Jokowi, Prabowo, dan Para Cukong
Sejak saya kecil, orang kaya dipandang sebagai makhluk mengawang yang susah dijangkau. Dalam diri para pemilik modal tersebut, melekat aneka keistimewaan yang sayangnya makin menjauhkan mereka dari jangkauan. Ketika berhadapan dengan orang kaya, kalimat yang selalu dibisikan adalah "Jangan macam-macam!"
Orang kaya dengan segala kemampuannya, dianggap sebagai salah satu penentu dari berjalannya kehidupan. Kekuatan modal mereka adalah kekuatan tak terperi dalam menata kepentingan. Sayangnya, kebanyakan dari kita mengklaim semakin kaya seseorang maka semakin banyak sifat dan sikap negatif yang melekat. Tak usah heran jika kaum miskin seperti kita akan bermimpi kaya sembari menyebarkan kebaikan. Sesuatu yang mungkin saja mimpi awal kaum kaya.
Saking negatifnya kaum berduit di mata masyarakat, banyak kisah rakyat yang mengarah pada kekuatan pahlawan yang menghukum mereka yang kaya dan membela yang miskin. Tengok saja betapa kita sulit lupa dan memimpikan
kembalinya kisah Robin Hood atau di negeri ini ada aneka kisah tentang Maling Budiman. Semua bermuara pada satu hal, orang kaya adalah makhluk yang sulit berbagi sehingga memerlukan tokoh pendobrak agar harta mereka bisa didistribusikan kepada yang membutuhkan.
Dewasa ini orang kaya, konglomerat, cukong, atau pemilik modal kembali riuh-rendah dibicarakan di media sosial. Mereka, terutama yang dicap hitam, dituding jadi pengendali Jokowi sehingga tokoh yang populer ini wajib ditolak. Dan kubu Prabowo yang mengklaim tidak dikendalikan konglomerat manapun kemudian mencapnya sebagai, meski kebanyakan lewat puisi, boneka.
Kenapa konglomerat begitu susah diterima saat mereka "bederma" dalam gelaran politik? Sebab alam bawah sadar kita sudah menyetujui bahwa konglomerat lebih banyak memiliki kekuatan negatif daripada positif. Mereka adalah kelompok manusia yang tidak akan membiarkan bahkan sebutir nasi pun untuk jatuh percuma tanpa memberikan keuntungan. Maka, kita dengan segenap kepatuhan logika kemudian mengiyakan bahwa bahaya semata yang akan timbul jika seorang calon didukung oleh konglomerat, apalagi yang dikelompokkan konglomerat hitam alias cukong hitam.
Sebagai orang awam, saya sendiri tidak terlalu peduli dengan isu konglomerat yang ada di belakang salah satu calon. Karena bagi saya, semua calon pada dasarnya langsung atau tidak memerlukan dukungan finansial dari para cukong. Bagi saya, Prabowo logis saja saat dengan gagah berani menyatakan dirinya tidak didukung konglomerat. Karena pada dasarnya ia adalah konglomerat itu sendiri, atau setidak-tidaknya berasal dari keluarga konglomerat. Bukankah tidak mungkin seorang prajurit sejati, bisa bangun rumah dengan luas "segambreng" lengkap dengan pasukan penjaga dan kuda-kuda kesayangan. Adalah mustahil juga jika seseorang yang bukan konglomerat mampu dudukkan kolega dan keluarga di Senayan dengan modal milyaran rupiah.
Jadi, kini pilihannya makin sulit bukan? Jika benar Jokowi dikendalikan konglomerat maka pertarungan capres kali ini tetap antarkonglomerat bukan? Jika antarcukong sudah bertempur, maka yang direbutkan apalagi kalau bukan sumber-sumber uang?