitu.  Cuma memang, namanya juga beta, BBM for WP tidak bisa lepas dari penyakit seperti aplikasi lainnya di WP yang suka force close, alias nutup sendiri. Terutama kalo dari chat mau pindah ke profil kita.



Yang bikin kurang nyaman juga adalah lamanya loading ini aplikasi. Yang ane suka dari aplikasi BBM for WP ini adalah warnanya yang biru kalo pas kita membuka aplikasinya. Selain itu, tampilan kontak, feed, dan chat-nya juga lumayan oke kalo menurun ane. Memang tidak jauh berbeda sih dengan BBM untuk robot ijo.

Untuk grup BBM juga lumayan menarik tampilannya loh. Kalo menurut ane jadi lebih nyaman aja, apalagi dengan gaya geser yang diterapkan sama OS Windows Phone 8 ini. Lebih enak juga dipandang mata mulai dari pengelompokkan chat, lis chat, picture, dan event. Jadinya, hal ini mempermudah ane kalo ada notifikasi dari grup.


Tampilan Grup
Tampilan di antar muka Windows Phone 8





















Nih, kita lihat aja tampilan screen shoot dari hape ane mengenai aplikasi BBM for Windows Phone yang masih seri beta ini.

Tampilan Daftar Chat
Tampilan Feeds

Tampilan Chat

Setting Chat

Setting BBM

Buat Update Status

Kolom Update Status

Berbagi PIN

Share PIN ke Sosmed

Barcode



Horeee Brazil Menang, Pendukung Jokowi Girang!

Hampir saja, ya hampir saja. Hampir saja skuad Brazil memihak pasangan nomor satu di pilpres kali ini. Hal ini gara-gara Kang Marcelo yang baru meraih La Decima di bawah arahan Don Carleto sang maestro dari Itali masuk dalam buku rekor sebagai orang pertama yang membuka Piala Dunia dengan gol bunuh diri. Namun, semua itu diselamatkan oleh si bocah ajaib baru, tandem Yang Mulia Messi di Barcelona, Ndoro Neymar Junior.

Dia, ya dia Neymar, seperti biasa dengan kreasi kaki-kakinya yang terkesan ringkih melesakkan bola ke jala Tuan Pletikosa yang datang jauh-jauh dari Balkan dengan seragam NU-nya (hijau-hijau) meski rekan sejawat Beliau memakai seragam catur merah putih. Gol pertama disepak dari luar kotak penalti dan sempat ditepis kiper serta membentur tiang gawang. Namun, Ndoro Neymar sedang bejo, maka gol di babak pertama membuat Marcelo tidak perlu takut bakal di-Escobar-kan.

Selanjutnya, Ndoro Neymar yang sedang bejo kembali melesakkan bola dari titik dua belas pas. Kembali, Tuan Pletikosa berhasil membaca arah bola dan sempat menepis. Namun semuanya sia-sia sehingga tak kuasa menahan bola meluapkan rindunya kepada jala gawang. Penalti sendiri merupakan hadiah wasit gegara Fred terkesan didzolimi oleh Dejan Lovren, dan wasit asal Negeri Sakura menganggapnya pelanggaran meski tayangan ulang berkata sebaliknya. Semoga bukan karena wasitnya sering menonton peta perpolitikan Indonesia yang penuh dengan tokoh-tokoh yang ingin didzolimi.

Lalu, Mas Oscar yang musim ini tampil angin-anginan di bawah gemblengan Pendekar Maurinho dari Portugal memberi gol penutup buat Brazil. Jadilah skor 3-1 buat tuan rumah sekaligus melanggengkan tradisi laga pembuka selalu dimenangi tuan rumah. Meski Ndoro Neymar yang meraih Man of the Match, namun sejatinya peran Oscar wajib diberi bintang tiga, empat juga boleh, tapi tentu harus ditanyakan kepada atasan pemberi bintang dan wajib mendatangkan programmer canggih agar pemberian bintang terkesan natural.

Lalu, apa makna skor 3-1 dari laga pembuka gelaran sepakbola paling akbar di dunia ini bagi perpolitikan Indonesia yang sedang sedikit memanas gara-gara banyak ulama, kaum cendekia, dan para mantan jenderal yang saling puji? Menurut Tuanku Di Rajo Gatik Angka, ini memupus harapan para swing voter yang percaya ramalan dan ilmu gutak-gatik-gatuk angka untuk golput. Sebab, sebelumnya sudah beredar pesan berantai berdarah dingin bahwa jika skornya tidak bisa diutak-atik jadi 1 atau 2, maka pemilu Indonesia terancam bahaya. Beruntung, 3-1 bisa berarti tiga dikurangi satu yang berarti dua.

Maka, bersuka citalah mereka yang sebelumnya memilih pasangan Jokowi-Kalla sebab angka pertandingan semalam memihak mereka. Meski, tentu saja ada yang mbeling dengan mengatakan skor itu bisa juga 3+1 alias 4 yang berarti tradisi golput dalam kehidupan mereka bisa dilanggengkan. Untung saja ada orang pintar kenamaan yang belum pernah ditemui orang menyampaikan hasil meditasinya. Ia melalui Friendster-nya yang masih aktif mengatakan bahwa 4 itu adalah 2 jika dibagi 2, namun jika dibagi 1 maka tetap 4 sehingga praktis pilihan yang ada ya cuma dua. Pokoknya dua!

Lalu, bagaimana dengan pasangan nomor satu dan para pendukungnya? Tenang, besok dan sebulan ke depan masih banyak pertandingan. Jadi, silakan hubungi Tuanku Di Rajo Gatik Angka atau orang pintar yang belum pernah ditemui orang di atas untuk mengepaskan skor agar para pendukung ikut suka cita.

Demikian, laporan singkat #WorldCup2014 dari orang yang semalam tidur pulas. Selamat pagi!

Debat Jokowi dan Budaya "Tektek" di Gehol

Ada yang menarik dari sesi debat pertama capres dan cawapres semalam, terlalu percaya diri, mau belajar, dan "tektek". Mari kita lihat dari sudut sederhana tanpa memberikan skor menang kalah.

Yang pertama yang patut diwaspadai semua orang yang hendak berdebat tentu saja adalah kepercayaan diri yang terlalu berlebih. Sejak sebelum debat dimulai, kubu Pak Prabowo-Hatta selalu bersuara jumawa bahwa calonnya adalah jago pidato dan biasa berdebat. Hal ini bahkan ditegaskan oleh Pak Mahfud MD bahwa mereka tidak memberi porsi sedikitpun untuk menyiapkan kandidat mereka dalam menghadapi debat semalam.

Hasilnya bisa ditebak, Pak Prabowo-Hatta tidak selugas saingannya dalam berdebat. Tentu saja hal ini bukan karena mereka tidak menguasai materi. Bagi saya, hal ini semata karena mereka kurang latihan. Bagaimanapun, waktu dalam berdebat dibatasi sehingga sangat berbeda dengan pidato. Selama ini, Pak Prabowo sangat jago berpidato dan tentu saja tidak ada batasan waktu yang diterapkan kepada Beliau.

Hal kedua yang patut diperhatikan adalah kemauan untuk belajar dari pasangan Jokowi-JK. Hal ini mereka lakukan bahkan dengan "mengorbankan" seharian penuh tanpa berkampanye. Kubu Jokowi-JK dengan tegas mengatakan bahwa mereka melakukan latihan untuk berdebat. Mungkin bagi sebagian orang, hal ini menunjukkan kelemahan kubu Jokowi-JK. Namun bagi saya pribadi, ini menunjukkan bahwa mereka menyadari kekurangan mereka dan mau memperbaikinya. Terbukti, saat berdebat mereka tampil lugas dan mampu menjawab dengan bernas apa yang ditanyakan. Jadi, "alah bisa karena biasa" berlaku bukan?

Yang paling menarik dari sesi semalam adalah terkait budaya Gehol yaitu "tektek". Hal ini bermula dari "nongol"-nya kertas berisi doa dari jas Jokowi. Kebetulan, contekan doa tersebut diklaim berasal dari Ibunda Jokowi. Saya pribadi, waktu kecil sering meminta hal yang sama kepada ibu, bapak, dan nenek saya. Bahkan jika diperlukan, kepada orang yang paling berpengaruh secara spiritual di kampung saya. Bekal itu disebut "tektek".

"Tektek" sendiri biasanya berbentuk doa yang bisa berwujud doa dalam kertas seperti Pak Jokowi punya atau dibacakan melalui media air lalu diminum. Dalam perspektif spiritual, hal ini sering dinilai gibah alias sedikit musyrik. Namun bagi saya pribadi, meminta "tektek" tidak seekstrim itu. "Tektek" hanyalah sebuah restu orang tua atau yang dituakan dalam media lain yang diharapkan pemegangnya selalu menyertai saat pertandingan atau kompetisi.

Meski debat semalam belumlah sebuah final, namun banyak hal yang bisa kita petik. Yang terpenting, kedua pasang kandidat memiliki komitmen yang tinggi kepada rakyat Indonesia.

Berebut Capres di Socmed

Beberapa waktu ini, semua orang baik sadar atau tak sadar telah terhanyut dalam timangan pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia. Memilih capres!

Saat capres-cawapres sudah dideklarasikan dan disahkan oleh KPU, makin ramailah suasana kampanye. Semua kampanye baik yang bersifat membangun maupun negatif riuh-rendah terutama di saluran yang sekarang sedang naik daun, sosial media.

Bagi saya pribadi, kegaduhan yang terjadi di sosial media memberi sebuah harapan baru bagi kita semua. Bahwa kita sebagai warga biasa yang bisa mengakses langsung saluran informasi untuk berbagi kepada sesama. Sebab selama ini, saluran informasi biasanya sulit ditembus oleh warga biasa.

Meski patut diapresiasi, saluran informasi dari sosial media tentu perlu juga diperhatikan. Karena bersifat bebas, maka filter yang dibutuhkan tentu harus sangatlah ketat. Ironisnya, filter tersebut sangat tergantung pada pemahaman dan kedewasaan kita. Berbeda dengan media mainstream yang sudah memiliki payung hukum dan norma-norma yang jelas.

Dalam kampanye pemilihan presiden kali ini pun, banyak informasi yang bertebaran dengan bebas di media sosial. Para pemilik akun dengan bebasnya mengobral informasi mulai yang berbasis fakta maupun sebatas ilusi semata. Pada akhirnya, informasi yang berseliweran sangat susah dikonfirmasi kebenaran. Kembali lagi, filter sangat tergantung kepada kita.

Tampaknya, kebebasan berpendapat di dunia maya telah berkembang sedemikian bebas hingga membuat saluran ini sedikit demi sedikit hendak dibatasi. Hal ini dimulai salah satunya dengan kemungkinan sebuah akun bisa dituntut pidana jika yang disebarkannya bersifat fitnah. Sebuah kemajuan dari sisi hukum, meski berbagai pihak merasa bahwa hal ini justru bisa memberangus demokrasi negeri ini.

Ddalam pilpres kali ini, sosial media tampaknya dimanfaatkan sebesar mungkin oleh para simpatisan. Banyak akun, baik lama maupun baru, mengupas kelayakan capres-cawapres pilihan sekaligus menelanjangi hal-hal negatif capres-cawapres lawan. Maka, peperangan opini yang berkobar berpindah dari darat ke dunia maya. Meski cenderung bersifat brutal karena tanpa filter, namun justru vulgarnya informasi yang diumbar justru makin mendewasakan masyarakat dalam menentukan pilihan. Tentu saja, masyarakat dituntut mampu menyaring semua informasi di atas dengan bijak.

So, sudahkah Anda memfilter info yang berseliweran di akun sosial media Anda?





Jokowi, Prabowo, dan Para Cukong

Sejak saya kecil, orang kaya dipandang sebagai makhluk mengawang yang susah dijangkau. Dalam diri para pemilik modal tersebut, melekat aneka keistimewaan yang sayangnya makin menjauhkan mereka dari jangkauan. Ketika berhadapan dengan orang kaya, kalimat yang selalu dibisikan adalah "Jangan macam-macam!"

Orang kaya dengan segala kemampuannya, dianggap sebagai salah satu penentu dari berjalannya kehidupan. Kekuatan modal mereka adalah kekuatan tak terperi dalam menata kepentingan. Sayangnya, kebanyakan dari kita mengklaim semakin kaya seseorang maka semakin banyak sifat dan sikap negatif yang melekat. Tak usah heran jika kaum miskin seperti kita akan bermimpi kaya sembari menyebarkan kebaikan. Sesuatu yang mungkin saja mimpi awal kaum kaya.

Saking negatifnya kaum berduit di mata masyarakat, banyak kisah rakyat yang mengarah pada kekuatan pahlawan yang menghukum mereka yang kaya dan membela yang miskin. Tengok saja betapa kita sulit lupa dan memimpikan kembalinya kisah Robin Hood atau di negeri ini ada aneka kisah tentang Maling Budiman. Semua bermuara pada satu hal, orang kaya adalah makhluk yang sulit berbagi sehingga memerlukan tokoh pendobrak agar harta mereka bisa didistribusikan kepada yang membutuhkan.

Dewasa ini orang kaya, konglomerat, cukong, atau pemilik modal kembali riuh-rendah dibicarakan di media sosial. Mereka, terutama yang dicap hitam, dituding jadi pengendali Jokowi sehingga tokoh yang populer ini wajib ditolak. Dan kubu Prabowo yang mengklaim tidak dikendalikan konglomerat manapun kemudian mencapnya sebagai, meski kebanyakan lewat puisi, boneka.

Kenapa konglomerat begitu susah diterima saat mereka "bederma" dalam gelaran politik? Sebab alam bawah sadar kita sudah menyetujui bahwa konglomerat lebih banyak memiliki kekuatan negatif daripada positif. Mereka adalah kelompok manusia yang tidak akan membiarkan bahkan sebutir nasi pun untuk jatuh percuma tanpa memberikan keuntungan. Maka, kita dengan segenap kepatuhan logika kemudian mengiyakan bahwa bahaya semata yang akan timbul jika seorang calon didukung oleh konglomerat, apalagi yang dikelompokkan konglomerat hitam alias cukong hitam.

Sebagai orang awam, saya sendiri tidak terlalu peduli dengan isu konglomerat yang ada di belakang salah satu calon. Karena bagi saya, semua calon pada dasarnya langsung atau tidak memerlukan dukungan finansial dari para cukong. Bagi saya, Prabowo logis saja saat dengan gagah berani menyatakan dirinya tidak didukung konglomerat. Karena pada dasarnya ia adalah konglomerat itu sendiri, atau setidak-tidaknya berasal dari keluarga konglomerat. Bukankah tidak mungkin seorang prajurit sejati, bisa bangun rumah dengan luas "segambreng" lengkap dengan pasukan penjaga dan kuda-kuda kesayangan. Adalah mustahil juga jika seseorang yang bukan konglomerat mampu dudukkan kolega dan keluarga di Senayan dengan modal milyaran rupiah.

Jadi, kini pilihannya makin sulit bukan? Jika benar Jokowi dikendalikan konglomerat maka pertarungan capres kali ini tetap antarkonglomerat bukan? Jika antarcukong sudah bertempur, maka yang direbutkan apalagi kalau bukan sumber-sumber uang?

"Raisopopo" atau Bisa Apa Saja?

Terdengar sajak nyinyir dari tetanggaku penggemar fanatik burung perkasa. Sajaknya lugas dan tak perlu belajar sastra untuk mengungkap maknanya. Tapi penggubahnya bisa berlindung dibalik fiksi untuk menghindarkan dari sebutan pembuat fitnah.

Selanjutnya, sajak puisi berhamburan dari lubuk petinggi partai yang frustasi karena merasa dikhianati. Tetanggaku yang sebelumnya tak doyan puisi tiba-tiba setiap hari memuisikan segala kejadian. Maka, muncullah sebutan "rabisopopo" dan kemudian "pasukan nasi bungkus".

Karena kampungku hanya "selebar daun kelor" maka perilaku tetanggaku kemudian dikategorikan perilaku meresahkan. Bagaimanapun, menunjuk setiap orang yang yang tidak sesuai dengan kita lewat sajak kurang fair rasanya. Sebab saat dikonfirmasi, pembuat sajak dengan mudahnya berkata, "Inikan fiksi semata,".

Lalu, tersebutlah Begaawan Jeje, juru damai kampung, punya inisiatif mendinginkan suasana. "Apa yang sebenarnya kalian ributkan?" ujar Sang Begawan teduh pada masyarakat kampung yang berkumpul di pendopo desa.

"Aku hanya tak ingin, orang-orang terlena dengan si "Raisopopo", mau dibawa ke mana negeri kita nan kaya ini?" ujar tetanggaku memulai pembicaraan sebab merasa dialah biang keladi dikumpulkannya warga kampung.

"Lha, emangnya si pencetus "Raisopopo" itu bisa apa?" timpal tetanggaku yang berprofesi sebagai petani.

"Dia bisa apa saja yang dibutuhkan negeri untuk maju. Nasionalisme tinggi, kekayaan melimpah, koneksi hingga ke ujung jagad, dan ketegasa tiada dua." ujar tetanggaku penggemar burung raksasa.

"Bisa segalanya ya? Termasuk menghilangkan nyawa manusia." ujar si petani sinis.

"Sudahlah, sudah. Tak ada guna kita bertengkar demi merebutkan siapa yang pas menduduki tahta di negeri ini." Begawan kembali menyejukkan suasana.

Sang Begawan kemudian menjelaskan bahwa pemimpin memang sebaiknya memiliki kemampuan untuk memimpin. "Raisopopo" memang perlu dipertanyakan, sebab memimpin sebuah negara tentunya wajib punya kemampuan. Tapi, memangnya benar yang dijuluki "Raisopopo" benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa?

Yang wajib diketahui juga, Begawan kembali menjelaskan, yang menjuluki "Raisopopo" belum tentu juga bisa apa saja. Yang saya tahu, rakyat negeri ini sudah terlampau sering dikecewakan orang-orang yang mengaku bisa melakukan apa saja. Tak terhitung mereka yang bergelar profesor toh ternyata berlaku hianat. Begitu juga mereka yang dinobatkan sebagai orang saleh oleh pengikutnya toh jauh dari amanah. Jadi, jangan salahkan si "Raisopopo" yang punya banyak penggemar.

"Betul itu, Begawan. Bukankah si pencetus "Raisopopo" sudah terbukti menghilangkan nyawa orang. Bahkan hingga kini Beliau dicekal oleh sebuah negara adidaya. Aku ini petani, dan katanya asosiasiku diketuai oleh Beliau. Memangnya ada perubahan pada petani?" ujar tetanggaku yang petani berapi-api.

Lalu tetanggaku yang petani kemudian menceritakan bagaimana mungkin seorang yang katanya prihatin dengan nasib petani tapi bangun rumah di atas tanah yang bisa digarap ratusan petani. Bagaimana mungkin teriak kesejahteraan rakyat yang merosot dari atas kuda yang nilainya milyaran. 

Tetanggaku penggemar burung raksasa langsung bereaksi keras. "Justru itulah kelebihan Beliau. Beliau sudah tidak kekurangan apa-apa sehingga bisa fokus urus negara tanpa harus korupsi. Bayangkan jika "Raisopopo" jadi penghuni tahta, ia akan tetap jadi pesuruh karena mentalnya memang pesuruh." 

Perdebatan tentang kekurangan dan kelebihan pemimpin pujaan terus berlangsung bahkan tak bisa dihentikan oleh Begawan Jeje sekalipun. Perdebatan baru berhenti saat perut tak kuat lagi menahan lapar. Karena kebetulan dana kampung menipis, maka sajian hari itu cuma singkong rebus berteman teh tanpa gula.

"Hanya inikah sajian untuk kumpul-kumpul hari ini." tanya seorang warga yang sehari-hari bekerja sebagai pengojek.

"Ya, hanya ini. Sayangnya para caleg kemarin sudah meminta kembali uang yang mereka tabur untuk kampung kita. Sebab tak seorangpun yang memenuhi target melenggang duduk di kursi dewan." ujar ketua kampung.

"Termasuk dari partai yang kalian berdua berfanatik." ujar ketua kampung kepada kedua tetanggaku.

Dan semua terdiam, sambil menikmati suguhan sederhana tersebut. Terbayang di mata mereka apakah si "Rapopo" dan pencetus "Raisopopo" akan mampu memberi mereka suguhan yang lebih baik tanpa meminta imbalan.


Bincang Politik ala Geholic

Sebuah pernyataan lantang diucapkan kawanku menyongsong hasil hitung cepat pemilihan umum legislatif kemarin. "Biarpun sedikit pemilihnya, tapi kami berjuang dalam kebenaran," ucap Ngeyo.

"Memangnya kenapa kau yakin kalau partaimu berjuang untuk kebenaran?" kataku heran bin bingung.

"Sebabnya cuma satu, karena partaiku berazas Islam dan memperjuangkan hukum Islam tegak di bumi pertiwi," ujar Ngeyo makin lantang.

Sementara Ngeyo sedang bersenandung penuh semangat tentang visi misi partainya yang menjamin kehidupan dunia dan akhirat, muncullah Jabang yang terkenal punya kehidupan mengalir dalam berpartai. Bagi Jabang, semua partai sama, pada akhirnya memerebutkan kuasa semata. Bahwa jargon yang dibawa macam-macam, juga bukan hal istimewa. Sama seperti pria yang mau menggaet perempuan, aneka cara dan rayuan ditebar, toh intinya cuma satu. Kawin!

"Hey, Ngeyo. Kalau benar partaimu membela kebenaran, kenapa juga mereka merengek seperti bayi meminta jatah kuasa?" ujar Jabang tanpa beban.

"Karena dengan berkuasa maka partai kami akan mampu mengawal bangsa lebih baik. Bagaimanapun, negeri butuh orang-orang baik dan beriman demi menggapai ridho Tuhan," sahut Ngeyo berapi-api.

"Terserah kamulah. Yang penting, mana janji caleg jagoanmu. Katanya kalau dia jadi mau memberi tambahan dana buat aku?" tagih Jabang akhirnya.

"Justru kamulah yang harus mengembalikan uang caleg partai kami. Kamu janji akan membawa seratus suara. Nyatanya hanya sepuluh saja mampu kau persembahkan. Terlalu!" Ngeyo ketus.

"Sejak kapan perjuangan demi kebenaran hitung-hitungan? Kalau sudah memberi ya tidak bisa diambil lagi. Memangnya aku kredit?" Jabang jengkel lalu pulang ke rumah.

Aku yang sejak tadi bingung semakin tak kuasa menahan beratnya beban otak untuk berpikir. Seperti inikah politik?

"Tak usah bingung kawan, gabung saja dengan partaiku. Niscaya hidupmu akan lebih tenang." Ngeyo promosi.

Aku yang makin bingung langsung pamit dan ngeloyor pergi. Kebetulan aku harus mengantar makanan buat ayahku yang sedang mengarit ladang.



Pendidikan Indonesia: Ibuku, Kawanku, dan Lena

Hari ini, 14 Mei 2014 seluruh siswa SMA dan sederajat berjibaku menaklukkan soal-soal UN. Kumpulan soal yang menentukan sejauh mana kaki melangkah. Sejatinya, sesulit apapun UN, menurut pengalamanku, selalu ada tangan-tangan ajaib memberi pertolongan.

Mari sejenak berdoa semoga pertolongan yang datang kepada junior-junior kita tidak lantas mengurangi legalitas kelulusan mereka. Mari juga kita refleksikan diri sejenak tentang kisah yang belum mampu kita pupuskan dari bumi Ibu Pertiwi ini.
***
 Adalah almarhum ibuku yang terpaksa menghentikan langkah di sekolah dasar demi menggantikan peran nenekku almarhum menjaga para bibi dan pamanku. Sebuah keputusan yang wajib diikuti sebab melawan orangtua adalah durhaka. Selain itu, tuntutan hidup memaksa nenekku harus berdagang keliling kampung-kampung yang cukup jauh sehingga memangkas waktu untuk mengasuh anak-anaknya yang kecil. Maka, ibuku almarhumlah yang menyediakan waktunya untuk menggantikan peran nenekku. Sekolah? Ah, perempuan toh pada akhirnya hanya perlu patuh pada suami untuk meraih surga.

Pengalaman ibuku tentu saja sudah lama sekali. Pilunya putus sekolah demi menggantikan peran ibu terjadi pada dua dekade setelah kemerdekaan Indonesia diraih. Sebuah kenyataan yang banyak dimaklumi oleh semua penduduk negeri, sebab negeri masih muda. Sayangnya, saat aku sekolah dasar, kejadian serupa hampir menimpa kawan sebangkuku.

Meski seorang lelaki, kawan sebangkuku wajib menggantikan peran bundanya mengasuh anak-anak. Sang ibunda sendiri sering sekali terpaksa menggarap ladang dan sawah sebab sang suami tercinta harus merantau demi rupiah. Maka, kawan sebangkuku berulang kali harus bolos sekolah demi menjaga adiknya. Beruntung, rutinitas bolos tersebut tak lantas merenggutnya dari bangku sekolah. Kami masih bisa lulus bersama-sama dan sesekali bersua saat lebaran tiba.

Kejadian kawan sebangkuku menjelang peralihan abad-20. Tak lama setelahnya, reformasi bergelora di seantero negeri. Pastinya, harapan kami dan orangtua kami hampir sama. Tak perlu lagi ada yang senasib dengan ibuku dan kawanku.
***
Tahun 2014 ini banyak doa dan harapan tertumpah demi kemajuan negara. Para wakil rakyat kembali melakukan ritual pemilu demi meraih atau mempertahan kursi. Partai politik sibuk berorasi dan menebar jani, sambil sesekali jilat ludah sendiri.

Nun di Banyumas sana, adalah Lena yang ternyata harus seperti ibuku almarhum. Kejadian yang sama ini terpaut hampir setengah abad lamanya. Masalahnya sama, keharusan memenuhi kebutuhan keluarga sehingga sang bunda tiada waktu mengurus adik-adiknya. Lena mengikhlaskan diri menggantikan peran ibu mengasuh dan mengurus keperluan keluarga. Sejak pagi ia harus memandikan adik-adiknya, memasak untuk sekeluarga, mencuci dan sebagainya. Padahal, usianya baru 13 tahun!

Jika di Banyumas yang notabene dekat dengan pusat kekuasaan terjadi hal seperti ini, bagaimanakah nasib anak-anak negeri ini di pelosok sana? Semoga kita tidak terlalu lama lena dalam pesta bagi-bagi kuasa hingga akhirnya benar-benar bekerja untuk menghapuskan nasib buruk Lena. 

Amin.





Koalisi: Bagian Paling Menarik dalam Pemilu

Perhitungan suara melalui sistem hitung cepat usai sudah. Pemenang sementara sudah diketahui, pun termasuk perolehan suara masing-masing. Maka, kini saatnya kita mengikuti bagian paling menarik dalam pemilihan umum, koalisi.

Membahas peta koalisi partai-partai peserta pemilu sangat menarik. Hal ini terutama karena saat kampanye, sejuta cara dilakukan termasuk menjelekkan sesama kontestan. Di sinilah menariknya, akankah mereka konsisten dengan pendirian saat kampanye atau luluh oleh kepentingan. Sejarah mencatat, yang kedua yang lebih sering terjadi.

Adalah kita yang di akar rumput patut waspada dengan gejala transaksional di tingkat atas. Mereka meski sudah berbusa-busa menghujat kebijakan partai lain akan dengan santainya menyatakan koalisi. Tak peduli pernyataan pedas yang sudah dikeluarkan, atas nama "kepentingan bangsa", mudah sekali mereka saling bermaafan.

Sayangnya, meski sejarah berulang kali menyajikan drama elit parpol yang doyan menjilat ludah sendiri, kita mudah sekali terbawa arus. Dengan semangat membara kita ikut serta mencaci mereka yang berseberangan politik. Bukan sekedar mencaci, tak jarang adu fisik dilakukan demi membela partai.

Akar rumput yang berdarah-darah membela paham saat kampanye harus rela ikut menjilat ludah sendiri jika partai yang dibela menyatakan koalisi dengan yang lain. Susah memang menerima kenyataan tersebut namun apalah daya bagi kita yang hanya dihitung berdasarkan kertas suara.

Semoga kita cepat lupa, seperti biasanya.