Lebaran dan Agustusan di Gehol
Warga Gehol setidaknya punya dua momen istimewa yang wajib dihadiri. Dua momen ini memiliki peran silaturahmi yang teramat penting dalam dinamika sosial di Gehol, setidaknya hingga dekade 90-an. Keduanya adalah kalender wajib bagi para perantau untuk pulang kampung. Juga momen wajib bagi para orangtua melaksanakan pekerjaan berat mereka bagi anak-anak, baju baru.
Momen yang pertama terkait dengan religiusitas para warga Gehol, Lebaran. Yang ini hingga kini masih menjadikan momen utama perantau mudik. Bahkan, Lebaran adalah kalender resmi warga Gehol secara de facto. Warga Gehol, kebanyakan memulai segenap usaha pascalebaran dan menjadikan Lebaran sebagai puncak dari segenap usaha yang dilakukan. Lebaran adalah 0 kilometer warga Gehol dalam meraih rizki sekaligus kilometer puncak dalam rangka menikmati rizki.
Meski Lebaran kian hari kian terasa pendek durasinya, tapi momen ini tetap jadi momen utama berkumpul bersama keluarga. Jika dahulu Lebaran jadi momen berkumpul bersama warga kampung melalui acara salaman layaknya semut, kini salaman pada kawan sekampung cukup lewat pesan berantai. Jikapun bertatap muka, maka klakson jadi penanda bahwa semua salah dan dosa pada yang bersangkutan luruh. Maka, salaman menjadi ekslusif sebatas keluarga saja, di sela-sela menonton layar smartphone atau TV.
Yang paling menyedihkan tentu saja mereka yang telah berpulang. Jika dulu keluarga yang ditinggalkan dengan susah payah mencapai makam dengan berjalan kaki sehingga acara doa akan lebih lama sekaligus ajang istirahat, kini mengingat yang telah tiada cukup sekejap saja. Motor dengan digdaya membuat warga Gehol ogah berlama-lama di pekuburan. Motor dan mobil pulalah yang menghilangkan tradisi memasuki setiap rumah di kanan-kiri jalan saat pergi dan pulang pemakaman. Jayalah teknologi.
Momen kedua yang kini mulai pudar adalah HUT RI atau biasa disebut Agustusan. Dahulu, momen ini adalah momen wajib hadir sebagai penanda nasioanalisme dan kebanggaan akan desa. Sorak sorai warga sudah ada sejak upacara dimulai hingga sore tiba. Aneka kesenian warga ditampilkan, meski kebanyakan kesenian dadakan. Warga berkarnaval ria menyajikan aneka kreasi dan kegilaan yang selama ini terpendam oleh kesibukan mencari penghasilan.
Kini, Agustusan khusus milik anak sekolah dan para pegawai negeri. Masyarakat kebanyakan cukup menyaksikannya lewat TV, dan para perantau berbahagia karena bisa libur dan bersantai tanpa beban. Semua hiburan sudah diambil alih TV sehingga seremonial dan aneka seni Agustusan dianggap sebagai pemborosan anggaran belaka. Jayalah teknologi.
Mungkin satu-satunya yang bisa menikmati dua momen ini adalah anak-anak. Jika dahulu anak Gehol kebanyakan menyandarkan pergantian baju baru pada dua momen ini, maka kini mereka bebas meminta kapanpun. Meski belum tentu juga dikabulkan orangtua masing-masing. Yang pasti Lebaran masih identik dengan baju baru. Sementara Agustusan, bahkan momen inipun sudah banyak anak yang tak peduli.
Lebaran dulu adalah momen membeli baju baru keluaran terbaru. Agustusan adalah momen ganti baju sekolah. Kini, kapanpun ada model baru, anak-anak bebas merengek. Sedangkan untuk baju sekolah, pihak sekolah telah berhasil mengambil alih.
Jika Agustusan kini mulai hilang dan ingin dilupakan karena dianggap seremonial belaka dan berujung pemborosan, bisakah Lebaran bisa bertahan dari stigma tersebut? Gehol masa depan akan menjawab.