Jajagoan, Permainan Ketangkasan dari Gehol

Pilih pohon jagung sebagai jagoan
Melihat namanya, tentu akan teringat dengan film laga atau cerita silat dimana ada para jagoan yang membasmi kejahatan. Namun, jajagoan dari Gehol sangat jauh berbeda. Tidak ada unsure kekerasan sama sekali, meski salah satu risiko memainkan permainan ini bisa terluka.

Permainan jajagoan biasa dimainkan anak-anak Gehol di masa lalu saat musim panen jagung tiba. Karena hanya dengan pohon jagunglah, permainan yang khas anak lelaki ini bisa dimainkan. Melalui media pohon jagung, anak laki-laki yang bermain jajagoan bisa menundukkan lawannya hingga hancur lebur.

Untuk dapat menghancurkan lawan, permainan ini membutuhkan kekuatan tenaga, ketepatan membidik, dan perhitungan yang matang. Kombinasi ketiganyalah yang mampu membuat seseorang bisa memenangkan permainan Jajagoan. Tentu saja, wajib juga ada sejumput keberuntungan yang didapat.



Belulang di Mungkal Tumpang (2)

Dengan Langlayangan kesayangannya, Sarju mengarungi angkasa Geholsraya. Semenjak beberapa tahun terakhir, ia rajin menengok dunia luar. Ia yang memimpin Kaum Margol yang percaya diri sebagai titisan dewa menganggap dunia manusia menakjubkan.

Sebagian besar Kaum Margol hanya keluar sejauh Mungkal Tumpang, sebuah batu bertumpuk yang menjadi area perbatasan yang dibuat kaum Margol. Batu sebesar sepuluh kali gajah dengan tinggi sepuluh kali jerapah tersebut adalah area paling jauh di hutan Tumaregol yang disambangi manusia.

Bagi Kaum Margol, menghuni gua-gua yang dibuat dengan cita rasa seni tinggi ala mereka adalah kenikmatan sekaligus kemewahan abadi dari para dewa. Mereka tidak membangun  satupun banguna  tinggi. Kaum Margol membangun pemukiman mereka menghunjam bumi. Mereka percaya bahwa para dewa bersemayam di dalam inti bumi. Itulah sebabnya, semakin dalam rumah mereka, semakin berkelas di mata Kaum Margol.

Belulang di Mungkal Tumpang

Belantara Tumaregol dijuluki hutan hitam oleh warga Geholsraya. Julukan tersebut diberikan karena hutan tersebut penuh dengan aura angker dan sihir jahat. Setiap malam, suara hewan menggelora mendirikan bulu kuduk.

Hutan Tumaregol sendiri dipenuhi oleh pepohonan tua dengan usia berabad-abad. Jauh di dalam hutan tersebut, tinggal sekelompok makhluk cerdas dengan kemampuan yang adilihung. Mereka adalah manusia-manusia super yang sengaja menghilang dari dunia nyata. Dengan kemampuan mereka yang mumpuni, bepergian ke Geholsraya tanpa diketahui manusia biasa adalah hal yang biasa.

Penduduk dalam Tumaregol biasa disebut Kaum Margol. Kaum Margol sendiri berujud sama seperti manusia biasa seperti kebanyakan warga bumi Geholsraya. Namun badan mereka memiliki tinggi minimal dua meter. Badan mereka kekar dengan wajah keras nan tampan dan cantik. Kaki-kaki mereka jenjang tanpa timbunan lemak berlebih karena hanya sedikit digunakan untuk berjalan. Mereka terbiasa terbang dengan kendaraan rumit yang biasa disebut Langlayangan.

Kaum Margol percaya bahwa mereka adalah titisan para dewa. Kaum Margol mengangkat pemimpin mereka yang paling hebat dan mampu terbang tanpa bantuan Langllayangan. Saat ini, Kaum Margol dipimpin oleh Sarju.

Sarju sendiri terbilang berani dan maju dalam berpikir. Jika selama ini para penduduk Tumaregol enggan bersahabat dengan manusia, Sarju berpikir dan bertindak sebaliknya. Ia diam-diam memiliki kontak dengan salah satu penduduk Geholsraya. Penduduk tersebut berasal dari kalangan biasa saja namun disegani karena kealiman dan pengetahuannya. Ia bernama Jatianom.

Geholsraya sendiri adalah kerajaan terbesar di pesisir Samudra Cigunung. Kekuasaan Geholsraya dibatasi oleh Samudra Cigunung di selatan, Pegunungan Sagara Galuh di barat, Laut Sunyi di utara dan Pegunungan Salamet di timur. Geholsraya terhitung maju untuk peradaban manusia. Kerajaan yang dipimpin oleh Sukamdani ini hidup dari bertani, berlayar, berdagang, dan berdagang logam.

Secara hokum, hutan Tumaregol adalah wilayah Geholsraya. Namun faktanya, hutan ini tidak disentuh kerajaan dan penduduk. Hutan ini berdiri angkuh memanjang dari sisi sungai Jetario menuju Pegunungan Salamet.

Kehidupan Geholsraya dibawah kepemimpinan Sukamdani sedang mengalami kekhawatiran yang menyelimuti seluruh penduduk Geholsraya. Kehidupan yang awalnya tenang berubah penuh gelisah tatkala banyak berseliweran kabar mengenai kebangkitan Padepokan Swargalega yang merupakan perkumpulan manusia-manusia cerdas nan ambisius. Perkumpulan ini memiliki banyak sekali orang pintar yang mampu menciptakan barang-barang dan sejata-senjata canggih yang sulit ditandingi. Swargalega sendiri kini dibawah pimpinan Pramponama. Seorang gila teks-teks kuno yang didesas-desuskan memiliki kemampuan membuat batu terbang.

Ketakutan Geholsraya pada Swargalega karena di masa lalu Swargalega pernah membuat heboh negeri Sukamdani dengan ledakan yang mampu membuat batu-batu meleleh. Geholsraya saat itu terpaksa menumpas Swargalega karena bahan peledak tersebut sering digunakan oleh tangan-tangan culas. Geholsraya sendiri akhirnya melarang Swargalega karena kekhawatiran tersebut.

(bersambung)


Tidurnya Birokrat Kami

Ruas Bumiayu-Salem
Pulang kampung selalu menyenangkan, bahkan sekesal apapun yang ditemui di perjalanan. Bertemu keluarga dan tanah kelahiran mampu menyurutkan tensi yang selama ini berkumpul di hati. Demi berkumpul dengan keluarga, macet seharian dan menyusuri jalanan kumuh tak pernah jadi halangan.

Jalan berlubang dan berlumpur ternyata masih eksis di tahun 2013 ini. Setidaknya di daerah kami di Brebes sana. Beruntung bagiku, melewati jalur yang bisa membuat pinggang keseleo tersebut tidak setiap hari. Namun sungguh menghibakan bagi mereka yang harus melaluinya karena tak ada pilihan.

Kerajaan Gehol Bulpusan X

Pertarunganpun tak bisa dihindari. Ratu Balakasura dengan kalap menyerang Gusti Hening dan Pantun tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk turun dari kuda dan bicara. Ia langsung menyerang dengan segenap kekuatan. Binasalah yang ia harapkan kepada dua orang yang dianggap musuhnya tersebut.

Demi mendapat serangan membabi-buta seperti itu, Gusti Hening dan Pantun tak mau main-main. Mereka langsung juga mengeluarkan kekuatan tanpa tedeng aling-aling. Maka bukit tempat mereka bertarung pun penuh getaran-getaran dan suara menakutkan. Mereka yang melihat pertarungan ini sejatinya hanya melihat bayangan yang berkelebat kesana-kemari.

Sun Geyo yang baru tiba pun demikian. Matanya terasa pusing mengikuti kemana arah bayangan yang tak benti bergerak. Masing-masing bayangan mengeluarkan sinar yang menyilaukan. Sinar-sinar berkekuatan tinggi tersebut membuat banyak pohon kecil roboh dan tanah amblas. Sun Geyo juga kebingungan menentukian yang mana bayangan junjungannya dan mana bayangan Ratu Balakasura.

Di tengah pertarungan yang entah kapan berhenti tersebut, tiba-tiba gelegar guntur membahana. Hujan deras laksana badai mengguyur Gehol yang selama ini meranggas. Derasnya hujan dan ledakan guntur tidak menyurutkan pertarungan ketiga orang berilmu sakti tersebut. Masing-masing tetap berusaha menjatuhkan lawannya.

Pantun alias Gajah Putra Sunda telah mengeluarkan ilmu Karang demi menahan serangan berbahaya Balakasura. Gusti Hening memacu serangannya dengan dilapisi ajian Karang Kemukten, jika orang biasa siapapun yang terkena ajian ini akan hancur berantakan laksana batu kapur dihantam karang.

Balakasura tentu saja tidak tinggal diam, ia telah mengeluarkan ilmu Sagara Geni yang membuat api berkobar dimana-mana. Api abadi yang tidak padam meski hujan mengguyur. Jangankan tubuh manusia, bahkan batu pun meleleh dibuatnya. 

Ketiganya terus bertarung hingga di suatu saat sebuah pukulan Gidam Alugora milik Pantun dilayangkan sekuat tenaga dan mengenai tubuh Balakasura. Kontan saja, tubuh nenek sakti tersebut melayang disertai lengking kesakitan yang dahsyat. Gusti Hening kemudian mengeluarkan ajian Karang Kemukten dengan kekuatan tenaga dalam penuh, hantamannya mengenai dada Balakasura yang membuat nenek ini megap-megap meregang nyawa.

"Tiji tibeh, aku tak sudi mati sendiri. Kalian harus ikut menemaniku menghadap para dewa," ujar Balakasura sambil memegangi dadanya yang sesak. Darah hitam kental mengucur dari sisi bibirnya yang hitam.

"Sagara Geni!" ujar Balakasura sambil melompat ke arah Pantun dan Gusti Hening. Tangannya yang mengeluarkan api mahapanas kemudian menyasar kedua musuhnya. 

Entah ilmu apa yang dipakai Balakasura tiba-tiba kedua tangannya yang berapi memanjang dan membesar. Kontan saja Gusti Hening dan Pantun kelabakan. Karena tak bisa menghindar keduanya sepakat mengeluarkan ajian pamungkas dengan tenaga penghabisan. 

"Karang Kemukten," teriak Gusti Hening sambil menabrakkan diri ke arah tangan Balakasura yang membesar dan berapi mahapanas.

"Palu Alugoraa," lengking Pantun seraya melakukan hal yang sama dengan Gusti Hening.

Sedetik kemudian, terdengar ledakkan yang memekakkan telinga bagi siapapun yeng mendengarnya. Ledakan beradunya kekuatan tersebut membuat tempat pertarungan berubah menjadi lubang cekung sangat besar. Sementara itu, tubuh Balakasura menclat ke arah Ci Hirup meninggalkan jalur yang dalam sehingga membuat Ci Gunung jalurnya membesar. Tubuhnya berhenti di sebuah karang yang tadinya berada di sisi sungai namun karena ledakan dan sapuan tubunya kini berada di tengah sungai. Tubuh tersebut terhenyak sembari kehilangan nyawa kemudian meledak meninggalkan sebuah lubang yang sangat dalam.

Gusti Hening juga demikian, tubuhnya menclat ke arah Timur dan meledak membuat tebing di sisi itu roboh beserta pepohonan yang tumbuh di atasnya. Akibat ledakan tersebut, bukit yang tadinya menjulang kemudian jadi landai.

Pantun yang mengeluarkan ilmu sambil menabrakkan diri ke arah Balakasura pun demikian. Tubuhnya melayang jauh ke arah utara dan membentuk lubang besar di bawah sebuah pohon kiara yang teramat besar. Anehnya, lubang tersebut mjengeluarkan air yang sangat deras dengan warna bening nan harum.

Hingga kini, bekas pertarungan ketiganya tetap ada. Bukit tempat Gusti Hening meledak dinamakan Sagara Hening. Mata air tempat Pantun jatuh dan mengeluarkan air bening dan harum dinamakan Ci Pantun. Sedangkan jalur besar Ci Gunung yang dibuat Balakasura dinamakan Petahunan. Di tempat inilah, Balakasura setahun sekali meminta korban. Demi menghindarinya, par apenduduk kemudian melakukan upacara menolak balakasura, yang lama kelamaan dinamakan jadi tolak bala.

Sementara itu Gehol kembali normal. Pembentukan lewi diteruskan dan hingga kini masih ada dan dinamakan Ci Lewi. Sun Geyo sendiri kemudian menjadi penguasa Gehol sebab para petingginya telah punah. Lalu negeri itu dinamakan Negeri Ngeyo untuk mengabadikan jasa Sun Geyo.

(tamat)