Kecanduan Dinasti

Politik Dinasti (berita2bahasa.com)
Dua sejawat, Kusadi dan Ramadi, yang sama-sama menekuni tulak dayeuh tersenyum-senyum di depan TV sambil menonton tayangan goyang yang sedang marak membodohi masyarakat. Keduanya adalah karib yang dipersatukan nasib, sama-sama tak betah merantau dan terikat jiwa dan raga dengan desa.

Namun, dalam pilkades kemarin keduanya sengaja memisahkan diri dari kebersamaan. Selain ingin mencoba hal baru yang jauh dari rutinitas, membela dua kubu berbeda ditinjau dari segi ekonomi terlihat menguntungkan. Begitulah setidaknya menurut Duo Kura (Kusadi dan Ramadi) ini. Kusadi memihak calon yang digadang-gadang didukung orang paling berpengaruh di kampung, sedang Ramadi mendekatkan diri sama calon yang termuda di sana.

Karena sejatinya mereka karib, maka dalam strategipun mereka tak segan berbagi. Jika Kusadi habis mematangkan strategi di calon A, maka hari selanjutnya ia akan mendiskusikan strategi tersebut dengan Ramadi, begitu sebaliknya. Tujuan mereka sebenarnya sama, siapapun yang terpilih, mereka berharap kehidupan mereka sebagai tulak dayeuh akan naik status. 

Sebagai teliksandi, masing-masing memainkan peran yang amat meyakinkan, setidaknya begitu menurut mereka. Kusadi yang kebetulan pandai memijat, sering mencuri dengar apa strategi rahasia calon yang didukung dedengkot kampung itu. Sedangkan Ramadi yang jago gaple, tidak sepasif Kusadi. Ramadi aktif menyebarkan ide agar jagoannya bisa menang di pilkades kali ini. Tak tanggung-tanggung, ia sudah belajar aneka langkah gaple melalui internet sejak dua bulan sebelum hura-hura politik kampung ini dimulai.

Tidak banyak warga kampung yang memerhatikan langkah Duo Kura ini. Sebagai tulak dayeuh karatan, intelektualitas mereka dianggap biasa saja. Kemampuan politik mereka yang hanya berbekal menonton acara debat TV dianggap remeh. Kehadiran mereka yang "nyaru" sebagai tukang pijat dan pemain gaple juga tidak menarik minat banyak orang. Bahkan aneka ide Ramadi yang cukup logispun tak digubris.

Saat pemilihan, Duo Kura sudah mengalkulasikan seberapa angka yang mampu didulang jagoannya masing-masing. Saat perhitungan suara dimulai dan akhirnya semua suara terkumpul sudah, kedua wajah mereka menjadi pucat pasi. Jagoan mereka dua-duanya kalah. Kalah telak malah. Yang menang justru calon yang dianggap paling lemah diantara calon lainnya. Calon yang dianggap paling pelit, hidup di ketiak istri, dan jauh dari sosialisasi masyarakat.

Tapi Kusadi dan Ramadi lupa, si calon penyendiri nan pelit dan betah di ketiak istri ini adalah saudara jauh dari tokoh paling berpengaruh di desa. Jika si tokoh seolah-olah sehaluan dengan Kusadi, maka Kusadi dan segenap rakyat nan lugu sudah tertipu.

Sesudah gelaran pilkades usai dan keduanya gagal total mempraktikan seni politik dari debat kusir di TV, Kusadi dan Ramadi kembali ke rutinitas mereka sebagai tulak dayeuh. Malam hari keliling berharap ada perawan kampung yang gelap mata dan mau jadi pacar sementara siang hari mati-matian menghindari perintah orangtua mereka yang sudah bosan mengingatkan untuk segera mencari kerja.


Social Media sebagai "KPK Desa"

Ilustrasi RUU Desa (rri.co.id)
Tahun 2014 ini ada kado yang cukup menggembirakan bagi desa-desa di seluruh pelosok negeri ini, disahkannya UU Desa. Salah satu yang menggembirakan adalah jaminan mengucurnya dana ratusan juta hingga milyaran untuk menyejahterakan masyarakat.

Besarnya lungsuran dana tersebut tentu saja membutuhkan pengawasan yang melekat mengingat mental korup sudah merajalela. Salah satu yang bisa diandalkan adalah social media melalui mobile internet. Sudah bukan rahasia bahwa penduduk desa sudah melek internet, minimal social media, yang kebetulan dijadikan dagangan para operator.

Dengan akses yang luas terhadap informasi, diharapkan penduduk desa kian "melek" terhadap aneka kebijakan desa yang kadang disulap oleh para oknum demi kepentingan sendiri. Social media sebagai salah satu sumber berbagi informasi bisa dijadikan ladang pengawasan bagi para pelaku desa dalam mengalokasikan dana melimpah yang bakal diterima desa. 

Para penduduk desa kini mulai sadar akan pentingnya berbagi informasi. Mereka membuat grup-grup di Facebook dan bahkan ada yang rela membuat blog yang fungsinya untuk sharing informasi. Tentu ini kabar baik bagi makin bergairahnya pembangunan desa menuju arah yang benar.

Makin sadarnya masyarakat desa berbagi antarwarga atau antardesa kian memperkaya pengetahuan dalam mengawal kebijakan di sebuah desa. Setiap warga akan dengan mudah saling membandingkan mulai dari jumlah anggaran hingga alokasinya sehingga penyelewengan bisa dideteksi. Apalagi, kini banyak pemerintah daerah yang kian terbuka dalam laporan APBD mereka. Check and balance kian terpelihara karena warga akan mudah membandingkan dengan realita di desa dan laporan yang dirilis pemda setempat.

Kesadaran masyarakat menyaring info dari berbagai sumber diharapakan akan memacu kesadaran hukum sehingga masyarakat dapat mengambil tindakan yang dibutuhkan saat menemukan kecurangan. Jadi, siapkah desa dengan dana melimpah dan pengawasan melekat dari masyarakat lewat "KPK Desa"? 
 
Waktu yang akan menjawab apakah mobile internet berperan positif terhadap pembangunan desa atau apatisme masyarakat sudah makin membuncah hingga tak peduli dengan sekitarnya.



Tak Ada Yang Hebat Sejak Orok!

Berkali-kali dan entah sampai kapan harus membuat artikel demi melepaskan segala kejengkelan hati. Salah satu yang sering sekali membuat hati jengkel adalah penanaman logika dalam sinetron. Meski masuk ranah fiksi, namun karena terkadang mengambil fakta sebagai acuan dan disebarkan tanpa ampun kepada massa, maka mau tak mau menimbulkan jengkel. Bahkan muak!

Kini, sinetron di beberapa stasiun TV menampilkan sosok hebat di masa lalu dalam bentuk anak-anak. Tercatat mulai "Raden Kian Santang" hingga "Joko Tingkir" digambarkan begitu digdaya bahkan sejak mereka melihat dunia. Palsu dan dusta, tentu saja.

Sebagai hiburan, yang sayangnya sedikit sekali pilihan yang lebih baik, sinetron berlatar sejarah dengan mengagungkan kehebatan seseorang sejak mereka lahir tentu saja berbahaya. Hal ini mengerdilkan logika masyarakat yang harus menerima opini bahwa kehebatan seseorang selalu berkaitan dengan keajaiban bahkan sejak ia masih di rahim ibundanya.

Mengambil tokoh yang mengharu biru sejarang bangsa dengan gambaran demikian tentu saja memuakkan. Sekali lagi instanisasi bukan hanya melanda materi, namun juga kecerdasan seseorang. Sebuah pengkhianatan bukan saja kepada sejarah yang telah terbentuk dan dengan susah payah dituliskan para leluhur, namun juga kepada para orang tua yang dengan sekuat tenaga berusaha membuat anak mereka lebih baik.

Dengan menggambarkan bahwa kelebihan seorang pemimpin semata adalah anugerah, bukan tanpa usaha akan menumpulkan kemauan anak-anak bangsa. Massifnya gambaran tentang anugerah adalah hal utama dalam membentuk karya seseorang tentu mengkhawatirkan. Di saat semua stasiun TV menggambarkan hal yang serupa, maka para penikmatnya lambat laun termakan "logika" sesat tersebut.

Entah hanya demi mendongkrak pendapatan semata atau memang ada misi lain, gencarnya televisi menggambarkan tokoh ternama dalam sejarah bangsa yang hebat sejak orok ini seakan menganulir kisah-kisah lebih sahih tentang bagaimana perjuangan seseorang hingga dikenal sejarah seperti sekarang ini. Tengok saja ilmuwan sepanjang jaman, Albert Einstein, yang mesti dicap tolol di masa kecil sebelum akhirnya dengan memadukan anugerah dan kerja keras mampu menjadi ilmuwan terhebat hingga saat ini. 

Logika dangkal sinetron tersebut juga menihilkan perjuangan para nabi, yang meski dianugerahi aneka keajaiban oleh Tuhan, tetap berpeluh keringat dan darah dalam membesarkan ajaran yang diembannya. Semua dianulir oleh penyajian tokoh hebat di masa lalu yang sudah hebat sejak lahir. Hanya sedikit usaha yang dibutuhkan mereka karena sejatinya mereka sudah ditakdirkan hebat.


Bencana Ular "Tepung Gelang" dan Uroborus

Ada dongeng kuno yang selalu terngiang di telinga tentang hadirnya bencana besar yang diakibatkan Gunung Slamet meletus di kampungku. Uniknya, hal yang sama akan terjadi juga di Gunung Sagara alias Gunung Kumbang, padahal gunung ini diketahui bukan gunung berapi, setidaknya kini.

Cerita tersebut memiliki garis besar yang sama dengan dongeng Naga Baru Klinting yang menurut sahibul hikayat menjadi lantaran adanya danau Rawa Pening. Ya, ular tepung gelang. Dongeng inilah yang selalu didengungkan leluhurku, setidaknya padaku, sebagai penyebab bencana besar.

Ular tepung gelang sendiri adalah ketika seeokor ular yang melingkari gunung tertentu mampu mempertemukan ekor dengan kepala tanpa bantuan lidah. Di versi Baru Klinting, hal ini diajukan sebagai syarat sang naga untuk mendapatkan pengakuan dari Aji Saka. Versi lainnya menyebutkan syarat itu harus dicapai untuk menjadi manusia.

Di kampungku lain lagi, jika sang ular yang memeluk Gunung Slamet dan Gunung Sagara berhasil mempertemukan kepala dan ekornya maka bencana besar akan terjadi. Gunung Slamet akan meletus sehingga membelah Pulau Jawa menjadi dua. Sementara jika ular yang memeluk Gunung Sagara mampu tepung gelang, maka danau atau sagara yang terpendam di dalamnya akan muncul sehingga menimbulkan banjir bandang yang memakan korban ribuan.

Mari beranjak dari dongeng tersebut, karena ada hal menarik yang juga disimbolkan melalui ular dan terkait dengan bencana atau setidaknya perubahan yang dramatis. Uniknya simbol ini berasal nun jauh dari Yunani sana sejak jaman kuno. Hal tersebut terdapat dalam simbol Uroborus, simbol ular yang memakan ekornya. 

Sama seperti ular tepung gelang yang disimbolkan akan menghadirkan era baru meski harus melalui bencana dahulu, demikian juga dengan simbol uroborus. Simbol ini secara umum mengambil ular sebagai penanda karena ular dianggap bisa menjadi baru. Hal ini mengingat ular bisa berganti kulit. Ouroboros merupakan pembaharuan siklis abadi hidup dan tak terbatas, konsep keabadian dan kembali abadi, dan merupakan siklus kehidupan, kematian dan kelahiran kembali, yang mengarah ke keabadian. Menghadirkan yang lebih baik meski melalui "chaos" terlebih dulu.

Bencana yang hadir setelah ular tepung gelang maupun pemaknaan siklus kehidupan dari Uroborus pada intinya sama. Keduanya mengingatkan kita bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, terkadang banyak kepahitan yang harus dilewati.

Serba Salah di Pilkades

Sesaat lagi perta demokrasi di Gehol akan diselenggarakan. Tiga calon, yang sayangnya jauh dari ekspektasi masyarakat akan pemimpin yang baik, amanah, dan bervisi cerdas, telah mendaftar. 

Dari ketiga calon, masa lalu dan track record mereka selama bermasyarakat boleh jadi akan menjadi ganjalan terbesar. Namun, karena skor mereka sama-sama buruk, maka masalah figur tidak lagi menjadi kunci meraih Sindangwangi 1. Ada kekuatan lain yang bakal lebih menentukan, pertama uang, kedua psikologis pemilih, dan ketiga tokoh pendukung.

Untuk masalah uang, para calon terkesan hati-hati jikalau tidak disebut pelit. Makin kritisnya masyarakat terhadap politik dan politikus, membuat uang tidak mudah mengalir menuju pemilih. Jika mereka menghamburkan uang, maka balas budi apa yang nanti harus dipikul desa untuk mengembalikan modal calon akan jadi pertanyaan pertama di benak masyarakat. Apalagi, ketiga calon wajib menyetorkan uang sebagai mahar pencalonan kepada panitia pemilihan yang dibentuk desa. 

Sayangnya, jika terlalu pelit, maka benak masyarakat akan kembali menanyakan sejauh mana kemampuan si calon dalam menyejahterakan rakyatnya. Dilematis memang, jika jor-joran dianggap potensial untuk korupsi sementara jika pelit akan dianggap tidak layak mejadi seorang pemimpin. Teori bahwa pemimpin harus kaya sudah kadung melekat dalam benak tiap rakyat di negeri ini.

Faktor kedua adalah psikologis pemilih. Tentu saja ini akan terkait dengan kemampuan di atas meski tidak telalu signifikan. Hal lain yang amat penting dalam memengaruhi psikologi pemilih adalah kekerabatan, blok, dan faham. Untuk kekerabatan, hal ini lumrah dan bahkan caleg DPR sekalipun akan mencantumkan dan memajang foto kerabat yang dianggap berjasa demi ketiban pulung mendapat suara. 

Terkait blok dan faham akan sangat rawan karena ego ini kadang sulit dipadamkan. Fakta bahwa beberapa kades berasal dari garis turunan tertentu, dari blok atau dukuh tertentu, dan faham tertentu akan melahirkan psikologi massa yang antipati terhadap turunan, blok atau dukuh, dan faham apalagi jika kades terdahulu minim kontribusi.

Faktor ketiga tentu saja ketokohan para pendukung yang ada di belakang para calon kades. Yang terakhir ini akan menentukan untuk meredam kekuatan uang, mengendalikan psikologi massa, sekaligus mendongkrak nilai positif figur calon yang tadinya penuh dengan "dosa" masa lalu. 

Sayangnya, justru faktor tokoh di belakang layar inilah yang paling berbahaya. Jika sang kades kemudian berkuasa, maka bisa dipastikan ia akan jadi "pelayan" demi kepentingan tokoh berpengaruh tersebut. Jika si tokoh baik, maka kemaslahatan kampung jadi ikut baik. Jika si tokoh mementingkan diri sendiri, maka sudilah kiranya rakyat menunggu lebih lama untuk sejahtera.

Yang pasti, dengan tidak adanya figur "bersih" maka setidaknya rakyat sudah siap dengan kemungkinan terburuk. Bukankah akan lebih mudah menerima kenyataan jika dicurangi penjahat daripada dikadalin ustadz?