Serba Salah di Pilkades

Sesaat lagi perta demokrasi di Gehol akan diselenggarakan. Tiga calon, yang sayangnya jauh dari ekspektasi masyarakat akan pemimpin yang baik, amanah, dan bervisi cerdas, telah mendaftar. 

Dari ketiga calon, masa lalu dan track record mereka selama bermasyarakat boleh jadi akan menjadi ganjalan terbesar. Namun, karena skor mereka sama-sama buruk, maka masalah figur tidak lagi menjadi kunci meraih Sindangwangi 1. Ada kekuatan lain yang bakal lebih menentukan, pertama uang, kedua psikologis pemilih, dan ketiga tokoh pendukung.

Untuk masalah uang, para calon terkesan hati-hati jikalau tidak disebut pelit. Makin kritisnya masyarakat terhadap politik dan politikus, membuat uang tidak mudah mengalir menuju pemilih. Jika mereka menghamburkan uang, maka balas budi apa yang nanti harus dipikul desa untuk mengembalikan modal calon akan jadi pertanyaan pertama di benak masyarakat. Apalagi, ketiga calon wajib menyetorkan uang sebagai mahar pencalonan kepada panitia pemilihan yang dibentuk desa. 

Sayangnya, jika terlalu pelit, maka benak masyarakat akan kembali menanyakan sejauh mana kemampuan si calon dalam menyejahterakan rakyatnya. Dilematis memang, jika jor-joran dianggap potensial untuk korupsi sementara jika pelit akan dianggap tidak layak mejadi seorang pemimpin. Teori bahwa pemimpin harus kaya sudah kadung melekat dalam benak tiap rakyat di negeri ini.

Faktor kedua adalah psikologis pemilih. Tentu saja ini akan terkait dengan kemampuan di atas meski tidak telalu signifikan. Hal lain yang amat penting dalam memengaruhi psikologi pemilih adalah kekerabatan, blok, dan faham. Untuk kekerabatan, hal ini lumrah dan bahkan caleg DPR sekalipun akan mencantumkan dan memajang foto kerabat yang dianggap berjasa demi ketiban pulung mendapat suara. 

Terkait blok dan faham akan sangat rawan karena ego ini kadang sulit dipadamkan. Fakta bahwa beberapa kades berasal dari garis turunan tertentu, dari blok atau dukuh tertentu, dan faham tertentu akan melahirkan psikologi massa yang antipati terhadap turunan, blok atau dukuh, dan faham apalagi jika kades terdahulu minim kontribusi.

Faktor ketiga tentu saja ketokohan para pendukung yang ada di belakang para calon kades. Yang terakhir ini akan menentukan untuk meredam kekuatan uang, mengendalikan psikologi massa, sekaligus mendongkrak nilai positif figur calon yang tadinya penuh dengan "dosa" masa lalu. 

Sayangnya, justru faktor tokoh di belakang layar inilah yang paling berbahaya. Jika sang kades kemudian berkuasa, maka bisa dipastikan ia akan jadi "pelayan" demi kepentingan tokoh berpengaruh tersebut. Jika si tokoh baik, maka kemaslahatan kampung jadi ikut baik. Jika si tokoh mementingkan diri sendiri, maka sudilah kiranya rakyat menunggu lebih lama untuk sejahtera.

Yang pasti, dengan tidak adanya figur "bersih" maka setidaknya rakyat sudah siap dengan kemungkinan terburuk. Bukankah akan lebih mudah menerima kenyataan jika dicurangi penjahat daripada dikadalin ustadz?

Pulang Kampung ke Gehol

Setelah beberapa hari di kampung tercinta, banyak yang sudah diceritakan. Banyak pula yang sudah dihubungi. Jawaban dari beragam pertanyaan belum juga didapat.

Selain musibah dan skandal, kampungku ternyata banyak mengoleksi aneka kebingungan. Kebingungan mencari pemimpin, kebingungan mencari jati diri dan kebingungan membiayai diri sendiri. Khas Indonesia, khas kita saat ini.

Cerita selanjutnya, kaupun mudah menebaknya.

Lebaran dan Agustusan di Gehol

Warga Gehol setidaknya punya dua momen istimewa yang wajib dihadiri. Dua momen ini memiliki peran silaturahmi yang teramat penting dalam dinamika sosial di Gehol, setidaknya hingga dekade 90-an. Keduanya adalah kalender wajib bagi para perantau untuk pulang kampung. Juga momen wajib bagi para orangtua melaksanakan pekerjaan berat mereka bagi anak-anak, baju baru.

Momen yang pertama terkait dengan religiusitas para warga Gehol, Lebaran. Yang ini hingga kini masih menjadikan momen utama perantau mudik. Bahkan, Lebaran adalah kalender resmi warga Gehol secara de facto. Warga Gehol, kebanyakan memulai segenap usaha pascalebaran dan menjadikan Lebaran sebagai puncak dari segenap usaha yang dilakukan. Lebaran adalah 0 kilometer warga Gehol dalam meraih rizki sekaligus kilometer puncak dalam rangka menikmati rizki.

Meski Lebaran kian hari kian terasa pendek durasinya, tapi momen ini tetap jadi momen utama berkumpul bersama keluarga. Jika dahulu Lebaran jadi momen berkumpul bersama warga kampung melalui acara salaman layaknya semut, kini salaman pada kawan sekampung cukup lewat pesan berantai. Jikapun bertatap muka, maka klakson jadi penanda bahwa semua salah dan dosa pada yang bersangkutan luruh. Maka, salaman menjadi ekslusif sebatas keluarga saja, di sela-sela menonton layar smartphone atau TV. 

Yang paling menyedihkan tentu saja mereka yang telah berpulang. Jika dulu keluarga yang ditinggalkan dengan susah payah mencapai makam dengan berjalan kaki sehingga acara doa akan lebih lama sekaligus ajang istirahat, kini mengingat yang telah tiada cukup sekejap saja. Motor dengan digdaya membuat warga Gehol ogah berlama-lama di pekuburan. Motor dan mobil pulalah yang menghilangkan tradisi memasuki setiap rumah di kanan-kiri jalan saat pergi dan pulang pemakaman. Jayalah teknologi.

Momen kedua yang kini mulai pudar adalah HUT RI atau biasa disebut Agustusan. Dahulu, momen ini adalah momen wajib hadir sebagai penanda nasioanalisme dan kebanggaan akan desa. Sorak sorai warga sudah ada sejak upacara dimulai hingga sore tiba. Aneka kesenian warga ditampilkan, meski kebanyakan kesenian dadakan. Warga berkarnaval ria menyajikan aneka kreasi dan kegilaan yang selama ini terpendam oleh kesibukan mencari penghasilan.

Kini, Agustusan khusus milik anak sekolah dan para pegawai negeri. Masyarakat kebanyakan cukup menyaksikannya lewat TV, dan para perantau berbahagia karena bisa libur dan bersantai tanpa beban. Semua hiburan sudah diambil alih TV sehingga seremonial dan aneka seni Agustusan dianggap sebagai pemborosan anggaran belaka. Jayalah teknologi.

Mungkin satu-satunya yang bisa menikmati dua momen ini adalah anak-anak. Jika dahulu anak Gehol kebanyakan menyandarkan pergantian baju baru pada dua momen ini, maka kini mereka bebas meminta kapanpun. Meski belum tentu juga dikabulkan orangtua masing-masing. Yang pasti Lebaran masih identik dengan baju baru. Sementara Agustusan, bahkan momen inipun sudah banyak anak yang tak peduli.

Lebaran dulu adalah momen membeli baju baru keluaran terbaru. Agustusan adalah momen ganti baju sekolah. Kini, kapanpun ada model baru, anak-anak bebas merengek. Sedangkan untuk baju sekolah, pihak sekolah telah berhasil mengambil alih.

Jika Agustusan kini mulai hilang dan ingin dilupakan karena dianggap seremonial belaka dan berujung pemborosan, bisakah Lebaran bisa bertahan dari stigma tersebut? Gehol masa depan akan menjawab.





Gehol dan Buku Ramadhan

Ramadhan datang maka yang paling senang adalah anak kecil, termasuk anak sekolah. Hanya saja, masih ada yang kerap merusak kesenangan tersebut, salah satunya Buku Kegiatan Ramadhan. Tentu saja, bagi saya pribadi buku ini teramat membebani.

Buku Kegiatan Ramadhan adalah catatan amal yang kelak disetorkan kepada guru agama masing-masing. Aneka kegiatan mulai dari taraweh, kultum, jumatan, dan ibadah lainnya selama Ramadhan ditulis dan ditandatangani pembicara, imam, dan petugas lainnya. Masih adakah jaman sekarang? Semoga tidak!

Kenapa membebani? Bagi siswa miskin seperti saya, menyambut Ramadhan adalah kesenangan luar biasa sebab dalam bulan tersebut, keluarga sekuat tenaga menyajikan makanan terlezat. Minimal di minggu-minggu pertama puasa. Bayangkan, belum juga ada jaminan bahwa puasa perta alias munggahan bakal dapat makanan enak, pos keuangan langsung tergerus oleh pembelian buku ini. Menyedihkan bukan?

Tapi namanya anak-anak, membawa buku ini setiap kali ke mesjid tentu saja bukanlah bebas. Toh namanya juga di kampung, yang mengisi ceramah tentu saja tetangga sendiri. Jadi, saat minta tanda tangan, ya ibarat minta tolong sama tetangga. Apalagi karena minimnya dana mesjid dan mushola, maka ceramah pun ya seniatnya yang mengisi saja. Jika sang kyai ada keperluan, maka jemaah dengan sukarela pulangh ke rumah masing-masing. 

Kemangkelan terhadap buku ini bagi saya pribadi terjadi saat-saat kulaih subuh. Waktu kultum yang dari namanya harusnya tujuh menit, melebar sesuka hati bahkan bisa jadi tujuh puluh menit. Mengganggu sekali, sebab alam liar anak-anak masih ingin bermain. Lucunya, kala subuh di bulan Ramadhan adalah waktu paling pas untuk jalan-jalan menyusuri jalanan aspal menuju kampung tetangga. Jalanan yang biasanya sepi ini, ramai sekali oleh anak-anak hingga remaja. 

Padahal, mau memandang apa di jalanan tanpa listrik pada pagi buta? Entahlah, Gehol memang penuh kejutan yang kadang anomali. Para remaja bisa dengan leluasa bertemu dengan kekasihnya di pagi buta tersebut. Tapi jangan salah, pacaran jaman dahulu adalah pacaran sangat sehat. Pria dan perempuan akan mebawa pasukan masing-masing, sehingga tidak ada namanya berduaan. Mereka ibarat pangeran dan putri, paling banter berjalan berdampingan dan kawan masing-masing membuntuti dari belakang.

Yang paling menyebalkan dari episode Ramadhan karena kehadiran Buku Kegiatan Ramadhan adalah, tidak diperiksa! Bayangkan berapa besar usaha yang dilakukan agar bisa memenuhi petunjuk sang guru melalui buku tersebut? Berdesakan meminta tanda tangan pada imam dan pengisi ceramah setiap malam dan pagi buta. Juga kembali berdesakan saat Jumatan. Tentu saja saat pembagian zakat fitrah pun melakukan hal yang sama. Tapi semua sia-sia belaka. Jangan lupa, semua ringkasan ceramah dibuat dengan sebaik yang bisa dilakukan.

Buku tersebut, berjalan dengan waktu dan bersamaan dengan berakhirnya Ramadhan hilang dari ingatan. Guru agama yang dengan sedikit mengancam agar semua siswa membeli, tak pernah lagi menyinggung buku yang bentuknya sudah tak karuan karena seringnya menghadapi udara lembab malam dan pagi. Belum karena ikut berdesakan layaknya sang pemilik.

Semoga Ramadhan Gehol tidak lagi dibebani buku yang sejatinya tidak diperlukan tersebut. Yang jelas, pagi setelah subuh anak-anak yang biasa berkeliaran di jalanan saat pagi buta kini hampir semuanya dewasa. Penerus tradisi jalan-jalan pascasubuh mungkin sudah punah. Motor sudah berkeliaran dan dimiliki hampir separuh warga Gehol, menjadikan kaki sukar dibawa berpeluh.

 



Dicari! Calon Kades Melek Socmed

Kabar mengejutkan datang dari beberapa desa di Brebes terkait dengan agenda rutin mencari pemimpin desa. Tercatat ada beberapa desa yang minim peminat dengan alasan yang paling banyak adalah mahalnya biaya. Maklum, kini biaya pilkades dibebankan kepada mereka yang mencalonkan. Biayanyapun beragam, tergantung seberapa banyak warga yang punya hak pilih di desa terkait.

Biaya ini dirumuskan oleh panitia pilkades yang tentu saja berasal dari desa masing-masing. Panitia inilah yang merumuskan RAB alias Rancangan Anggaran Biaya. Masalahnya, panitia menganggarkan kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk sementara sumber pendapatannya hanya sedikit yang ditanggung APBD. Artinya, dana akan dibebankan kepada calon dan anggaran desa.

Disini masalahnya, jika calonnya sepuluh tentu akan kian ringan. Namun jika hanya satu calon yang mendaftar, maka bebannya tentu akan lebih berat. Masalah berikutnya adalah, biaya itu belum tentu sesuai dengan ekspektasi. Misalnya, ada 9.500, tentu saja biaya akan didasarkan pada jumlah hak pilih tersebut. Demi menjaga hal tidak diinginkan, panitia tentu akan menganggarkan beberapa persen untuk biaya tak terduga. 

Pertanyaannya? Berapa yang pasti akan ikut menggunakan hak pilih mereka? Pastikah mereka akan hadir semua? Sebab, kini kesejahteraan susah didapat di desa, maka bisa dipastikan lebih dari 30 persen pemilik hak suara ada di luar desa mereka dalam rangka merantau. Karena biaya pulang tak sedikit, maka dijamin tidak semua yang merantau mau pulang hanya untuk memilih calon kepala desa mereka.

Mahalnya biaya untuk menyelenggarakan pilkades tentu akan menangguk masalah di masa datang. Sebab hampir pasti, keluarnya modal akan dianggap investasi oleh sang calon. Apalagi, biaya kampanye mereka tentu juga harus diperhitungkan. Lalu, sebandingkah nilai puluhan juta hanya untuk menjadi kepala desa lima tahun? 

Demi meminimalisir banyaknya golput akibat para perantau enggan pulang yang artinya menghamburkan anggaran, sebaiknya para kades mulai melirik sosial media sebagai alat mereka mendulang suara. Jika hanya mengandalkan mengumpulkan massa agar datang ke rumahnya, tentu saja ini sudah kurang efektivitasnya. Dengan sosial media, minimal mereka bisa menyampaikan pesan kampanye mereka pada pemilik suara yang tersebar di seantero negeri. Ini juga meminimalisir biaya yang harus ditanggung. Soalnya, biaya mengelola akun sosial media lebih murah ketimbang mengundang penduduk se kampung.

Menarik sekali jika calon kades memiliki akun Facebook atau Twitter yang bisa diakses oleh semua orang. Visi dan misi mereka pastinya bakal lebih teruji, sebab sosial media adalah lapangan yang kejam terkait adu opini. Ibaratnya, sang calon akan siap memimpin desanya jika ia berhasil menaklukkan para pemilih potensial di sosial media.

Beranikah bakal calon kades Gehol memiliki akun Facebook? Patut dinanti.