Menyelamatkan Air, Menyelamatkan Peradaban


Banjir Besar karya Raden Saleh (id.wikipedia.org)

Air adalah kehidupan dan kehidupan selalu berkaitan dengan air. Air, bersama udara, menjadi satu-satunya faktor penentu sebuah daerah layak atau tidak dihuni. Tak heran jika selama ini setiap misi ke luar angkasa dikhususkan untuk menemukan air dan oksigen. Tak heran jika sebuah planet dengan kemungkinan memiliki air selalu menjadi tujuan utama eksplorasi luar angkasa.

Kepentingan akan air sebenarnya sudah terbukti dan diwujudkan oleh para pendahulu kita. Sederet peradaban kuno selalu bersanding dengan sumber air dan alirannya sebagai penunjang kemajuan peradaban mereka. Mesir bisa menjadi peradaban penuh misteri tentu karena ada Sungai Nil. Demikian juga dengan Mesopotamia dengan peradaban Sumeria Akkadia, Assyria dan Babilonia. Jangan lupakan peradaban India Kuno dengan Mahenjo Daro dan Harappa. Perhatikan juga Tiongkok Kuno, Persia Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno/Kekaisaran Romawi, Makedonia, Kartago. Bahkan Inca, Maya, Aztek dan Maurya tak luput dari peran air. Dari kesemuanya mungkin hanya peradaban Inca saja yang beristana jauh dari aliran sungai atau laut.


Petahunan: Kisah yang Tak Tercantum

Bendungan Petahunan, Jetak, Sindangwangi, Bantarkawung, Brebes
Bendungan Petahunan telah diceritakan dalam artikel terdahulu berjudul Petahunan dan Legendanya. Kali ini akan saya ceritakan mengenai asal usul nama Petahunan. Kisah ini sayangnya tidak terdokumentasikan dengan baik. Hanya melalui mulut ke mulut para tetua kampungku.

Petahunan biasa dilogatkan warga Gehol dengan kata pataunan. Awalnya saya mengira kata tersebut berasal dari kata taun. Dengan mengambil taun debagai kata dasar, maka pataunan awalnya saya kira berarti setiap tahun. Namun, semuanya ternyata salah setelah saya berdiskusi dengan beberapa orang tua di kampungku.

Menurut mereka kata Patahunan berasal dari Ki Matahun alias Aki Matahun. Menurut mereka, Aki Matahun ini adalah orang kepercayaan Arya Jipang. Uniknya, hanya terpaut jarak sekitar 20 kilometer dari kampungku, terdapat Desa Jipang. Jelasnya bisa dilihat di wikipedia


Sebiasa Apapun, Mereka Tetap Luar Biasa

Kita Semua Sama, Tanpa Kecuali
Sering melihat ODHA yang berprestasi? Tentu saja mereka patut diacungi seluruh jempol yang dimiliki oleh kita. Mereka adalah salah satu contoh figur yang tidak menyerah meski sebuah tembok besar menghalangi pandangan, kreatifitas hingga gerak mereka.

Karena dunia ini bersifat kompetitif, maka tentu saja tidak mungkin semua ODHA akan seterkenal mereka yang biasa menghiasi media. Layaknya kita manusia biasa, ada sedikit yang dianggap berprestasi dan berguna bagi masyarakat. Sebagian besar lainnya dari kita tentulah menjalani kehidupan yang dianggap biasa saja bahkan tanpa arti.

Lalu bagaimanakah memberi apresiasi bagi mereka yang sama seperti kita, menjalani hidup yang biasa saja? Yang memiliki jalan sama seperti kita pada umumnya? Karena bagiku, memperhatikan mereka yang mayoritas ini tentu sangat penting.


Dangiang: Sang Penentu Pemimpin Gehol


Di kampungku, Gehol sana, seseorang sehebat apapun belumlah bisa memimpin jika belum didatangi oleh Dangiang. Dangiang sendiri dipercaya sebagai penguasa alias pemilik Gehol.

Dangiang bisa berbentuk apa saja. Namun, yang paling sering ia berupa cahaya seperti selendang yang masuk atau mengarah ke rumah seseorang yang akan memimpin desa atau kampung. Meski itu cuma mitos, namun kehadirannya biasa ditunggu oleh para pendukung sang calon pemimpin. Bahkan, mereka biasa bergadang sambil menyaksikan kemanakah Sang Pemilik Kampung mengarah.
Ilustrasi Dangiang
 
Kehadiran Dangiang biasa menjadi semacam bumbu dari perebutan kekuasaan di kampungku. Karena hanya sebuah desa, maka perebutan kekuasaan melalui arena pilkades tidak lengkap tanpa adanya Dangiang. Uniknya, kehadiran Dangiang ke rumah salah seorang kandidat dijadikan rujukan oleh para swing voter di kampungku. Mereka beranggapan bahwa hanya pemimpin yang disrestui oleh Dangiang-lah yang mampu membawa perubahan positif.

Dangiang kemungkinan berasal dari kata Hyang yang berarti Yang Maha. Ia merujuk pada kekuatan gaib penguasa tempat atau alam semesta.Bisa juga Hyang diartikan sebagai Pemimpin Yang Agung. Karena kampungku dulunya terpengaruh oleh kebudayaan Hind-Budha, maka masuk akal jika Dangiang berasal dari kata Hyang.

Sementara itu, dalam mitos Sunda – dalam cerita Sangkuriang – Dangiang memiliki arti yang sama dengan Danghyang yaitu sejenis lelembut. Sementara dalam cerita pewayangan Dangiang diartikan sebagai penunggu suatu tempat. Dijelaskan bahwa agar dunia damai, maka Dangiang dan Sanghyang harus bersatu. Merujuk kalimat tersebut, maka jelas bahwa seorang pemimpin yang direstui oleh Yang Maha Kuasalah (beriman) yang mampu mengurus negeri. (Kalimat itu sendiri diucapkan oleh Prabu Baladéwa kepada Sri Batara Kresna dengan maksud Sanghyang (Sanghyang Ismaya alias Semar) dan Dangiang (Dangiang Dorna alias Dorna) untuk mencegah Perang Baratayudha. Maklum keduanya ada di pihak yang  berseberangan).

Di masa lalu, sehebat apapun kampanye yang dilakukan oleh seorang kandidat, penentunya adalah Dangiang. Sebanyak apapun uang yang ditawarkan, para pemilih akan tetap memperhatikan malam sebelum pencoblosan dilaksanakan. Bahkan serangan fajarpun tak mempan untuk mengubah penglihatan mereka akan Dangiang. Bagi kaum tua di kampungku dulu, alam lebih tahu mana yang pantas dan layak memimpin kampungku.

Malam saat penentuan Dangiang menentukan dukungan amat ditunggu oleh sebagian warga yang memercayainya. Kemunculan Dangiang sendiri biasanya saat tengah malam hingga menjelang senja. Tak heran jika semua warga baik yang berkumpul di rumah kandidat mapun yang begadang di rumah masing-masing akan keluar dan melihat fenomena langit. Biasanya semua orang pintar akan dikerahkan demi meraih restu Dangiang.

Jika melihat hal tersebut, maka ada sebuah pelajaran menarik dari Dangiang. Rakyat di kampungku yakin dan percaya bahwa sehebat apapun manusia, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa jika tidak direstui Yang Maha Agung. Meski caranya dinilai salah – oleh orang yang mengaku beriman – namun kegigihan rakyat kecil menyaksikan fenomena mendaratnya Dangiang patut diapresiasi. Mereka memilih seorang pemimpin bukan hanya karena iming-iming materi, rayuan kata-kata atau bahkan intimidasi.

Sayangnya hal tersebut kini sudah pudar. Keberadaan Dangiang dianggap sebagai kegiatan syirik, musyrik alias tahayul belaka. Padahal, ada sebuah renungan yang sangat dalam mengenai hal ini. Bagi rakyat kampungku, nurani lebih penting dalam menentukan pemimpin. Sesuatu yang saat ini telah hilang.

Untukmu Sahabat


Wahai sahabat, kalian yang kurang beruntung karena ada HIV/AIDS ditubuh kalian, izinkan aku berbagi dengan kalian. Semoga ketika selesai membaca curahan hatiku, kita bisa lebih saling mengerti. Mengerti lebih akan diri kita sendiri.



Aku pada dasarnya sama dengan kalian dan semua yang ada di dunia. Punya rasa. Rasa inilah yang terkadang mengungkungku dari keindahan dunia. Sehingga menjauhkanku dari rasa syukur akan nikmat yang telah begitu banyak kureguk.

Aku pernah remaja, sebuah masa yang amat ingin kureguk kembali. Saat remaja pernah aku patah hati berkali-kali. Setiap patah hati, maka kurasakan dunia hanya selebar tempat aku berpijak. Kututup hati, mata, telinga dan semua indra demi meresapi betapa dunia berlaku tidak adil padaku.

Uluran tangan sahabat kutolak mentah-mentah. Nasihat orang tua dan yang lebih dewasa tak kugubris. Aku selalu berkata pada mereka bahwa apa yang kurasakan tak ada yang mengerti. Selalu kukatakan bahwa mereka takkan mengerti sebab mereka tak mengalami. Aku yang mengalami akulah yang paling mengerti. Itulah aku masa itu.

Aku juga berasal dari keluarga kurang mampu. Petani biasa yang lahan garapannya sangat sedikit. Aku terpaksa menunda melanjutkan ke SMA karena minimnya dana. Kemudian kuliahpun kubiayai sendiri sebab orang tua takkan sanggup. Kembali aku menghujat nasibku, kenapa ketidakadilan begitu ramah menyapa hidupku.

Saat begitu banyak sahabat berusaha meringankan egoku lebih menganggap itu sebagai cibiran. Aku menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah semacam cemooh untuk memperlihatkan bahwa betapa patut aku dikasihani. Itulah aku yang masih seperti masa itu.

***
Sahabat, dari cerita itu aku berusaha memahami kalian lebih jauh. Jika aku yang sekadar patah hati dan anak petani merasa dunia begitu tak adil, maka akupun paham jika kau bertindak serupa. Hanya karena aku yang mengalami maka aku menganggap lebih mengerti, maka akupun bisa memahami jika kalian menjauh dari kami. Aku yang cuma anak petani yang susah melanjutkan pendidikan begitu merasa terhina saat ada yang mau membantu. Aku sangat paham jika ketika ada yang mendekati kalian, sikap merasa dicemooh ada dalam benak kalian.

Aku hanya ingin kalian tidak sepertiku. Sebab kala aku lebih banyak menyerap pengalaman maka segala sikapku dulu begitu ingin aku tanggalkan. Jika kau beranggapan bahwa apa yang aku alami tidak mengancam jiwaku itu benar. Tapi sebagaimana remaja yang masih sempit pikiran, kematian pernah begitu dekat hanya karena merasa hidup tidak adil.

Sahabat, sekali lagi aku hanya ingin berkata, jangan tiru sikapku. Aku pernah merasa paling malang di dunia. Tapi aku sadar bahwa setiap orang memiliki kemalangannya masing-masing. Akupun sadar bahwa kemalangan seseorang bisa menjadi kekuatan sekaligus kebanggaan jika dikelola dengan baik.

Sekali lagi sahabat, jangan tiru aku. Mungkin aku tidak bisa mengerti seutuhnya karena aku tidak mengalami apa yang kalian alami. Tapi setidaknya aku punya dua tangan yang setiap saat rela dan ikhlas terulur untuk kalian. Aku juga punya tubuh yang dengan rela bisa kalian peluk. Aku punya telinga yang bersedia mendengarkan kisahmu. Aku punya sederet indra yang dianugerahkan Tuhan yang bisa kalian manfaatkan. Jika aku bisa, maka aku bersedia.

Sahabat, kalian tidak sendiri. Aku dan jutaan lainnya memiliki tekad sama. Berjuang bersama.

Bekasi - Jawa Barat
Bukti Tweet

Bukti Follow