Jurus Merangkul Ala Kyai Mur
Melihat masyarakat yang terpecah-belah sekarang ini hanya gara-gara memilih pemimpin, saya teringat tentang kebaikan para ulama di kampung saya. Salah satu yang masih teringat adalah mendiang KH Zainal Mutaqien.
Kami biasa memanggil Beliau dengan sebutan Kyai
Mur. Dialah pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Al-Manar di kampungku.
Sekira usia akhir SD dan awal SMP, saya berkesempatan menimba ilmu di sana. Tak
lama memang, namun banyak hal yang susah dilupakan baik yang menakutkan maupun
menyenangkan.
Menakutkan karena Sang Kyai membawa aliran baru,
Muhamadiyah. Sementara sejak berpuluh tahun lamanya, NU sudah lebih dulu
mengakar di kampungku. Gesekan tentu saja ada. Namun kerukunan antarpenduduk
tetap terjaga. Perbadaan paham tentu saja terkadang membuat penganutnya saling
klaim kebenaran. Tapi di kampungku semuanya masih dalam batas kewajaran. Sebab,
hampir semua orang yang tinggal di sana memiliki ikatan darah alias bersaudara.
Tidak semua warga kampungku yang memang berstatus
sebagai Islam yang taat. Salah satunya tentu saja saya. Bagi banyak kaum
santri, anak-anak dan keluarga seperti saya digolongkan sebagai abangan alias
Islam KTP. Bahkan konon, saking kurangnya kadar iman orang-orang seperti kami
menikah dengan kaum santri hanyalah hayalan. Kami adalah golongan orang-orang
yang "jauh dari mesjid".
Untuk bisa menikahi kekasih dari golongan santri,
kami harus mengubah kebiasaan buruk kami yang jarang beribadah. Namun tentu
saja kebiasaan itu susah diperbaiki. Beruntung, kemudahan datang seiring
hadirnya Sang Kyai.
Kedatangan Kyai Mur membawa banyak perubahan.
Salah satu yang nyata adalah dirangkulnya kami yang Islam KTP ini untuk
berbondong-bondong ke pesantrennya. Pendekatan yang berbeda membuat anak-anak
dan orang tua yang tadinya jarang bersentuhan dengan agama menjadi militan.
Kadar militansi inilah sebenarnya yang membuat gesekan-gesekan kecil sering
terjadi.
Sebagai anak-anak, waktu itu saya tak terlalu
memperhatikan kenapa orang-orang yang dahulu dicap "jauh dari masjid"
kemudian begitu entengnya bergabung dengan Kyai Mur. Barulah beberapa tahun
setelahnya saya mengerti bahwa pendekatan Beliau yang merangkul itulah
penyebabnya.
Jika banyak yang lebih suka menjuluki kami
sebagai kaum kurang beriman, Beliau justru sebaliknya. Dia dekati orang-orang
yang kurang beriman ini tanpa label. Karena tanpa label inilah yang membuat
kami kemudian tergerak.
Pesan yang dibawa sama, kebenaran Illahi. Hanya
saja, kemasan kedua kubu dalam mendapatkan simpati kami berbeda. Kyai Mur
memilih pendekatan yang "memanusiakan" daripada memberikan label atau
cap yang buruk. Beliau mendekati alih-alih menjauhi. Beliau mengajak, bukannya
mencela.
Tentu saja para kyai NU juga melakukan hal yang
sama. Berdakwah kepada kami agar kembali ke jalan yang benar. Hanya saja,
kebaruan yang ditawarkan Kyai Mur mungkin lebih menarik warga. Kebaruan yang
dibungkus kemasan menarik itulah kelebihannya.
Jika dibandingkan dengan hari ini, sosok seperti
Kyai Mur tentu dirindukan. Orang-orang yang memiliki tutur kata sejuk dan
santun mungkin akan meredakan ketegangan yang ada saat ini. Keengganannya
memberikan label buruk pada orang yang berbeda atau tidak sejalan adalah salah
satu kekuatan atau charisma terbesarnya.
Sayangnya, sebagaimana orang baik pada umumnya,
Beliau terlalu cepat dipanggil Tuhan. Kejayaan pesantren saat Kyai Mur memimpin
kini kian menurun. Semoga, benih-benih kebaikan yang dibawanya kian berakar dan
mekar di kampungku.