Dicari! Calon Kades Melek Socmed
Kabar mengejutkan datang dari beberapa desa di Brebes terkait dengan agenda rutin mencari pemimpin desa. Tercatat ada beberapa desa yang minim peminat dengan alasan yang paling banyak adalah mahalnya biaya. Maklum, kini biaya pilkades dibebankan kepada mereka yang mencalonkan. Biayanyapun beragam, tergantung seberapa banyak warga yang punya hak pilih di desa terkait.
Biaya ini dirumuskan oleh panitia pilkades yang tentu saja berasal dari desa masing-masing. Panitia inilah yang merumuskan RAB alias Rancangan Anggaran Biaya. Masalahnya, panitia menganggarkan kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk sementara sumber pendapatannya hanya sedikit yang ditanggung APBD. Artinya, dana akan dibebankan kepada calon dan anggaran desa.
Disini masalahnya, jika calonnya sepuluh tentu akan kian ringan. Namun jika hanya satu calon yang mendaftar, maka bebannya tentu akan lebih berat. Masalah berikutnya adalah, biaya itu belum tentu sesuai dengan ekspektasi. Misalnya, ada 9.500, tentu saja biaya akan didasarkan pada jumlah hak pilih tersebut. Demi menjaga hal tidak diinginkan, panitia tentu akan menganggarkan beberapa persen untuk biaya tak terduga.
Pertanyaannya? Berapa yang pasti akan ikut menggunakan hak pilih mereka? Pastikah mereka akan hadir semua? Sebab, kini kesejahteraan susah didapat di desa, maka bisa dipastikan lebih dari 30 persen pemilik hak suara ada di luar desa mereka dalam rangka merantau. Karena biaya pulang tak sedikit, maka dijamin tidak semua yang merantau mau pulang hanya untuk memilih calon kepala desa mereka.
Mahalnya biaya untuk menyelenggarakan pilkades tentu akan menangguk masalah di masa datang. Sebab hampir pasti, keluarnya modal akan dianggap investasi oleh sang calon. Apalagi, biaya kampanye mereka tentu juga harus diperhitungkan. Lalu, sebandingkah nilai puluhan juta hanya untuk menjadi kepala desa lima tahun?
Demi meminimalisir banyaknya golput akibat para perantau enggan pulang yang artinya menghamburkan anggaran, sebaiknya para kades mulai melirik sosial media sebagai alat mereka mendulang suara. Jika hanya mengandalkan mengumpulkan massa agar datang ke rumahnya, tentu saja ini sudah kurang efektivitasnya. Dengan sosial media, minimal mereka bisa menyampaikan pesan kampanye mereka pada pemilik suara yang tersebar di seantero negeri. Ini juga meminimalisir biaya yang harus ditanggung. Soalnya, biaya mengelola akun sosial media lebih murah ketimbang mengundang penduduk se kampung.
Menarik sekali jika calon kades memiliki akun Facebook atau Twitter yang bisa diakses oleh semua orang. Visi dan misi mereka pastinya bakal lebih teruji, sebab sosial media adalah lapangan yang kejam terkait adu opini. Ibaratnya, sang calon akan siap memimpin desanya jika ia berhasil menaklukkan para pemilih potensial di sosial media.
Beranikah bakal calon kades Gehol memiliki akun Facebook? Patut dinanti.
0 comments: