In Memoriam of Cecetoran

Mari kembali menelusuri jaman ketika kesederhanaan menguasai benak. Saat pikiran diperas sedemikian banyak karena sedikit sekali alat bantu di sekitar kita. Ketika uang tidak bisa memberikan segalanya karena banyak harta berlimpah meski dalam bentuk yang tak terduga.

Di masa itulah cecetoran dan susumpitan menguasai relung-relung ingatan bocah-bocah telanjang dada di Gehol. Yang menghabiskan waktu bermain kejar-kejaran dengan temannya seraya berperilaku layaknya Rambo, pejuang, atau musuh negeri ini, kompeni.

Kenapa cecetoran dan susumpitan memiliki nilai lebih dari mainan yang berserakan kini di tiap rumah anak-anak Gehol yang sudah lebih banyak menyimak TV daripada ustadz? Karena untuk mendapatkan kedua benda tersebut dibutuhkan perjuangan lebih dari sekedar merengek kepada orang tua. Di jaman kedua benda ini Berjaya, uang tidak bisa membelinya

1. Cecetoran
Mainan ini adalah senjata paling purba yang bisa ditiru oleh anak-anak kreatif Gehol. Pembuatannya membutuhkan pengalaman dan insting yang tajam. Lebih tajam dari silet! (hehehehe). 

Yang harus dilakukan pertama kali adalah memilih bambu yang kuat terhadap tekanan. Bambu yang dipilih harus jenis khusus, yang tahan terhadap cuaca dan harus basah selama mungkin. Biasanya pilihan jatuh pada Bambu Tali, yaitu jenis bambu yang memiliki kelenturan lebih dibanding bambu-bambu yang lain.

Pilihan bambu juga harus mempertimbangkan besar lubang bambu yang hendak dijadikan cecetoran. Terlalu kecil akan membuat cecetoran “berdaya ledak”  rendah dan memiliki jangkauan yang pendek. Jika kebesaran, tentu saja akan menghabiskan bahan baku peluru yang biasanya kertas yang dibahasi.

Jika sudah mendapatkan bambu yang tepat dengan lubang yang sesuai, maka buatlah kokang yang juga terbuat dari bambu. Kokang inilah yang nantinya akan menyodok peluru sehingga desakan udaranya akan menimbulkan bunyi dan kertas yang didorong akan muntah dan meluncur membidik sasaran.

Cara mainnya mudah saja. Masukkan satu peluru dan biarkan ia tetap ada di ujung cecetoran. Selanjutnya, masukkan lagi peluru lainnya dan dorong dengan kokang dengan kekuatan secukupnya. Peluru yang kedua akan mendesak udara dalam lubang bambu dan mendorong peluru pertama dan cetor!

Cetor adalah bunyi yang keluar dari “senjata” mainan tersebut. Oleh karena itulah benda tersebut dinamakan cecetoran. Mungkin Syahrini waktu kecil suka main cecetoran sehingga saat dewasa suka bicara cetar membahan. (:p)

2. Susumpitan
Untuk yang satu ini, bambu yang dibutuhkan adalah jenis Tamiang. Bambu tamiang lebih sulit didapatkan karena biasanya ia tumbuh liar di hutan di perbukitan sekitar Gehol alias Jetak. Untuk mendapatkannya, anak-anak Gehol biasanya bergerombol mencari ke hutan. Saking inginnya mendapatkan Tamiang terbaik, terkadang anak-anak Gehol sampai harus mendaki Gunung Cikadingding atau Gunung Geulis.

Untuk dijadikan susumpitan, dibutuhkan Tamiang yang sudah menguning. Berlawanan dengan cecetoran yang berbahan baku bambu muda, susumpitan memilih yang tua. Sebab bahan baku pelurunya berbeda sama sekali.

Anak-anak biasanya mengangkut Tamiang sebanyak yang mampu diangkut. Hal ini karena susumpitan memiliki variasi bentuk yang sangat beraneka tergantung seberapa kuat imajinasi, seberapa sabar membentuk, dan seberapa banyak karet yang kau punya.

Pilihlah Tamiang dengan lubang sedang yang paling panjang yang akan dijadikan laras utama. Selanjutnya, potong-potong Tamiang lainnya sesuai kebutuhan. Susun dan rakit dengan karet Tamiang yang telah dipotong-potong sesuai kebutuhan tersebut. Ada yang digunakan sebagai alat membidik alias mengeker dan pegangan.

Bentuk susumpitan biasanya dibuat seseram alias secanggih mungkin meniru senjata paling canggih saat itu. Anak-anak gehol akan meniru senapan mesin yang biasa disebut Bren. Meski hanya mampu menembakkan peluru sebanyak mulut kuat menyimpannya.

Pelurunya biasanya terbuat dari buah Hareba yang bulat-bulat sebesar telur Cicak. Buah ini tumbuh liar di sekitar Gehol alias Jetak. Namun demi mendapatkan peluru sebanyak mungkin, tak jarang anak-anak sampai harus bergelirya ke hutan di sekitar Gehol. Terkadang, tanah liat juga dijadikan peluru (jorok bukan?). Tanah liat akan diletakkan tepat di pangkal susumpitan dan dibentuk bulat kecil agar muat di lubang susumpitan.

Cara memainkannya sangat sederhana, hanya butuh kekuatan mulut saja. Peluru-peluru tadi ditiup oleh mulut, layaknya menggunakan sumpit suku-suku terasing. Jadi kebayang bukan bagaimana “rekasa”-nya anak-anak Gehol dalam bermain perang-perangan. Mulut penuh peluru yang siap disemburkan melalui susumpitan.

In Memoriam of Neng Neng

Jaman SD di Gehol dulu, Indonesia masih dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai negara agraris. Gehol alias Jetak tentu berada dalam garis untuk mendukung pernyataan tersebut. Maka, jadilah tanah kelahiranku sebagai desa yang setia menjadikan warganya petani.

Salah satu ciri dari masyarakat tani adalah “tidak” butuhnya banyak hal. Listrik yang belum menyala waktu itu kami anggap sebuah keniscayaan.  Tidak ada gejolak apalagi menuntut agar pemerintah memenuhi yang satu ini. Kami, termasuk aku yang masih SD, sudah sangat gembira jika ada tetangga yang memiliki TV dan aki sekaligus.

Malam hari bisa menonton TV bersama tetangga yang kadang jika pelitnya kumat hanya membolehkan kami mengintip lewat kaca yang juga sudah serapat mungkin ditutupi horden. Siang hari, jurus curi-curi waktu dikeluarkan, sebab Mahabaratha ala India waktu itu ditayangkan TPI di siang hari pas jam istirahat kedua.

Meski tanpa listrik, hanya sedikit siswa SD di Gehol yang terlambat. Sebab sekolah adalah pembebasan anak-anak dari tugas yang lebih berat, bertani dan beternak. Maka tak heran, saat aku yang tak punya sawah dan kebun terus sekolah para tetangga menysinyalir kegetolanku sekolah hanya karena malas bertani.

Padahal, waktu itu alat pemanggil sekolahku amatlah sederhana. Bahkan jika dilihat dari kacamata kemajuan saat ini, maka alat tersebut sungguh sangat jauh dari fungsi asalnya. Sekolahku saat pertama aku masuk hanya menggunakan sebatang besi berkarat yang digantung di teras kelas. Alat pemukulnya sendiri hanya bisa diakses oleh penjaga sekolahku, Pak Amet. Semoga Tuhan memberkati Beliau.

Kenapa hanya Pak Amet yang bisa mengakses alat tersebut? Sebab sedusun apapun kami anak-anak Gehol yang telah diselamatkan oleh sekolah sehingga bebas dari capainya bertani tentu tetap saja merasa jenuh dengan aneka pelajaran. Bagi beberapa anak yang berani, menabuh Neng-Neng (loncengnya dinamakan demikian karena bunyinya mendekati kata itu di telinga kami), dengan batu untuk kemudian lari.

Demi mendengar bunyi neng-neng tersebut, biasanya para siswa yang ada didalam akan tetap rebut meski tahu bahwa Neng-Neng bukan dipukul oleh petugas yang memiliki mandat. Bagaimanapun, bunyi besi yang dipukul besi akan berbeda dengan bunyi besi yang dipukul dengan batu.

Ternyata, bukan hanya sekolah kami saja yang menggunakan benda tak layak untuk dijadikan alat pemanggil murid-muridnya. Banyak di tempat lain di masa itu yang menggunakan beraneka benda yang bisa berbunyi nyaring mengalahkan riuhnya anak-anak bermain silat ala Tutur Tinular.

Sebagian ada yang memakai bagian dari per daun, veg mobil, atau bagian dari kontruksi bangunan. Semuanya berupa besi atau logam. Ada juga sekolah yang terbilang mampu membelinya berupa tabung yang pemukulnya menggantung di dalamnya.

Untuk lonceng yang satu ini, penjaga sekolah tinggal menggoyannya dan berbunyilah lonceng tersebut. Mekanismenya sama dengan lonceng gereja yang belakangan sering kulihat saat berkelana di Ibu Kota Jakarta. Dalam kacamata dusunku, lonceng gereja adalah alat yang digunakan tukang es di kampungku. Hanya ukuran yang membedakan keduanya.

Kini, Neng-Neng sudah banyak diganti dengan bel listrik. Tentu saja karena listrik telah menjamah kampungku sejak belasan tahun lalu. Semoga, semangat anak-anak Gehol tidak lagi mewarisi semangat sebagian besar dari kami dahulu. Sekolah sebagai ajang pembebasan diri dari kerja keras yang lebih berat dibandingkan menghitung, mengeja, dan menulis. Semoga.

Begini Seharusnya Kita

 
Video Inspirasi Ummat
 
Masih jaman bertengkar dengan sesama cuma gara-gara beda keyakinan? Lucunya, kita bahkan rela saling memaki cuma karena beda partai. Menggelikan memang. Bahkan tak jarang ada suami istri yang saling mengancam memutuskan tali pernikahan gara-gara berbeda calon presiden.

Inilah kenyataan pahit yang harus kita hadapi. Tidak cukup hanya dengan berpegang teguh pada apa yang kita yakini. Kita juga wajib memberikan ruang bagi mereka yang berbeda dengan kita. Ruang itu ada di hati kita. 

Ada sebuah video yang menurut saya sangat bagus isinys. Video ini memperlihatkan betapa Revolusi Mesir yang menurunkan Mubarok menyadarkan Muslim dan Kristen di sana untuk kemudian meluruh menjadi Mesir. Hanya Mesir. Membuang ego dan kultus sektarian demi mewujudkan Mesir yang disegani seperti cerita-cerita masa lalu yang hadir di setiap buku sekolah anak-anak.

Bisakah kita meluruh meninggalkan ego kita mulai dari suku, agama, dan ras menuju Indonesia. Seharusnya bisa. Sebab yang dibutuhkan cuma keinginan semata. Sila lihat videonya demi mendapatkan gambaran utuh bagaimana seorang imam mesjid memasuki gereja dan berpidato tentang pentingnya persatuan.


Belulang di Mungkal Tumpang (6)

Pramponama mengambil jubah kebesarannya dan memakainya secepat kilat. Ia juga mengambil tongkat Kiai Kunclungan yang selalu setia kemana ia pergi. Ia kemudian menggeser lemari bukunya kea rah kiri. Di balik lemari dengan buku, rontal, dan gulungan papyrus  tersebut terdapat sebuah lorong yang memiiki sebuah kotak berongga. Kotak itu dimasukinya dan dengan menyentuh sebuah tombol di samping kiri, meluncurlah kotak tersebut ke arah bawah.

Kotak yang mampu menggantikan peran tangga ini biasa ia gunakan saat akan menuju tempat persemediannya di Gua Jatindra. Kotak ini menyambungkan langsung kamarnya di puncak bangunan utama Padepokan Swargalega ke Gua Jatindra. Keajaiban kotak ini bukan hanya bisa meluncur dari atas ke bawah, namun juga sebaliknya.

Bagi sebagian murid Swargalega, kecepatan turun dan naik Pramponama sangat mengesankan. Padahal, tanpa kota tersebut, lelaki setengah baya yang gila teks ini pasti akan ngos-ngosan turun naik ke kamarnya dengan tangga. Namun, demi meninggikan pamornya, keberadaan kotak yang ia buat dengan mempelajari teks-teks kuno tersebut tetap ia rahasiakan.

Kini kotak tersebut telah sampai di ujung lorong yang menghubungkan Gua Jatindra sekaligus perpustakaan pribadi dengan bagian paling bawah dari bangunan utama tempat ia tinggal. Dengan bergegas ia menyalakan obor yang menempel sepanjang dinding lorong. Suasana kemudian berubah jadi terang benderang dan jalan menuju Gua Jatindra di lorong tersebut kian jelas.

Kehebatan Pramponama dalam menelaah teks-teks kuno bukan terletak pada ketekunannya membaca, namun melaksanakan apa yang ia baca. Penerangan yang menyala sepanjang lorong tersebut adalah salah satu hasil ia membaca teks tua. Ia cukup menyalakan salah satu obor, maka obor-obor yang lain akan menyala dengan sendirinya.

Sementara itu, Sarju dan Jatianom terkejut demi melihat berkas cayaha dari salah satu ujung lorong. Mereka tanpa sengaja menyentuh salah satu lukisan bergambar binatang yang belum mereka temui. Tekanan mereka pada lukisan membuat tombol yang ada di belakangnya tertekan dan membukalah sebuah pintu yang bergeser menyamping.

Antara kagum dan terkejut, Sarju dan Jatianom kemudian segera berlari mengarungi lorong yang penuh dengan jajaran rak-rak berisi berbagai macam benda.

“Sebelah sini,” ujar Sarju saat menemukan sebuah celah gelap dalam ruangan yang terasa sangat luas tersebut.

Mereka kemudian menyandarkan diri pada dinding ruangan yang terasa agak dingin dan lembab tersebut. Sayup-sayup mereka mendengar suara langkah kaki berirama dengan ditingkahi ketukan kayu. Itu adalah suara langkah Pramponama yang ditopang dengan tongkat kebesarannya yang diberi nama Kiai Kunclungan.
Sementara Sarju dan Jatianom kian mengkerutkan diri agar tidak dilihat oleh siapapun yang memasuki ruangan, Pramponama telah sampai di pintu. Ia yang tahu cara membukanya langsung saja menyentuh lukisan bergambar gajah berbulu yang dalam teks-teks kuno disebut Mammoth.

Pintu terbuka dan ia segera memasuki ruangan tempat ia menyimpan segala bentuk tulisan dan artefak-artefak yang mengaitkan dengan masa lalu. Ia langsung hendak menuju meja besarnya yang menampilkan hamparan peta dunia masa lalu.

Namun, ia menghentikan langkah demi mendapatkan penanda yang ia pasang untuk mengetahui apakah ada orang masuk atau tidak kini tidak dalam posisi seperti seharusnya. Penanda tersebut berupa cendawan yang memancarkan cahaya saat keadaan ruangan gelap. Saat ini, cendawan yang ia pasang dibawah karpet yang membatasi pintu masuk dan ruangan terlihat ada beberapa bagian yang tidak menyala. Ia sadar betul telah ada yang menginjak cendawan tersebut sehingga beberapa bagian jadi tidak menyala.

Pramponama kemudian memutuskan untuk bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa. Meski ia sangat mengagumi semua yang ada dalam ruangan tersebut, namun ia sadar bahwa di masa kini, sangat kecil kemungkinan ada orang berniat jahat terhadap teks-teks kuno. Saat semua manusia ditakut-takuti dengan kisah-kisah menyeramkan, hanya ia saja yang mau membaca hal-hal yang benar-benar berkaitan dengan kejayaan dan peradaban masa lalu.

Ia kemudian tetap melanjutkan langkahnya menuju meja kebesarannya. Ia juga yakin, bahwa orang atau makhluk apapun yang memasuki ruangan tersebut masih ada dalam ruangan itu juga. Ia tersenyum kemudian duduk menekur di atas gambaran peta peradaban dunia di masa lalu.

Tepat di ujung ruangan yang tidak tersentuh cahaya, Sarju dan Jatianom kian mengerutkan badan demi melihat ada Pramponama masuk. Dari tongkat dan jubah yang dipakai, kedua makhluk berbeda ras ini tahu bahwa di depan mereka ada pemilik tempat yang mereka susupi tanpa ijin.

(bersambung)

Belulang di Mungkal Tumpang (5)

Sarju dan Jatianom segera menyusuri daerah yang merupakan daerah paling gelap di kompleks Swargalega. Mereka berusaha agar sejauh mungkin menjauhi cahaya yang dipasang di setiap sudut bangunan. Mereka berjalan sedekat mungkin dengan dinding bukit kecil yang ada di puncak Cikadingding tersebut.

“Cepat masuk!” ujar Sarju pada Jatianom saat menemukan sebuah celah di bukit tersebut. 

Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki tempat paling dilarang di Kompleks Swargalega. Ya, celah yang mereka masuki adalah jalan masuk lain ke gua tempat Pramponama semedi dan mempelajari teks-teks kuno yang berisi sejarah dan ilmu pengetahuan dari masa lalu.