10 Bahasa Gehol yang Punya Makna Dalam

Bahasa Gehol adalah bukti keberadaan peradaban yang unik. Beberapa ungkapan dalam bahasa nenek moyangku ini mungkin sulit ditemukan padanan katanya. Jikapun ketemu, maka maknanya tidak sedalam saat diungkapkan dalam bahasa aslinya.

Berikut bahasa Gehol yang punya makna dalam dan sulit ditemukan padanan katanya:

1. Tobleg
Cukup sulit menemukan padanan kata tobleg dalam bahasa Indonesia. Bahkan jika ditelusuri maknanya, kata ini terhitung susah untuk dideskripsikan.

Dalam keseharian, kata ini bahkan bisa berdiri sendiri sebagai sebuah kalimat. Umumnya, tobleg digunakan di awan kalimat.

Contoh pemakaian, "Tobleg sia si, kitu-kitu teuing,". Ungkapan ini biasanya dikatakan saat minta bantuan tapi ditolak dengan alasan yang tidak jelas. Jika diterjemahkan bebas, kalimat di atas bisa berbunyi, "Busyet, kamu tuh tega amat ya!."

2. Nyohnyoh
Kata nyohnyoh adalah bahasa Gehol untuk mengungkapkan orang yang terburu-buru betindak. Umumnya kata ini ditujukan kepada mereka yang sok tahu tapi ingin terlihat berperan penting.

3. Cengos
Cengos adalah ungkapan untuk mereka yang nakal. Biasanya kata ini ditujukan kepada seorang anak yang memiliki tingkat kenakalan menjengkelkan. Hanya saja, kenakalan pada anak cengos ini bukan berupa tindakan kriminal. Umumnya kenakalannya berupa tindakan kenakalan anak-anak pada umumnya.

4. Kadingalem
Kadingalem merupakan kata dari bahasa Gehol yang juga agak susah dideskripsikan. Jika ditelusuri dengan seksama, kadingalem berdekatan maknanya dengan arogan atau mentang-mentang. Hanya saja, maknanya tidak bisa tetap. Artinya akan selalu dinamis tergantung konteks dan kalimat yang digunakan.

5. Ogoan
Bahasa Gehol untuk manja adalah ogoan. Meski tidak seratus persen tepat, namun setidaknya sudah mendekati. Kata ini biasanya diungkapkan kepada orang yang enggan melakukan sesuatu dengan alasan yang tak masuk akal atau jijik melakukannya.

6. Ngeyo
Ngeyo adalah ikon dari Gehol. Bahkan, orang-orang desa luar menjuluki penduduk Gehol dengan julukan ngeyo. Kata ini sendiri memiliki sejarah yang panjang. Namun, ngeyo dikonotasikan dengan tukang bohong atau suka membual.

7. Kawilang
Kawilang ini berdekatan maknanya dengan kata tumben. Biasanya, kawilang dipakai saat seseorang bertindak tidak seperti biasanya. Jika dia biasanya malas namun tiba-tiba rajin, kata ini bisa disematkan. Hal yang sama berlaku sebaliknya.

8. Unyanyen
Unyanyen ini berdekatan artinya dengan ganjen, lejeh, dan suka menggoda. Jika cengos dilekatkan kepada anak laki-laki, maka unyanyen ini umumnya dilekatkan pada anak perempuan.

9.Kongang
Kongang ini maknanya mendekati kata kemauan. Misalnya saja jika Anda punya kegiatan menanam padi namun belum berniat atau belum mau melakukannya, maka "can kongang" atau belum mau bisa diucapkan.

10. Kasogat
Kasogat adalah bahasa Gehol yang berarti senggang. Misalnya saja jika ada yang meminta bantuan namun Anda masih sibuk, maka kata "can kasogat" alias belum sempat bisa jadi jawaban.

Itulah beberapa bahasa Gehol yang unik dan memiliki makna lebih dalam jika diucapkan dalam bahasa aslinya. Ingat bahwa bahasa akan sangat tergantung konteks dan keadaan saat dituturkan. Jadi, pemaknaan di atas bisa jadi salah atau kurang tepat.


Bisa Semuanya Jadi Berabe di Negeriku

kompasiana.com

Negeriku menyimpan banyak hal selain tradisi yang kini berjuang menghadapi arus jaman, kearifan yang dicibir modernias, dan kesolehan yang digerogoti materi. Ada sebuah hal yang menarik dikupas dari negeri para pekerja keras ini, fanatisme.

Fanatisme di negeriku menyelusup hingga ke tulang sumsum warganya. Tak hanya agama, sepakbola, bola voli, dan politik tak luput dari fanatisme warga negeriku. Musik pun demikian, warga negeriku akan dengan segenap hati berteriak "Uye!" tak peduli kenal atau tidak dengan Bob Marley.

Jangan heran jika melihat tawuran bahkan yang menghilangkan nyawa sekalipun. Alasan idola dan kebanggaan yang melekat pada badan bisa sangat berbahaya di negara ini. Yang menyesakkan, meski sering terjadi hal tersebut seolah dianggap angin lalu oleh para pemangku kekuasaan.

Fanatisme agama tentu semua orang punya. Bahkan kaum terpelajar sekalipun memiliki sikap ini. Di negeriku, jangan pernah mencaci keyakinan orang lain. Meski secara fisik tak akan menerima tindakan, namun perbuatan mencaci keyakinan orang lain bisa dikategorikan sebagai perilaku menjijikan.

Namun di sisi lain, atas nama agama sering juga terjadi toleransi tanpa batas. Jika seseorang sudah begitu fanatik pada agama, hal-hal yang dikaitkan dengan agamanya bahkan yang buruk sekalipun tetap akan dibela.

Mau tahu akibatnya? Kasus Ahok misalnya, akan Anda jadikan pelajaran hingga 7 turunan mendatang. Yakinlah. Bukan berarti Ahok dalam posisi benar dalam hal ini, namun lebih kepada sentimen yang muncul akibat keberadaan Ahok dan segala kontroversinya.





Saya Gak Suka SBY, Tapi Dukung AHY


Peperangan antara Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo kembali digelar. Kali ini, DKI Jakarta yang menjadi arena ketiganya. Siapakah yang bakal menjadi pemenang?

Sejak awal, Mega melalui kuasa mutlaknya di PDIP telah tercium hendak mencalonkan petahana yakni Basuki Tjahaya Purnama yang punya nama beken Ahok. Manuver Gerindera dan PKS di satu poros dan Demokrat di poros lainnya membuat pilgub DKI kali ini seru sekaligus adem. Seru karena beberapa nama muncul di detik-detik akhir. Adem karena polarisasi dua kubu yang diprediksi di awal justru menguap.

Keseruan muncul ketika ada nama Anies Baswedan yang pernah menjadi menteri pendidikan di era Jokowi kemudian digandeng oleh Gerindera dan PKS untuk menjadi DKI-1 bergandengan dengan Sandiaga Uno yang sejak beberapa bulan lalu memang mendeklarasikan diri hendak menjadi calon gubernur. Di Cikeas, kejutan tak kalah serunya. Adalah nama Agus Harimurti Yudhoyono yang kemudian diusung bergandengan dengan Sylviana Murni. 

Pertandingan Seru Namun Sejuk
Munculnya Anies dan Agus berpotensi menghadirkan pertandingan seru. Nama-nama yang santer di awal seperti Yusril dan bahkan Rizal Ramli menguap begitu saja. Tak peduli apa yang terjadi di balik itu, namun kemunculan dua nama di awal dari Koalisi Kartanegara dan Poros Cikeas patut disyukuri. 

Andai saja kedua koalisi tersebut bersatu dan mengusung satu nama, misal YIM, maka gesekan di akar rumput bisa berdarah-darah. Seru namun panas. Dikotomi kafir dan muslim bisa berkembang ke arah yang anarkistis dan pastinya siapapun tidak ingin DKI Jakarta menjadi medan berdarah anak-anak negeri. Beruntung, SBY dan Prabowo memiliki jiwa negarawan yang patut diapresiasi kali ini. (Ini pujian tulus kok, biasanya saya gak pernah muji mereka). 

Lalu di antara Anies dan Agus, siapakah yang menarik perhatian dan patut dikasih kesempatan, jawaban saya adalah Agus HY. Ahok dengan segala kelebihan dan nilai positifnya dalam membangun Jakarta, sadar atau tidak mulai tergeruk popularitas dan elektabilitasnya. Semua kebaikan dia di mata banyak pihak kian menipis ketika dia tak mampu juga mengelola komunikasi yang baik dengan warga. Dengan berbekal kebenaran versinya, semua pihak dilabrak oleh Ahok. Bahkan jikapun dia nabi, sejatinya melabrak semua pihak yang dianggap berseberangan belum tentu patut dilakukan. Labrak sana-sini kemudian kian berkembang menjadi semacam kewajiban oleh para pengikutnya.

Anies yang berpengalaman di bidang pendidikan hingga kemudian menjadi menteri bidang tersebut memang sosok yang cerdas, santun, dan terkenal bersih. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan menembus birokrasi kita yang bebal. Jadi, mohon maaf jabatan Gubernur DKI yang begitu besar kuasanya ini belumlah cocok untuk orang seperti Anies.

Lalu pilihan saya Agus HY, meski saya gak pernah suka sama bapaknya, patut diberi kesempatan memimpin Ibukota Indonesia ini. Sosok ini merupakan sosok baru yang benar-benar segar. Namun bukan berarti dia anak ingusan seperti yang dituduhkan. Bagaimanapun, menjalani pendidikan di sekolah militer dilanjutkan dengan meraih gelar di luar negeri adalah bukti bahwa dia bukan anak ingusan. Dia berpengalaman memegang komando, sesuatu yang cocok untuk memerintah negara yang masih semidemokratis dan semifeodal ini.

Jadi DKI Jakarta, bersiaplah punya pemimpin yang muda, segar, dan terbiasa memegang tongkat komando ini kan?



Sekolah Seharian? Boleh Saja, Asal Bapak dan Ibu Sejahtera


Konon, setiap pergantian menteri pendidikan di republik ini merupakan kabar buruk bagi para siswa seantero negeri. Bahkan, orang tua yang sudah pusing menghadapi hidup juga akan terpaksa mengernyitkan dahi melihat kebijakan para menteri baru. 

Ternyata, hal tersebut bukan isapan jempol belaka. Menteri terbaru dari kabinet yang baru seumur batita ini membuktikan dengan senang hati. Kebijakan terbaru yang konon masih wacana tersebut adalah sekolah seharian. Artinya, murid-murid menghabiskan waktunya di sekolah dengan aneka kegiatan mulai belajar hingga entah apa saja.

Bagi saya pribadi, kebijakan tersebut boleh-boleh saja asal ada kajian ilmiah yang mendukung. Berikanlah segenap rakyat Indonesia argumen yang masuk akal untuk meyakinkan bahwa dengan sekolah seharian anak-anak negeri ini akan jadi pemimpin atau setidaknya mampu menjadi solusi di masyarakat. Pastikan pula kepada kami yang sedang kebingungan ini bahwa konsep tersebut kemudian bisa menjadikan rakyat negeri ini makmur sejahtera. Jangan seperti sekarang, konsep ini dikenalkan dengan segudang janji bahwa anak-anak akan ini dan itu. Wahai bapak professor, kami sudah kenyang dengan janji.

Yang kedua, saya sebagai orang yang menghabiskan masa sekolah di kampung, konsep tersebut terkesan omong kosong. Bagaimana mungkin saya bisa sekolah seharian sementara orang tua berpeluh ria di kebun demi menghidupi keluarga. Mustahil juga menolak godaan bermain bersama-sama dengan teman baik di kali maupun di halaman. Adalah tidak bijak juga jika sekolah seharian kemudian anak-anak kehilangan masa-masa mengaji di surau. Bahwa Pak Menteri kemudian hendak mengundang guru ngaji ke sekolah itu memang bisa. Tapi tetap saja nuansa yang dirasakan anak-anak akan berbeda ketika mereka mengaji di madrasah atau surau.

Jadi, daripada memberikan konsep yang membuat anak-anak merasa jadi kelinci percobaan lebih baik Pak Menteri fokus bagaimana caranya agar sekolah-sekolah negeri memberikan pembelajaran yang berkualitas. Jika melihat puluhan sekolah di mana saya tinggal sekarang, maka bisa dikatakan kualitas adalah hal yang hilang pascakebijakan sekolah gratis diluncurkan. 

Karena anak-anak bersekolah dengan gratis, maka banyak hal-hal yang kemudian dijadikan tambang uang oleh sekolah dan oknum guru. Misalnya saja saat pelajaran menggambar, maka semua siswa wajib membeli kertas yang disediakan guru dengan harga berkali lipat dari harga pasaran. Bukan hanya itu, para siswa kemudian diwajibkan menerima les dari guru masing-masing demi mendapatkan nilai memuaskan. Padahal, saat jam sekolah para guru punya waktu leluasa untuk melakukan hal itu.

Jadi Pak Menteri, dengan waktu sekolah yang kadang hanya dua jam saja sudah banyak uang yang dikeluarkan orang tua murid, apalagi jika sekolah seharian penuh? Seandainya kesejahteraan masyarakat sudah cukup, kemungkinan hal itu bisa dilakukan. Tapi Pak, sekali lagi pikirkanlah bagaimana para siswa yang hanya akan mendapatkan lingkungan monoton.

Fenomena Saut: Ketika 'Headline Society' Mencoba Meneliti


Saya pernah bekerja sama dengan divisi RND sebuah perusahaan yang sedang men-develop sebuah obat untuk Demam Berdarah. Perusahaan telah melakukan aneka riset yang dibutuhkan sehingga harapannya mampu mengklaim bahwa produk mereka adalah obat untuk penyakit yang sering menjadi wabah tiap tahun tersebut.

Riset dilakukan dengan memberikan produk tersebut pada sekelompok pasien DBD. Sebagai perbandingan, kelompok pasien lainnya diberikan plasebo. Hasilnya lumayan bagus secara statistik karena selain mampu mengembalikan jumlah trombosit lebih cepat, juga mampu menghemat biaya rumah sakit. Hal ini terindikasi dari makin cepatnya pasien DBD menjalani rawat inap dibandingkan mereka yang diberikan plasebo atau penanganan standar lainnya sebagaimana WHO syaratkan. 

Meski beberapa kali studi produk tersebut memberikan hasil positif untuk penderita demam berdarah baik secara klinis maupun medis, namun para dokter enggan menyebutnya obat. Menurut salah seorang dokter yang terlibat, banyak syarat yang harus dipenuhi produk tersebut untuk didaulat menjadi obat. Salah satunya adalah uji toksik yang berbiaya mahal. Uji ini secara garis besar adalah tes untuk menilai seberapa efek racun bagi tubuh dan menilai seberapa aman sebuah senyawa bagi tubuh. 

Begitulah dunia medis bekerja, demi mendapatkan kesimpulan yang presisi segala anasir yang memengaruhinya sedapat mungkin diidentifikasi. Dalam penelitian sosial pun, segala faktor yang bisa menghasilkan kesimpulan bias sedapat mungkin dikeluarkan dari daftar. Tujuannya cuma satu, agar hasil penelitian benar-benar bisa dipertanggungjawabkan baik secara etik, moral, maupun secara keilmuan.

Ucapan Saut Situmorang dan Fenomena 'Headline Society'
Menilik betapa susahnya untuk menghasilkan sebuah kesimpulan, maka apa yang terjadi dengan bangsa ini saat ini tentu memilukan. Dalam berbagai kasus, masyarakat menyimpulkan segala sesuatunya hanya berdasarkan "headline" di media. Maka bolehlah saya menyebut masyarakat kita sebagai 'headline society', masyarakat yang begitu gandrung dengan segala hal hanya berdasarkan bacaan singkat judul sebuah berita.

Dalam kasus Yuyun misalnya, banyak masyarakat yang mirisnya sebagian besar adalah kaum terdidik langsung memvonis penyebabnya. Penelitian singkat terhadap pelaku berdasarkan judul berita yang beredar kemudian dijadikan sebuah kesimpulan. Kesimpulan ini menihilkan aspek-aspek lain semisal ekonomi, sosial, budaya, agama, dan aspek yang bisa memengaruhi tindakan bejat 14 pelaku pemerkosaan. Semua aspek dinihilkan semata sementara satu aspek yang muncul dalam berita dijadikan sebuah narasi. 

Masih kurang tanda-tanda 'headline society' menggurita di masyarakat kita? Lihat saja beranda Facebook atau tapak waktu Twitter Anda. Berapa banyak postingat mengharu-biru yang kemudian menggelitik otak kita untuk langsung menyimpulkan tanpa berusaha mencari sumber pembanding. Pada sebuah meme atau foto misalnya, hal-hal yang dikaitkan dengan keyakinan akan lebih mudah mendapatkan impresi daripada ketika postingan tersebut diceritakan apa adanya.

Rupanya, gejala 'headline society' ini tidak hanya menghinggapi masyarakat kelas menengah ke bawah yang akses terhadap sumber berita terbatas. Namun para pejabat yang sudah dibiayai negara untuk lebih pintar dari masyarakat kebanyakan mengalami hal serupa. Aneka komentar yang para oknum pejabat ini lontarkan kepada publik sering kali membuat masyarakat mengernyitkan dahi. Bukan karena sulit memahami pernyataan mereka, namu lebih kenapa ada pernyataan konyol dari mereka-mereka yang dibiayai uang pajak. 

Kasus terakhir yang menimbulkan riak lumayan besar adalah tentang generalisir Saut Situmorang yang merupakan salah satu komisioner KPK terhadap HMI. Sang komisioner dalam sebuag wawancara dengan media menyatakan bahwa saat menjadi pejabat, anggota HMI korup. Sebuah kesimpulan yang dangkal yang muncul dari pengamatan yang tidak akurat dan terlalu singkat.

Bahwa ada banyak kader HMI yang oleh pengadilan divonis bersalah karena korupsi itu benar. Namun tidakkah Saut Situmorang melihat berapa pejabat jujur - minimal tidak divonis korupsi oleh pengadilan - yang berasal dari organisasi ini? Sekali lagi, terlihat bahwa gejala 'headline society' menghinggapi oknum pejabat termasuk Saut Situmorang. 

Sangat mungkin ia mendengar korupnya kader-kader HMI dari media-media yang memberitakan. Namun karena media cenderung "silent" terhadap kabar baik, maka hanya yang buruk saja yang melekat dari HMI. Inilah yang kemudian Saut Situmorang ungkapkan ke media. Ia lupa bahwa pengamatannya akan HMI terbatas pada yang diceritakan koran. Jadi Pak Saut Situmorang, selamat menikmati hantaman balik dari gejala 'headline society' yang juga Anda derita.