Dangiang: Sang Penentu Pemimpin Gehol


Di kampungku, Gehol sana, seseorang sehebat apapun belumlah bisa memimpin jika belum didatangi oleh Dangiang. Dangiang sendiri dipercaya sebagai penguasa alias pemilik Gehol.

Dangiang bisa berbentuk apa saja. Namun, yang paling sering ia berupa cahaya seperti selendang yang masuk atau mengarah ke rumah seseorang yang akan memimpin desa atau kampung. Meski itu cuma mitos, namun kehadirannya biasa ditunggu oleh para pendukung sang calon pemimpin. Bahkan, mereka biasa bergadang sambil menyaksikan kemanakah Sang Pemilik Kampung mengarah.
Ilustrasi Dangiang
 
Kehadiran Dangiang biasa menjadi semacam bumbu dari perebutan kekuasaan di kampungku. Karena hanya sebuah desa, maka perebutan kekuasaan melalui arena pilkades tidak lengkap tanpa adanya Dangiang. Uniknya, kehadiran Dangiang ke rumah salah seorang kandidat dijadikan rujukan oleh para swing voter di kampungku. Mereka beranggapan bahwa hanya pemimpin yang disrestui oleh Dangiang-lah yang mampu membawa perubahan positif.

Dangiang kemungkinan berasal dari kata Hyang yang berarti Yang Maha. Ia merujuk pada kekuatan gaib penguasa tempat atau alam semesta.Bisa juga Hyang diartikan sebagai Pemimpin Yang Agung. Karena kampungku dulunya terpengaruh oleh kebudayaan Hind-Budha, maka masuk akal jika Dangiang berasal dari kata Hyang.

Sementara itu, dalam mitos Sunda – dalam cerita Sangkuriang – Dangiang memiliki arti yang sama dengan Danghyang yaitu sejenis lelembut. Sementara dalam cerita pewayangan Dangiang diartikan sebagai penunggu suatu tempat. Dijelaskan bahwa agar dunia damai, maka Dangiang dan Sanghyang harus bersatu. Merujuk kalimat tersebut, maka jelas bahwa seorang pemimpin yang direstui oleh Yang Maha Kuasalah (beriman) yang mampu mengurus negeri. (Kalimat itu sendiri diucapkan oleh Prabu Baladéwa kepada Sri Batara Kresna dengan maksud Sanghyang (Sanghyang Ismaya alias Semar) dan Dangiang (Dangiang Dorna alias Dorna) untuk mencegah Perang Baratayudha. Maklum keduanya ada di pihak yang  berseberangan).

Di masa lalu, sehebat apapun kampanye yang dilakukan oleh seorang kandidat, penentunya adalah Dangiang. Sebanyak apapun uang yang ditawarkan, para pemilih akan tetap memperhatikan malam sebelum pencoblosan dilaksanakan. Bahkan serangan fajarpun tak mempan untuk mengubah penglihatan mereka akan Dangiang. Bagi kaum tua di kampungku dulu, alam lebih tahu mana yang pantas dan layak memimpin kampungku.

Malam saat penentuan Dangiang menentukan dukungan amat ditunggu oleh sebagian warga yang memercayainya. Kemunculan Dangiang sendiri biasanya saat tengah malam hingga menjelang senja. Tak heran jika semua warga baik yang berkumpul di rumah kandidat mapun yang begadang di rumah masing-masing akan keluar dan melihat fenomena langit. Biasanya semua orang pintar akan dikerahkan demi meraih restu Dangiang.

Jika melihat hal tersebut, maka ada sebuah pelajaran menarik dari Dangiang. Rakyat di kampungku yakin dan percaya bahwa sehebat apapun manusia, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa jika tidak direstui Yang Maha Agung. Meski caranya dinilai salah – oleh orang yang mengaku beriman – namun kegigihan rakyat kecil menyaksikan fenomena mendaratnya Dangiang patut diapresiasi. Mereka memilih seorang pemimpin bukan hanya karena iming-iming materi, rayuan kata-kata atau bahkan intimidasi.

Sayangnya hal tersebut kini sudah pudar. Keberadaan Dangiang dianggap sebagai kegiatan syirik, musyrik alias tahayul belaka. Padahal, ada sebuah renungan yang sangat dalam mengenai hal ini. Bagi rakyat kampungku, nurani lebih penting dalam menentukan pemimpin. Sesuatu yang saat ini telah hilang.

Untukmu Sahabat


Wahai sahabat, kalian yang kurang beruntung karena ada HIV/AIDS ditubuh kalian, izinkan aku berbagi dengan kalian. Semoga ketika selesai membaca curahan hatiku, kita bisa lebih saling mengerti. Mengerti lebih akan diri kita sendiri.



Aku pada dasarnya sama dengan kalian dan semua yang ada di dunia. Punya rasa. Rasa inilah yang terkadang mengungkungku dari keindahan dunia. Sehingga menjauhkanku dari rasa syukur akan nikmat yang telah begitu banyak kureguk.

Aku pernah remaja, sebuah masa yang amat ingin kureguk kembali. Saat remaja pernah aku patah hati berkali-kali. Setiap patah hati, maka kurasakan dunia hanya selebar tempat aku berpijak. Kututup hati, mata, telinga dan semua indra demi meresapi betapa dunia berlaku tidak adil padaku.

Uluran tangan sahabat kutolak mentah-mentah. Nasihat orang tua dan yang lebih dewasa tak kugubris. Aku selalu berkata pada mereka bahwa apa yang kurasakan tak ada yang mengerti. Selalu kukatakan bahwa mereka takkan mengerti sebab mereka tak mengalami. Aku yang mengalami akulah yang paling mengerti. Itulah aku masa itu.

Aku juga berasal dari keluarga kurang mampu. Petani biasa yang lahan garapannya sangat sedikit. Aku terpaksa menunda melanjutkan ke SMA karena minimnya dana. Kemudian kuliahpun kubiayai sendiri sebab orang tua takkan sanggup. Kembali aku menghujat nasibku, kenapa ketidakadilan begitu ramah menyapa hidupku.

Saat begitu banyak sahabat berusaha meringankan egoku lebih menganggap itu sebagai cibiran. Aku menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah semacam cemooh untuk memperlihatkan bahwa betapa patut aku dikasihani. Itulah aku yang masih seperti masa itu.

***
Sahabat, dari cerita itu aku berusaha memahami kalian lebih jauh. Jika aku yang sekadar patah hati dan anak petani merasa dunia begitu tak adil, maka akupun paham jika kau bertindak serupa. Hanya karena aku yang mengalami maka aku menganggap lebih mengerti, maka akupun bisa memahami jika kalian menjauh dari kami. Aku yang cuma anak petani yang susah melanjutkan pendidikan begitu merasa terhina saat ada yang mau membantu. Aku sangat paham jika ketika ada yang mendekati kalian, sikap merasa dicemooh ada dalam benak kalian.

Aku hanya ingin kalian tidak sepertiku. Sebab kala aku lebih banyak menyerap pengalaman maka segala sikapku dulu begitu ingin aku tanggalkan. Jika kau beranggapan bahwa apa yang aku alami tidak mengancam jiwaku itu benar. Tapi sebagaimana remaja yang masih sempit pikiran, kematian pernah begitu dekat hanya karena merasa hidup tidak adil.

Sahabat, sekali lagi aku hanya ingin berkata, jangan tiru sikapku. Aku pernah merasa paling malang di dunia. Tapi aku sadar bahwa setiap orang memiliki kemalangannya masing-masing. Akupun sadar bahwa kemalangan seseorang bisa menjadi kekuatan sekaligus kebanggaan jika dikelola dengan baik.

Sekali lagi sahabat, jangan tiru aku. Mungkin aku tidak bisa mengerti seutuhnya karena aku tidak mengalami apa yang kalian alami. Tapi setidaknya aku punya dua tangan yang setiap saat rela dan ikhlas terulur untuk kalian. Aku juga punya tubuh yang dengan rela bisa kalian peluk. Aku punya telinga yang bersedia mendengarkan kisahmu. Aku punya sederet indra yang dianugerahkan Tuhan yang bisa kalian manfaatkan. Jika aku bisa, maka aku bersedia.

Sahabat, kalian tidak sendiri. Aku dan jutaan lainnya memiliki tekad sama. Berjuang bersama.

Bekasi - Jawa Barat
Bukti Tweet

Bukti Follow

Xlangkah Lebih Dekat dengan Budaya Lokal

Seiring dengan bertambahnya usia dan ilmu, dulu aku merasa bahwa apa yang ada di kampungku kuno belaka. Banyak mitos, pamali, legenda, dan cerita kuanggap sebagai penghambat kemajuan. Otakku telah dipenuhi oleh rasa iman berlebih dan pemujaan terhadap akal sehat.
Ilustrasi Cinta Leluhur (http://3.bp.blogspot.com)


Namun saat mulai dewasa baik secara fisik dan mental, maka kerinduanku akan kearifan leluhurku bangkit. Rasa rindu sekaligus keinginan menggali makna dibaliknya membuatku kian rajin mencari info. Internet adalah salah satu media yang sangat membantu. Tinggal ketik kata dan klik, maka sedikit banyak info akan tampil.

Ada keuntungan tersendiri karena jaringan internet yang kumiliki lebih cepat. Hal ini membuatku XLangkah Lebih Maju dalam mendapatkan info. Artikel dan tulisan lainnya yang terkait dengan kearifan lokal dengan mudah kudapatkan. Pada akhirnya akupun bisa dengan mudah berbagi dengan kawan, sahabat dan siapa saja yang mampir ke blogku.

Dalam blogku, sengaja aku kulik ingatanku semasa kecil dan menambahnya dari info kawan-kawan. Banyak teman dan sahabat yang satu grup denganku di jejaring sosial. Sayangnya meskipun kami dapat berhubungan dengan mudah lewat jeajring sosial, masalah jaringan menjadi kendala yang cukup sering. Sekali lagi aku beruntung sebab jaringanku yang bagus membuatku XLangkah Lebih Maju dalam berbagi info.

Kecepatan jaringan memang menjadi sebuah keuntungan tersendiri. Bagaimana tidak saat aku sering stuck ketika membuat artikel mengenai kearifan lokal di kampungku. Sering aku harus menunggu info dari kawan dalam waktu yang cukup lama. Beruntung aku tidak menyerah, aku klik Google dengan kata kunci yang kuinginkan dan sederet hasilnya tiba dalam hitungan detik.  Dari berbagai website yang tampil, aku dapat memilah mana yang sesuai dan mana yang tidak. Ketika info dari kawan sudah tersedia di jejaring sosial, hasilnya tidak jauh berbeda. Kembali aku XLangkah Lebih Maju dalam hal ini.

Diantara kawan satu grup yang diikat oleh kedaerahan, akulah satu-satunya yang memiliki blog sebagai tempat untuk mendekatkan diri dengan sejarah masa lalu kampungku. Kegiatan ini memang mengasyikan apalagi blogku kadang dijadikan rujukan dan sumber informasi bagi kawan-kawan satu grupku. Mereka yang rindu kampung halaman dan sederet kisah tentangnya sangat terbantu dengan tulisan-tulisan di blogku.

Indah dan bahagia sekali bisa berbagi dengan sahabat. Bahkan sering juga aku, karena mulusnya jaringan internetku, menjadi problem solver bagi kawan-kawan grup jejaring sosialku. Kembali terbukti bahwa kedekatan sekaligus pemanfaatan internet yang baik membuatku XLangkah Lebih Maju.

Sekarang dan selanjutnya yang harus aku lakukan adalah konsisten menjaga agar ruh dan semangat blogku yang sebagian besar membahas kearifan lokal kampungku tetap terjaga. Dengan mengandalkan internet yang baik aku harus XLangkah Lebih Maju sekaligus Xlangkah Lebih Dekat dengan leluhurku. Mereka yang telah menyelipkan berbagai ajaran dalam setiap mitos, pamali, legenda, dan cerita. Agar generasi setelahku tetap mampu mengingat apa, siapa, dan bagaimana hebatnya leluhurku.




Hulu Dayeuh: Cara Leluhur Memelihara Air


Ilustrasi Hulu Dayeuh
Di desaku terdapat tujuh dukuh, Jetak, Sindangwangi Anyar, Cipancur, Babakan, Sindangwangi Lawas, Marenggeng dan Ciheuleut,  dengan ciri khas memiliki “hulu dayeuh”.  “Hulu dayeuh” sendiri adalah semacam pusat kekuatan mistis dari sebuah dusun. Dari tujuh dukuh, tinggal enam yang tetap memelihara ”hulu dayeuh”. Sementara Jetak yang merupakan ibukota desa telah melepasnya dengan alasan iman dan modernitas.

Hulu dayeuh di lima dukuh berupa sekumpulan pohon kiara dengan diameter lebih besar dari pelukan manusia dewasa. Semua warga mengeramatkan kumpulan pohon-pohon raksasa ini. Tidak boleh ada yang mengganggu pohon bahkan sekedar mengambil ranting-ranting yang jatuh sekalipun. Biasanya area ”hulu dayeuh” akan dipagar sehingga terjaga dari tangan jahil.

Karena kekeramatan dan aura mistisnya sangat menonjol, meski letaknya dekat dengan pemukiman, namun kelestariannya amat terjaga. Sepanas apapun cuaca, daerah hulu dayeuh bak oase abadi di gurun. Kekuatan pohonnyapun patut diacungi jempol. Entah karena memang dikeramatkan atau semata kekuatan pohon, alat berat semacam bekho dan gergaji mesin tak mampu merobohkan pohon-pohon tersebut.

Dari keuletan leluhur memelihara ”hulu dayeuh” kita mampu mengambil pelajaran penting mengenai konservasi alam. Dengan adanya pohon-pohon raksasa yang dipelihara tersebut, nyatalah bahwa dusun-dusun ini selamat dari krisis air. Air minum dapat mereka usahakan dengan memanfaatkan mata air yang tersebar tidak jauh dari dusun. Adanya pohon-pohon raksasa keramat ini juga sekaligus mengajarkan kepada kita bahwa dengan memelihara alam, niscaya kelangsungan hidup akan terpelihara.

Bagaimana dengan Jetak?

Jetak yang tidak memiliki hulu dayeuh berupa pepohonan besar tentu mengalami banyak kendala dengan air minum bersih. Pada masa lalu, air bersih diusahakan dengan membendung mata air Cipantun yang terletak tak jauh dari dusun. Namun mata airnya hanya mampu memenuhi kebutuhan sebagian ekcil warga. Sisanya terpaksa menggali tanah membuat sumur agar dapat minum air yang bersih.

Beruntung Jetak memiliki Cihirup. Sesuai namanya, air Cihirup mengalir sepanjang tahun. Alirannya juga termasuk besar mengingat kini alirannya telah dinikmati ole empat desa di sekitar Kelurahan Sindangwangi, yaitu Bangbayang, Jipang dan Bantarkawung. Jetak sendiri karena dianggap sebagai pemilik tempat dapat menikmati sumber air ini secara gratis. Berbeda dengan Bangbayang, Jipang dan Bantarkawung yang harus menebusnya dengan uang.

Cihirup sendiri terletak di sebuah ngarai yang memiliki banyak pohon. Wajar saja jika ia mampu mengalir sepanjang tahun karena memang daerah sekitarnya berfungsi sebagai penahan air yang baik. Kualitas airnyapun sangat baik, hal ini dibuktikan oleh seorang pegawai dinas setempat yang langsung meminum airnya tanopa dimasak setelah dilakukan beberapa tes.

Belajar dari Cara Leluhur

Jika konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Maka sudah wajib hukumnya bagi kita mempelajari metode sederhana dari leluhur. Sisakan pohon besar, niscaya air tetap mengalir.

Jetak sebagai desa tanpa ”hulu dayeuh” berupa pohon terbukti mengalami nasib yang tidak mengenakkan terkait air minum. Beruntung Cihirup yang sekitarnya juga ditumbuhi pohon-pohon lebat dekat lokasinya sehingga Jetak dapat menikmati air minum bersih dan gratis.Tanpa pohon disekitarnya, mustahil Cihirup akan mengalirkan airnya sepanjang tahun dengan debit yang banyak.

Cipantun yang dahulu memiliki mata air, memiliki sekitar dua pohon tua yang menaunginya. Saat kemarau airnya akan sangat sedikit bahkan tak jarang tinggal rawa belaka. Karena tidak didayagunakan dengan optimal, Cipantun di masa penghujan memang debitnya banyak namun airnya keruh.

Kasus diatas kiranya cukup untuk kita agar melakukan hal sama meski dengan cara berbeda. Kita wajib memelihara pohon demi kesinambungan pasokan air bagi kita. Namun tak perlu kiranya kita mengeramatkan pohon tersebut. Apalagi saat ini kondisi cuaca tidak menentu yang mengakibatkan pasokan air untuk diolah tanah dan pohon juga mengalami fluktuasi yang susah diprediksi. Hanya pohon dan tanahlah satu-satunya harapan agar air bisa tetap langgeng. Tentu saja tak perlu penjelasan kenapa pohon mampu melakukannya bukan?

Kini, hanya kemauan kita saja untuk menanam pohon sesegera mungkin dan memelihara yang sudah ada yang mampu menyelamatkan kita dari kekeringan abadi.


Seharusnya Kita, Bukan Mereka!


Jika ada sebuah kemalangan menimpa kita, apakah yang pertama yang kita butuhkan? Teman dan sahabat adalah jawabannya. Demikian juga dengan mereka yang kurang beruntung karena AIDS. Seharusnya kitalah yang lebih dahulu mengetuk pintu rumah mereka sebelum mereka datang meminta kita membuka jendela rumah kita untuk memperhatikan mereka. Dan remaja memiliki peran kunci dalam situasi ini.

Sebagai remaja yang lebih cair dalam pergaulan, maka inilah masa paling emas sekaligus rentan. Emas karena kecairan sikap mereka dalam menghadapi hidup mampu menyerap semua pengalaman tanpa batas. Rentan karena kecairan sikap terkadang sukar menyeleksi pengalaman. Namun terkait penderita HIV/AIDS, cairnya sikap remaja adalah senjata ampuh meruntuhkan sikap menyesali diri pada para ODHA – jujur berat mengatakan mereka yang menderita dengan kata ini karena terkesan mengekslusifkan mereka.

Dalam mengelola hubungan antara ODHA dan remaja harus ada kepedulian. Sikap terbuka, menerima sekaligus berhenti mengungkit apa yang diderita sangat penting dilakukan. Kunci utamanya adalah berhenti menyuruh penderita HIV/AIDS mencari informasi, membuka diri dan mau bergaul dengan masyarakat. Ubahlah agar diri kita yang mau berbagi informasi, mau menerima mereka, dan tak membedakan dalam pergaulan. Remaja, karena dalam bergaul lebih ikhlas, maka sangat mungkin lebih mampu memerankan.

Sering sekali dalam berbagai kesempatan kita menuntut mereka yang terkena HIV/AIDS berhenti menyesali diri. Namun dalam kesempatan yang sama kita seakan enggan menerima mereka. Kita dengan semangat menyuruh ODHA mencari informasi yang konstruktif, namun kita yang seharusnya memberi malah belum siap memberi. Semoga kesalahan ini tidak dilakukan oleh kaum remaja.

Karena sikap remaja yang cair mereka mampu dan mau bergaul dengan ODHA. Semoga ke depannya remaja dan kita pada umumnya berhenti mengharapkan mereka yang memulai hubungan. Namun kita semua yang berinisiatif. Kitalah pemberi informasi bukan mereka yang harus mengais sendiri. Kitalah yang memperlihatkan bahwa dunia itu indah, bukan mereka yang dengan segenap kekuatan mencoba menikmati.

Bukti Tweet

Bukti Follow
Hal ini berlaku juga saat kita mencari informasi. Berhentilah minta ada yang membuat seminar agar kita mengerti apa itu sesuatu. Sejak dini, apalagi remaja kini kian mudah mengakses media, carilah informasi sebanyak mungkin. Karena dengan banyaknya info, maka proses menyaring pengetahuan kian lebih mudah.

Sebagai info, data dari www.aidsindonesia.or.id bisa kita jadikan acuan kenapa remaja bisa memainkan peran penting dalam pencegahan sekaligus pendekatan pada penderita HIV/AIDS. Berdasarkan laporan Kementrian Kesehatan Triwulan Kedua 2011 terlihat bahwa kelompok umur 20-29 tahun memiliki presentase tertinggi. Melihat data tersebut, remaja akan lebih mudah menjalin komunikasi karena kesamaan usia, meskipun berbeda namun perbedaannya sangatlah tipis.

Kesamaan umur inilah yang diharapkan akan lebih mudah memahami ODHA sekaligus mencegah penyebaran AIDS. Dengan kemampuan remaja masa kini yang supel dan rileks, maka penderita AIDS akan lebih mudah diterima sekaligus menerima. Karena pergaulan mereka dengan ODHA intens dan positif, maka otomatis remaja akan lebih mudah berbagi informasi. Maka penyebaranpun bisa kian diredam.

Sekali lagi, kuncinya adalah lebih banyak kita yang memberi sehingga mereka dan kita bisa lebih baik. ODHA tidak sendiri, sebab kita peduli.

Bekasi - Jawa Barat