Derita Dibasuh Balsem
Sebenatar lagi BBM naik, sebuah kepastian yang diguratkan oleh pemangku negeri dengan alasan melindungi negara dari makhluk bernama bangkrut. Beralasankan bahwa subsidi hanya dinikmati oleh orang kaya, maka bahan yang biasa digunakan untuk memudahkan mobilitas warga ini dengan senang hati diluluskan para perwakilan rakyat untuk dinaikkan.
Apakah warga Gehol terganggu? Tentu saja ia, meski gangguan tersebut dapat dengan cepat dibasuh ucapan syukur karena masih bisa menghirup udara secara gratis. Mungkin, di masa datang yang satu inipun akan dipungut biaya. Masalahnya, bagi warga Gehol adalah seberapa mampu pemangku negeri menggantikan kejutan tersebut dengan hal menyenangkan? Maka, marilah kita lihat bagaimana warga Gehol menyikapi BLSM, alias balsem.
Sudah tak terhitung program pemerintah yang bertujuan mengentaskan kemiskinan diberikan pada warga Gehol, seperti warga negara Indonesia lainnya. Lalu, apakah kemiskinan dari Gehol sudah enyah? Tentu saja belum, ia masih bercokol hampir di sebagian besar warga yang mendapatkan berkah dari Sungai Cigunung ini. Tengok saja raskin yang menurut sahibul hikayah pernah menggegerkan warga kampungku yang bersahaja tersebut. Lalu, ada PNPM yang juga seperti biasa, kehadirannya disambut dengan sangat bahagia oleh para aparat, bukan warga.
Kini, ketika pemerintah menelurkan BLSM alias balsem, apakah bisa efektif mencegah kemiskinan kian dalam di kampungku? Jawabannya tentu saja tidak akan. Kenapa? Karena seperti biasa, kebijakan ini cenderung reaktif daripada solutif. Sesungguhnya, warga Gehol memang tidak terlalu banyak mengonsumsi BBM bersubsidi. Paling banter mereka hanya memiliki sepeda mootor dengan cc kurang dari 250cc. Ada juga yang punya mobil, namun biasanya mereka adalah kaum ningrat atau yang meningratkan diri karena punya sumber daya lebih dari sesama. So, apasih yang dibutuhkan warga kampungku tercinta?
Satu hal yang membuat mereka pantas kesal adalah terbengkalainya sarana mereka untuk beraktivitas. Jalanan yang buruk adalah sesuatu yang harus dihadapi setiap hari. Susahnya birokrasi adalam mimpi buruk yang wajib diterima tanpa bisa mengeluh apalagi komplain. Masih kurang? Tengok berapa jarak yang harus mereka tempuh hanya sekedar mengurus akte kelahiran, SIM, dan aneka surat penting yang hanya bisa dilakukan di ibukota kabupaten. Menyusahkan!
Jaminan kesusahan ini tentu saja tak sebanding dengan jumlah balsem yang diiming-iming pemerintah. Belum lagi absennya jaminan pekerjaan yang layak, kesehatan yang terjangkau, dan perekonomian yang lancar. Di kampungku, absennya pemerintah dalam melancarkan kehidupan adalah sebuah hal yang biasa. Tengok saja kantor kepala desa kami, aktivitasnya hanyalah kongko-kongko setengah hari. Maka, ketika ada tuntutan untuk diangkat jadi PNS mengemuka, gelak tawa warga tak terelakkan.
Masalah distribusi balsempun pasti akan memunculkan ketidakpuasan. Maklum, karena pemerintah terlalau lama absen dalam melayani, maka saat ada kesempatan pemangku negeri berbagi, semua orang merasa berhak sehingga terjadi rebutan. Dalam benak mereka, kapan lagi pemerintah berbuat baik? Sedangkan saat kampanye mereka hanya menjejali janji dan setelah menjabat janji menguap jadi mimpi. So, manfaatkan saja jika mereka berbagi, meski taruhannya pahit di masa datang. Sebab, masa kinipun sebenarnya sudah teramat pahit.
Jika saja jalanan bisa dilalui tanpa harus menyakiti badan, anak-anak muda dengan mudah mengais rejeki di kampung sendiri, harga pangan semurah para tengkulak membeli hasil bumi, warga Gehol sejatinya akan melipatgandakan syukur mereka. Juga melipatgandakan sifat pasrah dan menerima mereka, pada Tuhan, pada pemerintah, pada leluhur, dan pada siapa saja yang mau berbagi.
Maka, marilah kita tunggu geger baru dari balsem ini.
0 comments: