Kampanye "Wani Piro"
Saat pertama dibolehkan secara hukum mengikuti pemilu, saya kebetulan bertugas sebagai salah satu panitia pemungutan suara di salah satu TPS di Gehol. Salah satu yang tersisa di kepala adalah betapa musim kampanye dijadikan salah satu masa hura-hura bagi pemuda.
Bagaimana tidak, untuk menarik minat para pemuda banyak yang diimingkan oleh para petinggi parpol. Selain uang bensin untuk meramaikan jalanan dengan bunyi knalpot, ada juga "bensin" untuk mengobarkan semangat peserta kampanye. Bagi sebagian para pemuda, "bensin" jenis ini tentu sangat dinantikan.
Sialnya, kebaikan para petinggi parpol kepada para pemuda hanya sekejap saja. Saat kampanye, apapun yang diinginkan pemuda dengan mudah dipenuhi. Bahkan menyediakan sesuatu yang seharusnya tidak diberikanpun seolah bukan halangan. Lalu, bagaimana setelah yang didukung jadi?
Jika sang calon adalah seorang yang amanah dan baik, maka peran pemuda lantas tak ditinggalkan begitu saja. Banyak yang diikutkan dalam rangka mempercepat pembangunan desa, meski yang diikutkan adalah mereka yang punya pertalian darah atau setidaknya kedekatan. Yang hanya penggembira, silakan nonton dari pinggir.
Para pemuda lainnya, yang jumlahnya lebih banyak, kembali harus tersaruk-saruk menyusuri jalan kehidupan masing-masing. Berpencarlah mereka menuju kota-kota yang menjanjikan pekerjaan. Padahal, banyak caleg yang sebelumnya gembar-gembor menyediakan pekerjaan layak di kampung sendiri.
Setali tiga uang dengan anak mudanya, begitu pula nasib para orangtua. Sesudah suara tidak dibutuhkan, kembalilah mereka menghadapi realita kehidupan. Jika sebelumnya banyak makanan yang disajikan di rumah caleg, setelah jadi, rumah tersebut berpagar tinggi hingga melumerkan nyali mereka yang mau bertamu tanpa upeti.
Segala kebutuhan sehari-hari kembali menjadi tanggungan diri sendiri. Jika sang caleg pernah menjanjikan semua barang terjangkau, maka tak perlu menagih janji tersebut. Sebab caleg tugasnya adalah berjanji. Tanpa janji apalah artinya caleg? Menunaikan atau tidak, semua tergantung memori para pemilih.
Kini, 2014 pemilu tinggal hitungan jam. Sudahkah pola di atas berubah? Sayang sekali, perubahan masih jauh dari harapan. Selamat berharap!
Bagaimana tidak, untuk menarik minat para pemuda banyak yang diimingkan oleh para petinggi parpol. Selain uang bensin untuk meramaikan jalanan dengan bunyi knalpot, ada juga "bensin" untuk mengobarkan semangat peserta kampanye. Bagi sebagian para pemuda, "bensin" jenis ini tentu sangat dinantikan.
Sialnya, kebaikan para petinggi parpol kepada para pemuda hanya sekejap saja. Saat kampanye, apapun yang diinginkan pemuda dengan mudah dipenuhi. Bahkan menyediakan sesuatu yang seharusnya tidak diberikanpun seolah bukan halangan. Lalu, bagaimana setelah yang didukung jadi?
Jika sang calon adalah seorang yang amanah dan baik, maka peran pemuda lantas tak ditinggalkan begitu saja. Banyak yang diikutkan dalam rangka mempercepat pembangunan desa, meski yang diikutkan adalah mereka yang punya pertalian darah atau setidaknya kedekatan. Yang hanya penggembira, silakan nonton dari pinggir.
Para pemuda lainnya, yang jumlahnya lebih banyak, kembali harus tersaruk-saruk menyusuri jalan kehidupan masing-masing. Berpencarlah mereka menuju kota-kota yang menjanjikan pekerjaan. Padahal, banyak caleg yang sebelumnya gembar-gembor menyediakan pekerjaan layak di kampung sendiri.
Setali tiga uang dengan anak mudanya, begitu pula nasib para orangtua. Sesudah suara tidak dibutuhkan, kembalilah mereka menghadapi realita kehidupan. Jika sebelumnya banyak makanan yang disajikan di rumah caleg, setelah jadi, rumah tersebut berpagar tinggi hingga melumerkan nyali mereka yang mau bertamu tanpa upeti.
Segala kebutuhan sehari-hari kembali menjadi tanggungan diri sendiri. Jika sang caleg pernah menjanjikan semua barang terjangkau, maka tak perlu menagih janji tersebut. Sebab caleg tugasnya adalah berjanji. Tanpa janji apalah artinya caleg? Menunaikan atau tidak, semua tergantung memori para pemilih.
Kini, 2014 pemilu tinggal hitungan jam. Sudahkah pola di atas berubah? Sayang sekali, perubahan masih jauh dari harapan. Selamat berharap!