Padepokan Swargalega memiliki
kompleks yang sangat megah. Kemegahannya hanya bisa disejajarkan dengan
Kompleks Istana Geholsraya. Meski harus diakui bahwa cita rasa seni Pramponama
jauh lebih kuat dan agung dari Sukamdani, penguasa Geholsraya.
Keagungan seni yang ditunjukkan
Pramponama dalam bangunan Padepokan Swargalega terlihat amat megah. Lihat saja
letak bangunan yang menjulang pada sebuah kawasan yang pintu masuknya harus
melalui pesisir Cigunung. Bangunan tersebut terletak di sebuah batu karang yang
berukuran sangat luas, hamper setengah Gehol ibukota Geholsraya. Daerah yang
dinamakan Cikadingding tersebut adalah wilayah yang sangat dihindari setelah
hutan Tumaregol.
Sarju dan Jatianom sama-sama
tertarik dengan dongeng-dongeng lama. Mereka yakin bahwa dongeng yang
diceritakan leluhur mereka memiliki akurasi kebenaran yang mengagumkan.
“Di masa lalu, ketika semua
bangsa masih suka kedamaian, bangsamu, bangsaku, dan bangsa-bangsa yang kini
dianggap cuma mitos bersatu dan saling membantu,” ujar Sarju.
“Sayang, semua hilang hanya
karena berebut batu.” Sarju meneruskan ceritanya.
|
Pilih pohon jagung sebagai jagoan |
Melihat namanya, tentu
akan teringat dengan film laga atau cerita silat dimana ada para jagoan yang
membasmi kejahatan. Namun, jajagoan dari Gehol sangat jauh berbeda. Tidak ada unsure
kekerasan sama sekali, meski salah satu risiko memainkan permainan ini bisa
terluka.
Permainan jajagoan
biasa dimainkan anak-anak Gehol di masa lalu saat musim panen jagung tiba.
Karena hanya dengan pohon jagunglah, permainan yang khas anak lelaki ini bisa
dimainkan. Melalui media pohon jagung, anak laki-laki yang bermain jajagoan
bisa menundukkan lawannya hingga hancur lebur.
Untuk dapat
menghancurkan lawan, permainan ini membutuhkan kekuatan tenaga, ketepatan
membidik, dan perhitungan yang matang. Kombinasi ketiganyalah yang mampu
membuat seseorang bisa memenangkan permainan Jajagoan. Tentu saja, wajib juga
ada sejumput keberuntungan yang didapat.
Dengan Langlayangan kesayangannya, Sarju mengarungi angkasa Geholsraya. Semenjak beberapa tahun terakhir, ia rajin menengok dunia luar. Ia yang memimpin Kaum Margol yang percaya diri sebagai titisan dewa menganggap dunia manusia menakjubkan.
Sebagian besar Kaum Margol hanya keluar sejauh Mungkal Tumpang, sebuah batu bertumpuk yang menjadi area perbatasan yang dibuat kaum Margol. Batu sebesar sepuluh kali gajah dengan tinggi sepuluh kali jerapah tersebut adalah area paling jauh di hutan Tumaregol yang disambangi manusia.
Bagi Kaum Margol, menghuni gua-gua yang dibuat dengan cita rasa seni tinggi ala mereka adalah kenikmatan sekaligus kemewahan abadi dari para dewa. Mereka tidak membangun satupun banguna tinggi. Kaum Margol membangun pemukiman mereka menghunjam bumi. Mereka percaya bahwa para dewa bersemayam di dalam inti bumi. Itulah sebabnya, semakin dalam rumah mereka, semakin berkelas di mata Kaum Margol.
Belantara
Tumaregol dijuluki hutan hitam oleh warga Geholsraya. Julukan tersebut
diberikan karena hutan tersebut penuh dengan aura angker dan sihir jahat.
Setiap malam, suara hewan menggelora mendirikan bulu kuduk.
Hutan
Tumaregol sendiri dipenuhi oleh pepohonan tua dengan usia berabad-abad. Jauh di
dalam hutan tersebut, tinggal sekelompok makhluk cerdas dengan kemampuan yang
adilihung. Mereka adalah manusia-manusia super yang sengaja menghilang dari
dunia nyata. Dengan kemampuan mereka yang mumpuni, bepergian ke Geholsraya
tanpa diketahui manusia biasa adalah hal yang biasa.
Penduduk
dalam Tumaregol biasa disebut Kaum Margol. Kaum Margol sendiri berujud sama seperti
manusia biasa seperti kebanyakan warga bumi Geholsraya. Namun badan mereka
memiliki tinggi minimal dua meter. Badan mereka kekar dengan wajah keras nan
tampan dan cantik. Kaki-kaki mereka jenjang tanpa timbunan lemak berlebih
karena hanya sedikit digunakan untuk berjalan. Mereka terbiasa terbang dengan
kendaraan rumit yang biasa disebut Langlayangan.
Kaum
Margol percaya bahwa mereka adalah titisan para dewa. Kaum Margol mengangkat
pemimpin mereka yang paling hebat dan mampu terbang tanpa bantuan
Langllayangan. Saat ini, Kaum Margol dipimpin oleh Sarju.
Sarju
sendiri terbilang berani dan maju dalam berpikir. Jika selama ini para penduduk
Tumaregol enggan bersahabat dengan manusia, Sarju berpikir dan bertindak
sebaliknya. Ia diam-diam memiliki kontak dengan salah satu penduduk Geholsraya.
Penduduk tersebut berasal dari kalangan biasa saja namun disegani karena
kealiman dan pengetahuannya. Ia bernama Jatianom.
Geholsraya
sendiri adalah kerajaan terbesar di pesisir Samudra Cigunung. Kekuasaan
Geholsraya dibatasi oleh Samudra Cigunung di selatan, Pegunungan Sagara Galuh
di barat, Laut Sunyi di utara dan Pegunungan Salamet di timur. Geholsraya
terhitung maju untuk peradaban manusia. Kerajaan yang dipimpin oleh Sukamdani
ini hidup dari bertani, berlayar, berdagang, dan berdagang logam.
Secara
hokum, hutan Tumaregol adalah wilayah Geholsraya. Namun faktanya, hutan ini
tidak disentuh kerajaan dan penduduk. Hutan ini berdiri angkuh memanjang dari
sisi sungai Jetario menuju Pegunungan Salamet.
Kehidupan
Geholsraya dibawah kepemimpinan Sukamdani sedang mengalami kekhawatiran yang
menyelimuti seluruh penduduk Geholsraya. Kehidupan yang awalnya tenang berubah
penuh gelisah tatkala banyak berseliweran kabar mengenai kebangkitan Padepokan
Swargalega yang merupakan perkumpulan manusia-manusia cerdas nan ambisius.
Perkumpulan ini memiliki banyak sekali orang pintar yang mampu menciptakan
barang-barang dan sejata-senjata canggih yang sulit ditandingi. Swargalega
sendiri kini dibawah pimpinan Pramponama. Seorang gila teks-teks kuno yang
didesas-desuskan memiliki kemampuan membuat batu terbang.
Ketakutan
Geholsraya pada Swargalega karena di masa lalu Swargalega pernah membuat heboh
negeri Sukamdani dengan ledakan yang mampu membuat batu-batu meleleh.
Geholsraya saat itu terpaksa menumpas Swargalega karena bahan peledak tersebut
sering digunakan oleh tangan-tangan culas. Geholsraya sendiri akhirnya melarang
Swargalega karena kekhawatiran tersebut.
(bersambung)