Stop Menjual Ketakutan!



Setiap kali kita akan mengingatkan seseorang akan dampak buruk sesuatu, maka yang pertama dilakukan adalah membuat takut, bukan membuat paham. Saat seseorang berusaha mencari tahu, sederet peringatan bernada ancaman datang. Ketakutan menjadi semacam obat ampuh dalam meredakan gejolak akan keingintahuan.

AIDS adalah salah satu yang menjadi momok karena lebih banyak ketakutan yang dijual demi mencegah penyebarannya. Meski dampaknya memang menakutkan, namun sejatinya sebagaimana penyakit pada umumnya, pencegahannya relatif mudah.

Akibat dari terlalu banyaknya bumbu takut dalam AIDS maka tak heran jika mereka yang kurang beruntung telah terkena menjadi sasaran. Maka jangan harap mereka – yang dengan secara jelas kita telah memarjinalkan dengan menyebutnya ODHA – susah sekali diterima oleh masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah.

Stigma bahwa AIDS adalah penyakit karma harus dipupus. Kita yang lebih beruntung harus lebih bijak mengatakan apa saja yang bisa membuat kita terkena virus HIV. Selama ini hanya pemindahan cairan melalui hubungan seks saja yang digaungkan. Sehingga ketika ada seseorang yang terkena, maka dengan otomatis disematkan kata kualat.

Bukti Tweet

Bukti Follow
Padahal virus ini sejatinya memiliki media penularan yang relatif tertutup. Kita semua tahu bahwa HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Jadi sangat berlebihan jika kita kemudian memperlakukan ODHA seperti penderita kusta di masa lalu.

Secara tidak sadar kita telah terlalu menganggap ODHA begitu ”spesial”. Sayangnya perhatian berlebih kita justru secara tidak langsung menjauhkan mereka dari masyarakat pada umumnya. Terutama karena kita masih lebih banyak menjual ketakutan saat memberikan penyuluhan tentang AIDS. Misalnya saja dengan selalu memfokuskan pada pekerja seks komersial (PSK), kaum homoseksual dan pemakain narkoba. Dengan demikian, secara tidak langsung ketika seseorang terkena HIV/AIDS maka hal pertama yang terlintas adalah akibat ”jajan” atau kualat.

Mari berhentilah memfokuskan bahwa HIV/AIDS hanya disebabkan oleh aktivitas seksual dan napza. Berhenti pula mempertontonkan ODHA saat ada penyuluhan. Sebisa mungkin rahasiakanlah peserta seminar tentang AIDS. Jangan  juga setiap ada pemeriksaan kesehatan PSK dan razia narkoba maka selalu diasosiasikan dengan HIV/AIDS. Tak bijak juga rasanya jika penyebaran melalui media nonaktivitas seksual diabaikan. Karena justru hal tersebut makin membuat penyebaran HIV/AIDS kian susah dideteksi.


Yang paling penting digalakkan sekarang ini justru adalah bagaimana gaya hidup sehat sebagai acuan hidup masyarakat. Karena dengan gaya hidup sehatlah, semua penyakit bisa dihindari bahkan disembuhkan. Pada dasarnya sehebat apapun serangan kuman dari luar, akibat yang ditimbulkannya tergantung seberapa kuat daya tahan tubuh kita.

Dengan fokus memperingatkan masyarakat tentang HIV/AIDS dari sisi gaya hidup sehat, maka pandangan masyarakatpun seharusnya ikut berubah. Penderita HIV/AIDS bukan lagi mereka yang terkena karma karena hidup yang penuh hura-hura saja. Tetapi siapapun mereka yang memperlakukan diri dengan tidak sehat. Sudah saatnya kita menanamkan bahwa siapapun yang tidak bergaya hidup sehat bisa terkena penyakit ini. Sebab virus ini bisa masuk melalui berbagai media yang tercemar.

Karena gaya hidup sehat yang ditonjolkan maka ODHA-pun tidak lagi perlu perlakuan ekstrim dari kita. Mereka yang terlampau disorot oleh kita pada akhirnya akan kembali hidup normal. Sebab dengan memandang mereka sebagai korban gaya hidup yang tidak sehat, mereka akan lebih mudak diterima kaum awam. Sehingga dalam benak masyarakat mereka adalah manusia biasa, bukan manusia kualat.

Mereka dekat dengan kita, sebab mereka adalah sahabat! 

Bekasi - Jawa Barat

Petahunan dan Legendanya

Tak usah memasukkan Petahunan ke sebuah lembaga untuk dirating guna menilai keindahan alamnya. Tak butuh voting, SMS apalagi kampanye untuk meyakinkan bahwa Tuhan menciptakan Petahunan dengan penuh rasa seni. Cukup warga Gehol dan sekitarnya yang tahu. Sebab semakin banyak yang tahu, semakin besar kerusakan yang bisa timbul.

Petahunan dilihat dari hilir
 
Petahunan yang seakan menjadi pijakan bagi Gunung Geulis adalah tempat yang eksotis sekaligus mistis. Airnya yang tenang seolah menyembunyikan kekuatan magis yang tersembunyi. Maklumlah, Patahunan adalah tempat yang memiliki banyak legenda mulai dari Bulus Raksasa, Mungkal Putri, hingga Leuwi Liang. Belum lagi dengan adanya Mayangga dan Gulung-gulung Samak.

Bulus Raksasa alias Kura-kura Raksasa adalah penjaga kelestarian hewan-hewan air yang ada di Petahunan. Percaya atau tidak, setiap warga meracun air Petahunan, ikan-ikan di Petahunan seolah menghilang entah kemana. Anehnya, saat air kembali normal maka ikan-ikan Petahunan akan dengan jelasnya terlihat.

Konon Bulus Raksasa memiliki tempat bersembunyi yang dinamakan Leuwi Liang. Saat manusia serakan menaburkan racun, dengan sigap ia akan menggiring ikan-ikan pergi ke Leuwi Liang. Hebatnya, Sang Bulus akan menutup pintu gua tersebut sehingga air beracun tidak dapat masuk.

Leuwi Liang sendiri – sebagaimana banyak penyelam berkisah – memiliki pintu yang cukup besar untuk dimasuki manusia. Namun jangan sekali-kali memasuki Leuwi Liang. Sebagimana namanya, gua ini adalah jalan menuju ke alam gaib yang secara kasat mata hanya berupa karang. Telah dikisahkan turun temurun bahwa Leuwi Liang merupakan jalan pintas menuju Hutan Maribaya. Hutan ini berdasarkan cerita rakyat di Gehol adalah sebuah desa yang hingga kini eksis, namun desa tersebut tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Manusia yang tidak memiliki belahan pemisah bibir, menurut legenda, merupakan penghuni Maribaya. Mereka secara berkala berkeliaran untuk berbelanja di Bumiayu.

Jangan lupakan Mungkal Putri, yang dipercaya masyarakat Gehol sebagai tempat bertapa penghuni Petahunan dan Gunung Geulis. Mungkal – dalam bahasa Indonesia berarti batu – ini berada beberapa meter di hilir Petahunan. Bentuknya yang seperti tempat bertapa dan memiliki permukaan halus sangat enak untuk diduduki. Disinilah dalam waktu-waktu tertentu, sering muncul perempuan cantik yang entah berasal dari mana.

Terlepas dari legenda yang mengiringinya,. secara geografis Petahunan memang menarik. Ia berada tepat diantara dua bukit yang menjulang. Ada Gunung Geulis yang menjulang bak tumpeng di sisi kiri Petahunan. Sedangkan di sisi kanan terdapat sebuah bukit yang sering dijadikan tempat cangkarama atau makan-makan pengunjung Petahunan. Bukit itu sendiri dinamakan Bukit Gajah Sunda.

Petahunan merupakan tempat menampung air Cigunung yang memiliki mata air di Salem – sebuah kecamatan yang berada paling barat di kabupaten Brebes. Petahunan adalah harapan bagi kaum petani Gehol di masa kemarau, sekaligus benteng terakhir dari membludaknya air Cigunung di masa penghujan. Meski saat kemarau, Petahunan tetap berbahaya apalagi bagi yang kurang pandai berenang. Entah sudah berapa korban meninggal tenggelam di Petahunan.

Belum lagi melihat bagaimana aliran air di hulu Petahunan. Alirannya yang deras sangat nikmat untuk dijadikan ajang berarung jeram. Jeram dan alirannya masih murni karena belum disentuh oleh warga Gehol. Bahkan pengunjung yang datangpun belum banyak yang berani melihat-lihat di hulu Petahunan. Selain aura angkernya yang nyata, kesunyian adalah alunan alam setia di sana.

Jangan lewatkan melihat petahunan di malam hari. Pesonanya sungguh luar biasa indah. Sebab Petahunan digunakan hewan-hewan nokturnal mencari mangsa. Saat malam, hewan-hewan yang turun untuk mencari mangsa di Petahunan akan terlihat jelas. Salah satunya Sero atau Berang Berang – sejenis Musang – yang memiliki mata bersinar di kegelapan. Rombongan mereka akan terlihat jelas menghiasi Gunung Geulis maupun Gajah Sunda. Cahaya yang merupakan pantulan mata mereka akan berlarian sepanjang malam, membuat malam di Petahunan takkan membosankan.

Dengan alamnya yang masih asli, Petahunan memang menawarkan pengalaman yang mengesankan. Jika Anda berani, berarungjeramlah dari hulunya, berenanglah di Petahunan dan bermalamlah menikmati lumpatan-lompatan cahaya yang berasal dari mata hewan-hewan nokturnal.  


Yang Gaib dari Gehol


Lain ladang lain belalang, lain tempat lain juga hantunya. Begitulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa hantu dan makhluk gaib sangat erat dengan kehidupan manusia. Dimanapun mereka hidup, makhluk halus dan mitosnya selalu ada seiring berkembangnya peradaban.

Geholpun demikian, ada sederet makhluk gaib penghuni daerah-daerah yang dianggap angker. Ada juga beberapa nama gaib yang wajib ditakuti anak-anak demi keselamatan mereka. Adapun tempat-tempat seram yang biasa didiami oleh makhluk gaib Gehol antara lain sungai, hutan, kebun dan sawah. Sedangkan waktu yang paling sering dijadikan ajang unjuk gigi kaum gaib ini adalah tengah hari, menjelang maghrib, tengah malam dan menjelang subuh.

Berikut adalah beberapa nama makhluk gaib yang hingga kini dipercaya menjaga tempat-tempat keramat di Gehol.

Ilustrasi Mayangga


  1. Mayangga
Ini adalah monster sungai yang mendiami ceruk-ceruk yang dalam dan bersembunyi di bawah bebatuan. Monster ini akan memangsa korbannya dengan cara menarik tubuh sekaligus melilitnya hingga lemas. Korban kemudian akan disedot seluruh darah dan otaknya melalui ubun-ubun.

Bentuk mayangga sendiri tidak ada yang tahu pasti. Namun pada saat mengambang, makhluk gaib ini akan terlihat seperti kepala yang memiliki rambut yang sangat panjang dan berantakan. Jika disamakan dengan berbagai monster di dunia perairan, Kraken atau cumi-cumi raksasa mungkin paling pas.

Korban yang disedot Mayangga biasanya akan lama dipendam dalam air dan saat ditemukan ada lubang di ubun-ubun atau jidatnya.

  1. Gulung-gulung samak
Seperti Mayangga, Gulung-gulung Samak mendiami tempat dalam dari sungai. Biasanya makhluk ini mendiami bagian dalam sungai yang tenang dan tanpa ada batu-batu besar. Dinamakan Gulung-gulung Samak karena ia akan menggulung korbannya sebagaimana samak (karpet) menggulung manusia.

Korban Gulung-gulung Samak akan merasakan tempat ia berpijak sangat licin sehingga ia akan tergelincir. Saat tubuh korban tergelincir dan tenggelam, Gulung-gulung Samak kemudian akan menggulungnya hingga mati lemas. Tidak itu saja, makhluk ini juga akan menyerap energi korbannya dengan menghisap seluruh cairan dalam tubuh korban melalui ubun-ubun atau kepala.

Tubuh korban makhluk ini akan bertahan di air selama cairan dalam tubuh korban ada. Jika cairan sudah tidak ada, maka tubuh korban baru akan muncul ke permukaan. Meski tubuhnya tenggelam lama, namun tubuh korban justru akan menciut dan busuk. Di dunia permonsteran, entahlah makhluk apa yang sejenis dengan Gulung-gulung Samak asal Gehol ini. 
 
Dalam mitos Sunda sendiri, ternyata Gulung-gulung Samak disebut juga Leled Samak.

  1. Kelong
Kelong adalah nama setan yang bertuga khusus menculik anak-anak yang bermain di malam hari. Anak yang menjadi target adalam mereka yang bermain terpisah dari teman-temannya. Adapun umur korban biasanya paling tua berumur 12 tahun.

Jika dua makhluk di atas akan membunuh korbannya, Kelong tidaklah demikian. Korban Kelong akan dijadikan budaknya. Jika lebih dari semalam korban tidak ditemukan, maka jelas sudah bahwa Gehol akan kehilangan salah satu penerusnya tanpa jejak. Namun kebanyakan korban Kelong berhasil ditemukan di pepohonan tinggi.

Seorang anak yang menjadi korban Kelong akan mengalami lupa ingatan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Tergantung seberapa cepat ia ditolong dan disadarkan. Ada yang dalam beberapa menit lupa ingatan, namun ada juga yang sampai beberapa hari seperti orang linglung.

Kelong mungkin setipe dengan Wewe Gombel, namun sayangnya tidak ada yang dapat memberi keterangan apakah Kelong juga berubah wujud menjadi perempuan cantik saat ia menculik anak-anak sebagaimana yang dilakukan Wewe Gombel. Yang jelas cara mengusir Kelong sama persis denga Wewe Gombel yaitu mengusirnya dengan membunyikan berbagai benda.

  1. Sandekala Mawa Dadung

Makhluk yang satu ini khusus datang saat hari menjelang Maghrib. Sandekala sendiri kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti menjelang akhir. Sedangkan mawa dadung merupakan bahasa Sunda yang berarti membawa tali.

Makhluk yang satu ini akan menjerat anak-anak yang masih berkeliaran di waktu orang-orang wajib menjalankan ibadah sholat Maghrib. Namun tidak ada deskripsi apapun mengenai mahkluk ini apakah berbentuk manusia, hewan atau kombinasi keduanya. Yang jelas Sandekala Mawa Dadung siap menjerat korbannya untuk kemudian menghilang dari peredaran.

Tidak ada penjelasan juga apakah korbannya akan meninggal atau dijadikan budak seperti Kelong. Dalam dunia gaib entah makhluk apa yang bisa dijadikan representatif dari makhluk satu ini.

Yang patut ditarik kesimpulan dari keberadaan mereka adalah pelajaran apa yang hendak diberikan leluhur melalui penyebutan dan pengisahan makhluk-makhluk gaib di atas. Semoga kita bisa menjawabnya.

Kajak, Liliuran dan Kerid: Gotong Royong ala Gehol


Gotong royong adalah tradisi yang diidentifikasikan dengan Indonesia. Jika tidak pernah atau tidak kenal gotong-royong, maka ke-Indonesiaan seseorang patut dipertanyakan. Tradisi gotong royong sendiri mengalami puncak keemasan di masa Orde Baru. Selain menjadi santapan wajib tiap hari di sekolahan, banyak program pemerintah yang mencirikan gotong royong.

Ilustrasi Kerid (antarafoto.com)

Di Gehol alias Jetak sendiri, ada setidaknya tiga tradisi gotong royong. Kajak untuk membantu salah satu warga Gehol memperbaiki atau membangun rumah. Liliuran yang dikhususkan untuk membantu salah satu warga dalam menggarap sawah. Terakhir adalah kerid, sebuah tradisi gotong rotong khusus untuk memperbaiki sarana dan prasarana kampung.

1.      Kajak

Tradisi ini sangat membantu warga demi menghemat keuangan yang sedang membangun rumah. Maklum tradisi ini dulunya begitu kompak menunjukkan solidaritas warga dalam membantu sesama.

Hal yang unik dari tradisi ini adalah adanya sistem bergilir dari seluruh warga Gehol. Bisa dipastikan bahwa semua warga akan mengirimkan minimal satu wakil yang mewakili sebuah keluarga untuk membantu. Saking teraturnya, semua mampu melihat kebutuhan si tuan rumah. Jika kebanyakan peserta maka yang kajak akan mengurangi diri dan jika kekurangan orang dengan segera ada warga yang akan menambalnya.

Tentu saja mereka yang kajak datang dengan kesadaran sendiri dengan bermodal satu harapan bahwa jika dia sedang mengalami hal yang sama maka akan mendapatkan bantuan dari semua warga. Banyak tidaknya yang mengikuti kajak menjadikan sebuah ukuran sejauh mana kebaikan orang tersebut.

Kenapa kajak membantu keuangan warga yang sedang membangun rumah? Tak lain karena mereka yang kajak akan membantu tukang yang sedang membangun. Dengan banyaknya tenaga gratisan ini, maka pembangunan akan kian cepat selesai. Dulu, kajak akan berjalan hingga proses pembanguna selesai.

Sayangnya sekarang kajak kian hilang dari budaya Gehol. Kajak kini hanya berlaku di awal dan akhir kegiatan saja. Bahkan tak jarang tak ada kajak sama sekali tergantung tuan rumah tentunya. Beruntung kajak ala ibu-ibu masih terus berlangsung hingga kini, meski terbatas pada kerabat. Ibu-ibu akan membantu tidak dengan tenaga, tetapi dengan menyumbang makanan ala akdarnya bagi tuan rumah.

2.      Liliuran

Sama seperti kajak, liliuran juga merupakan seni saling membantu sesama warga atas dasar ikhlas. Hanya saja objeknya berbeda. Liliuran khusus untuk membantu warga dalam menggarap sawah atau ladangnya.

Liliuran sendiri tentu sangat membantu, mengingat sebagian besar warga Gehol adalah petani. Dengan liliuran, pekerjaan yang seharusnya bisa sampai seminggu dapat selesai hanya dalam sehari.

Uniknya program liliuran dilihat kontinuitas dalam pelaksanaannya. Jika peserta liliuran adalah sepuluh orang, maka bisa dipastikan dalam waktu tertentu – biasanya dalam masa tanam – kesepuluh orang tersebut akan berkeliling ke ladang atau sawah mereka. Jika hari Senin kesepuluh orang tersebut menggarap sawah si A, maka sembilan hari kemudian mereka akan menggilir sawah masing-masing.

Konstinuitas dalam waktu berdekatan memang sangat unik dan menguntungkan. Dengan demikian, masa tanam serta masa panen sawah atau ladang mereka akan terhitung serentak. Senada dengan masa tanam, masa panenpun akan diisi dengan liliuran juga.

3.      Kerid

Kerid adalah seni gotong royong untuk memperbaiki sarana dan prasarana desa mulai gedung balai desa, jalan hingga pengairan. Khusus untuk kerid masalah air, disebut dadawuan. Sayangnya jika kerid hampir seluruh warga ikut, dadawuan lebih terbatas kepada mereka yang merasakan manfaat langsung dari sistem irigasi dari sarana yang diperbaiki tersebut.

Kerid biasanya dikordinir langsung oleh pamong desa. Warga akan berbondong-bondong memperbaiki sarana tersebut hingga kembali berfungsi normal. Karena jaman Orde Baru masalah sarana bersama jarang ditenderkan secara terbuka kepada pihak swasta, maka kerid di Gehol sering sekali terjadi.

Kini, kerid masih sering dijumpai meski dalam skala terbatas dan biasanya terkait hal darurat. Misalnya saja memperbaiki jembatan roboh, mencari korban longsor, mencari korban hanyut dll.

Sekelumit kisah tradisi yang mencerminkan kebersamaan tersebut kini kian jarang dan mendekati musnah. Sesuatu yang sangat disayangkan, mengingat selain sebagai ajang memperbaiki sarana fisik juga sebagai tempat mempererat silaturahim.



Tundan, Babarit dan Bada Bumi: Tradisi Hilang dari Gehol


Mengenang Gehol selalu teringat berbagai tradisi yang hilang karena ego kaum kini. Tradisi yang terselip diingatan tersebut, hanya beberapa kali terkecap saat aku masih kecil.  Tiga dari tradisi yang terselip di ingatan tersebut adalah tradisi Tundan, Babarit dan Bada Bumi. 

Ilustrasi Bada Bumi (radarkarawang.blogspot)
 
1.      Tundan

Tradisi ini berkaitan erat dengan mata pencaharian penduduk Gehol sebagai petani. Tundan diadakan jika sawah di Gehol diserang oleh hama. Hama yang biasanya membuat masyarakat Gehol melaksanakan Tundan adalah tikus.

Tundan dilakukan oleh seluruh penduduk dengan menggiring sang hama keliling kampung sambil diiringi tabuh-tabuhan. Tikus yang merupakan hama, ditangkap kemudian diiring oleh seluruh penduduk kampung sehingga sang tikus dan hama lainnya malu dan menghilang dari sawah warga.

Tentu saja, sebelum pengiringan dilaksanakan para tetua adat akan melakukan doa-doa kepada Yang Kuasa. Kemenyan dan perangkatnya akan mengharu biru sehingga suasana menjadi hikmad. Sesudah berdoa itulah, proses Tundan  di atas dilakukan.

Jika melihat prosesnya memang susah dicerna secara akal sehat bahwa untuk mengusir hama, yang dilakukan penduduk adalah dengan mengaraknya seperti maling. Namun, sebagai tradisi tentu saja banyak makna terpendam di balik tradisi tersebut. Yang jelas Tundan seratus persen membuktikan bahwa penduduk Gehol cinta alam. Bayangkan dengan cara ”ilmiah” sekarang yang lebih banyak menimbulkan penyakit.

Selain Tundan, cara mengusir hama di kampungku memang unik. Salah satu yang sejak aku kecil hanya terdengar kisahnya adalah cara mengusir hama Kungkang. Kungkang sendiri bernama latin Leptocorisia sp, suku Coreidae. Sebutan bahasa Indonesianya kalau tidak salah Walang Sangit.

Konon, untuk mengusir hama ini, pemilik sawah cukup mengelilingi sawah mereka dengan telanjang bulat. Yang lebih ekstrim lagi, pasangan suami istri pemilik sawah harus melakukan ritual khusus. Ritual itu adalah sang istri harus mengikat kelamin suaminya saat mengelilingi sawah.

Dengan kata lain, sang istri menuntun suami layaknya kerbau dengan mengikatkan tali di kemaluannya. Entah apa maksud dari tradisi ini, yang jelas 100% tidak merusak lingkungan. Tentu saja, ritual ini dilakukan saat suasana sawah telah sepi. Biasanya dilakukan saat senja tiba, dimana para petani lainnya sudah pulang ke rumah.


2.      Babarit
Babarit adalah tradisi Gehol yang telah punah juga. Tradisi ini adalah semacam acara syukuran penduduk Gehol. Babarit dilaksanakan saat Bulan Maulid. Hari yang dipilih jika tidak Jumat Kliwon maka Selasa Kliwon.

Pelaksanaan Babarit sama dengan pelaksanaan tradisi lainnya. Penduduk berkumpul di tempat yang ditentukan kemudian berdoa bersama dipimpin oleh tetua desa. Setelah itu para penduduk pulang ke rumah masing-masing. Setelah sampai rumah, maka masing-masing penduduk akan melemparkan hasil bumi mereka ke atas atap.

Hasil bumi yang dilemparkan tersebut biasanya biji jagung rebus, kacang tanah, singkong rebus yang sudah dipotong kecil dan umbi-umbian lainnya. Sambil melemparkan hasil bumi tersebut, maka penduduk akan berteriak, ”Babarit!” Setiap lemparan akan menyebutkan kata Babarit.

Jika dilihat dari waktunya, maka Babarit kemungkinan besar adalah ucapan syukur masyarakat Gehol atas kelahiran nabi. Apalagi, hari yang dipilih lebih banyak Jumat yang bagi sebagian besar dianggap sebagai hari lahir Nabi Muhammad SAW. Di kalangan Syi'ah, sesuai dengan arahan para Imam yang merupakan keturunan langsung Muhammad, meyakini bahwa ia lahir pada hari Jumat, 17 Rabiulawal; sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada hari Senin, 12 Rabiulawal (2 Agustus 570 M). Hal ini kian dikuatkan dengan pemakaian nama Babarit. Sebagaimana diketahui, babarit berasal dari kata babar yang artinya lahir. Meski secara religius, kampungku tidak beraliran Syiah dan cenderung Sunni. Namun pemakaian Jumat atau Selasa Kliwon kemungkinan besar karena kedua hari tersebut dianggap hari baik dan kramat oleh masyarakat Gehol.

3.      Bada Bumi

Tradisi Bada Bumi dilaksanakan pada bulan Sura dalam sistem kalender Jawa. Bulan ini sendiri adalah bulan Muharram alian bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Dengan kata lain, Bada Bumi adalah tradisi syukuran penduduk Gehol menyambut pergantian tahun.

Bada Bumi sendiri secara harfiah bisa diartikan lebaran atau perayaan bagi Bumi. Tradisi ini dilaksanakan dengan cara semua penduduk Gehol berkumpul sambil membawa makanan terenak yang bisa disiapkan. Makanan tersebut kemudian dimakan bersama seluruh penduduk. Biasanya para penduduk melakukan saling tukar makanan. Selain itu, masing-masing penduduk akan menyiapkan satu bungkus makanan yang akan disetorkan kepada panitia.

Bungkusan yang disetorkan kemudian akan dibagi-bagikan ke rumah-rumah seluruh penduduk. Tentu saja bagian pamong desa dan perangkatnya mendapatkan bagian yang dinilai makanan terbaik. Ini sebagai tanda terima kasih rakyat atas kesediaan mereka memutar roda pemerintahan.

Yang paling inti dari Bada Bumi adalah adanya penanaman kepala kerbau atau kambing di tempat paling strategis di kampung. Biasanya penanaman dilakukan di perempatan yang dilalui oleh semua orang baik yang masuk maupun keluar kampung. Tujuannya agar tanah tempat bercocok tanam memberikan kesuburannya bagi seluruh penduduk kampung.

Itulah sekelumit ingatan mengenai beberapa tradisi di kampungku. Tradisi yang hilang karena manusia di kekinian jaman merasa lebih beriman. Sebuah hal yang patut disayangkan sebab tradisi-tradisi tersebut pastilah memiliki makna yang dalam.