Derita Dibasuh Balsem

2:08:00 PM Unknown 0 Comments

Sebenatar lagi BBM naik, sebuah kepastian yang diguratkan oleh pemangku negeri dengan alasan melindungi negara dari makhluk bernama bangkrut. Beralasankan bahwa subsidi hanya dinikmati oleh orang kaya, maka bahan yang biasa digunakan untuk memudahkan mobilitas warga ini dengan senang hati diluluskan para perwakilan rakyat untuk dinaikkan.

Apakah warga Gehol terganggu? Tentu saja ia, meski gangguan tersebut dapat dengan cepat dibasuh ucapan syukur karena masih bisa menghirup udara secara gratis. Mungkin, di masa datang yang satu inipun akan dipungut biaya. Masalahnya, bagi warga Gehol adalah seberapa mampu pemangku negeri menggantikan kejutan tersebut dengan hal menyenangkan? Maka, marilah kita lihat bagaimana warga Gehol menyikapi BLSM, alias balsem.

Sudah tak terhitung program pemerintah yang bertujuan mengentaskan kemiskinan diberikan pada warga Gehol, seperti warga negara Indonesia lainnya. Lalu, apakah kemiskinan dari Gehol sudah enyah? Tentu saja belum, ia masih bercokol hampir di sebagian besar warga yang mendapatkan berkah dari Sungai Cigunung ini. Tengok saja raskin yang menurut sahibul hikayah pernah menggegerkan warga kampungku yang bersahaja tersebut. Lalu, ada PNPM yang juga seperti biasa, kehadirannya disambut dengan sangat bahagia oleh para aparat, bukan warga.

Kini, ketika pemerintah menelurkan BLSM alias balsem, apakah bisa efektif mencegah kemiskinan kian dalam di kampungku? Jawabannya tentu saja tidak akan. Kenapa? Karena seperti biasa, kebijakan ini cenderung reaktif daripada solutif. Sesungguhnya, warga Gehol memang tidak terlalu banyak mengonsumsi BBM bersubsidi. Paling banter mereka hanya memiliki sepeda mootor dengan cc kurang dari 250cc. Ada juga yang punya mobil, namun biasanya mereka adalah kaum ningrat atau yang meningratkan diri karena punya sumber daya lebih dari sesama. So, apasih yang dibutuhkan warga kampungku tercinta?

Satu hal yang membuat mereka pantas kesal adalah terbengkalainya sarana mereka untuk beraktivitas. Jalanan yang buruk adalah sesuatu yang harus dihadapi setiap hari. Susahnya birokrasi adalam mimpi buruk yang wajib diterima tanpa bisa mengeluh apalagi komplain. Masih kurang? Tengok berapa jarak yang harus mereka tempuh hanya sekedar mengurus akte kelahiran, SIM, dan aneka surat penting yang hanya bisa dilakukan di ibukota kabupaten. Menyusahkan!

Jaminan kesusahan ini tentu saja tak sebanding dengan jumlah balsem yang diiming-iming pemerintah. Belum lagi absennya jaminan pekerjaan yang layak, kesehatan yang terjangkau, dan perekonomian yang lancar. Di kampungku, absennya pemerintah dalam melancarkan kehidupan adalah sebuah hal yang biasa. Tengok saja kantor kepala desa kami, aktivitasnya hanyalah kongko-kongko setengah hari. Maka, ketika ada tuntutan untuk diangkat jadi PNS mengemuka, gelak tawa warga tak terelakkan.

Masalah distribusi balsempun pasti akan memunculkan ketidakpuasan. Maklum, karena pemerintah terlalau lama absen dalam melayani, maka saat ada kesempatan pemangku negeri berbagi, semua orang merasa berhak sehingga terjadi rebutan. Dalam benak mereka, kapan lagi pemerintah berbuat baik? Sedangkan saat kampanye mereka hanya menjejali janji dan setelah menjabat janji menguap jadi mimpi. So, manfaatkan saja jika mereka berbagi, meski taruhannya pahit di masa datang. Sebab, masa kinipun sebenarnya sudah teramat pahit.

Jika saja jalanan bisa dilalui tanpa harus menyakiti badan, anak-anak muda dengan mudah mengais rejeki di kampung sendiri, harga pangan semurah para tengkulak membeli hasil bumi, warga Gehol sejatinya akan melipatgandakan syukur mereka. Juga melipatgandakan sifat pasrah dan menerima mereka, pada Tuhan, pada pemerintah, pada leluhur, dan pada siapa saja yang mau berbagi.

Maka, marilah kita tunggu geger baru dari balsem ini.


0 comments:

Privasi di Gehol

2:56:00 PM Unknown 0 Comments

Jika ada organisasi sekaliber NSA meminta data pengguna internet termasuk yang biasa nongkrong di laman sosial media membuat warga dunia geger, mungkin Gehol perkecualian. Bukan karena orang-orang Gehol buta akan teknologi, bukan pula karena mereka tak empati dengan perjuangan si Edward Snowden. Semata karena bagi warga Gehol, privasi itu, sudah sejak lama melebur dalam keseharian sosial mereka.

Warga Gehol sejatinya sudah bosan dengan mata-mata dan hal-hal terkait intelijen. Jaman kemerdekaan dulu, tak sedikit warga Gehol yang menorehkan nama dalam rangka menegakkan republik ini. Belanda dan Jepang entah sudah berapa kali mengirimkan teliksandi demi memuluskan operasi. Miris memang, sebab sebagian besar penyusup adalah saudara sendiri.

Beralih pada jaman pemberontakan, Gehol tak luput dari kecamuk lara. Saat PKI mengobrak-abrik sendi-sendi negeri, entah berapa jiwa yang terpaksa tercerabut dari raga penduduk Gehol. Sejak kecil, cerita tentang pembantaian massal yang didahului aksi intel sudah sering didendangkan sebagai teman ngopi dan kumpul keluarga. Pun saat DI/TII bergulir, tanah Gehol kembali terpaksa menyerap banyak darah dan jasad yang harus tumpas akibat gejolak tersebut.

Semua pedih tersebut selalu tak lepas dari peran mata-mata alias intel. Mereka ada yang menyaru dengan sempurna, setengah sempurna, hingga bisa ditebak bahkan oleh otak sederhana warga Gehol. Bahkan hingga kini, orang-orang yang mengaku intel masih sering berkeliaran. Ada yang mungkin intel sejati, bisa jati cuma untuk menangguk duit dari rakyat yang lugu.

Pengalaman tentu saja adalah guru terbaik. Jadi, tatkala negeri Paman Sam didakwa memata-matai pemakai internet, apalah soal bagi warga Gehol yang sederhana ini. Bukankah, semua kehidupan tak bisa disembunyikan. Berapa banyak aib dan rahasia dapur yang berkelindan dari mulut tetangga satu ke yang lain? Di negeri dengan ramah tamah yang amat tinggi ini, rahasia adalah sesuatu yang mahal.

Warga Gehol tentu saja banyak yang memakai internet. Sosial media sudah akrab dalam kehidupan mereka. Tanpa ‘makhluk’ bernama internet, hubungan warga Gehol perantauan dengan sesamanya di kampung halaman bisa jadi tersendat. Lantas, kenapa mereka adem-ayem dengan retasan pihak yang kurang ajar yang merasa berhak mengetahui setiap rahasia hidup mereka? Karena warga Gehol adalah warga yang baik.

Sejak intel dalam wujud manusia blusukan di Gehol, satu-satunya rasa nyaman yang jadi pegangan mereka adalah kebenaran. Jika kamu benar, maka apalah yang ditakutkan? Kalimat ini adalah kalimat maha sakti yang terbukti membuat warga Gehol sedikit sekali bersentuhan dengan hukum. Mereka mampu menjaga diri dari jeratan ideologi PKI dan DI/TII. Mereka meski dibelit kemiskinan dan kesusahan yang sebagian diciptakanan oleh pemangku aturan, toh hingga kini mampu bertahan dan survive.

Jadi, jikapun benar bahwa privasi warga Gehol ditelanjangi, selama mereka dalam jalur kebenaran buat apa takut? Toh, yang diperangi adalah teroris, dan di Gehol teroris itu cuma bayangan.

0 comments:

Bersyukur dan Sukurin!

2:52:00 PM Unknown 0 Comments

Bersyukurlah, begitu ungkap dan pesan setiap orang tua Gehol pada anaknya. Sesulit apapun kehidupan, kata syukur selalu tersemat. Tak peduli kau NU, Muhammadiyah, atau kaum yang jauh dari Mesjid model aku ini, kata syukur senantiasa wajib disebut.

Kata itu pula yang menguatkan kami, anak-anak Gehol dan tentu saja semua warga Gehol dimanapun berada. Tak peduli BBM naik, PNPM tak sampai, raskin di garong orang, atau e-KTP yang melelahkan tak kunjung jadi, warga Gehol tetap bisa tersenyum. Syukur masih bisa hidup dan menikmati hidup jauh lebih indah daripada si Paul Cumming yang kisahnya "mengerikan". 

Bagi warga Gehol, sesungguhnya kehadiran kebahagiaan telah melekat sejak mereka lahir dan besar di Gehol sana. Sistem yang sudah disematkan leluhur sesungguhnya dengan apik telah menyediakan kebahagiaan dalam arena kehidupan. Namun sistem itu diperkosa oleh cekokan materi. Maka, kini Gehol sudah mulai dirasuki hal-hal serba materi.

Jika dulu kau akan bahagia mengerjakan sawah dan kebun bersama tetanggamu, kini kau harus rajin menghitung seberapa anggaran untuk mereka. Liliuran yang diciptakan dengan penuh rasa syukur dan cinta sesama berubah menjadi ngabedug yang sejatinya komersialisasi tetangga sendiri. Miris. Begitu juga saat kau membangun rumah, tak ada lagi kajak dimana tetanggamu berkumpul sebab ikut bersyukur kau mampu bangun tempat berteduh yang layak. Kini, kajak diperkosa dengan sistem kerja harian yang sekali lagi menilai pekerjaan tetanggamu dari seberapa uang yang menurut umum layak diberikan.

Tapi, liciknya para pemerkosa sistem ini adalah kemampuan tetap mewajibkan warga Gehol bersyukur. Jika liliuran dan kajak dikomersialisasi antartetangga, maka kerid yang sejatinya adalah kewajiban pemerintah menyediakan fasilitas yang layak bagi warga Gehol justru dibebankan kepada warga Gehol itu sendiri. Sedih! Kerid dengan jumawa telah memaksa warga Gehol untuk aktif berpartisipasi membangun desa, sebuah kewajiban yang seharusnya dilakukan pemerintah.

Kini, ketika nestapa begitu sering menyapa kaum miskin, termasuk warga Gehol, pemerintah bisa jadi punya kerjaan. Tidak sengaja memang, mungkin juga tak ada niat. Seburuk-buruknya pemerintah, toh ada juga warga Gehol yang menjadikan dirinya abdi negeri ini. Menyandang status jempolan sebagai PNS, dimana masa depannya ditanggung peluh dan lelah warga Gehol yang taat pajak. Namun, banyak hal yang seharusnya mampu ditangani pemerintah yang justru terjadi kekosongan.

Kemana pemerintah saat warga Gehol berdiaspora ke kota-kota besar karena kebutuhan pekerjaan yang layak susah diperoleh di desa? Entah di mana pemerintah saat warga Gehol terpaksa blekukan menelusuri jalanan aspal berlumpur hanya sekedar untuk membuat akte lahir demi memastikan anaknya diakui negara? Lenyap, beserta janji-janji yang ditebar saat hendak menjabat.

Tapi, bukan warga Gehol namanya jika tak sanggup bertahan dari nestapa. Jika dilihat dari sejarah yang kuingat, warga Gehol yang bunuh diri sebab cengeng menghadapi kehidupan tak terangkum dalam sensus penduduk. Maka, saat pemerintah dengan lantang ingin menaikkan BBM, warga Gehol relatif tenang dan optimis menghadang masa depan. Jika sehari-hari mereka biasa ditinggal aparat, kenapa pula mesti menggantungkan harapan pada mereka yang terbukti keparat?

Sampai kapanpun, warga Gehol tetap akan tersenyum dan bersyukur, tanpa mengucapkan kata "sukurin" saat para perangkai nestapa terkena bala. Sukurin!







0 comments:

Terima Kasih "Odong-odong"

2:13:00 PM Unknown 0 Comments

Kau bidadari turun dari surga ....

Itulah bait yang sudah seminggu ini dinyanyikan anak perempuanku yang berusia 3,5 tahun. Ia menyanyikannya setelah pulang dari rumah temannya yang berusia hanya setahun lebih tua. Setelah menyanyikannya, beruntung hanya sebait itu yang hapal, ia lalu menyebut-nyebut Coboy Junior. 

Masalah kembali muncul saat boyband bocah ini kemudian akan merilis filmnya di bioskop. Anakku kembali merengek bahwa ia ingin sekali menyaksikan film yang dibintangi oleh empat orang anak kecil yang menyanyikan lagu, yang menurut saya, aneh tersebut. Aneh mengingat anak-anak seusia mereka begitu fasih bersenandung tentang cinta dan kegombalan. Sesuatu, yang tidak mungkin ditemui saat saya kanak-kanak.

Saya masih beruntung sebab anak saya sudah terlebih dulu dijejali dengan koleksi CD bapak dan ibunya yang berisi Joshua, Trio Kwek-Kwek, dan sederet artis cilik jaman saya kecil. Juga beruntung karena dia sudah terbiasa mendengar lagu-lagu anak-anak, yang benar-benar diperuntukkan bagi anak-anak. Ia masih hafal lagu-lagu, Bintang Kecil, Kereta, Balonku, dan deretan lagu anak-anak wajib lainnya. Seandainya saya telat, mungkin semua lagu Coboy Junior dan bocah-bocah boyband atau girlband bisa-bisa dikunyah tanpa saringan.

Bayangkan, anak sekecil anak saya dengan fasihnya menyanyikan sebuah bait tentang merayu kekasih. Menyedihkan juga, jika seandainya anak saya yang masih berusia 3,5 tahun bersenandung tentang betapa indahnya cinta pertama. Padahal, untuk sekedar mencopot celana jeans saja ia masih kesulitan.Entah apa pula yang dirasakan orang tua jika anaknya yang ingus masih menempel di hidung dengan ceria bercerita tentang idolanya yang bisa jadi masih belum hapal bacaan Sholat.

Satu hal yang baru saya sadari adalah kontribusi tukang odong-odong. Setelah era industri yang menomorsatukan pasar ini, anak-anak seolah menjadi dunia yang ogah dilirik sama industri musik. Tiadanya ciptaan lagu anak-anak baru bukan satu-satunya hal yang bikin hati miris. Lihat saja aneka ajang pencarian bakat di negeri ini. Semua talenta seolah dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Hanya tukang odong-odong yang konsisten menyajikan lagu anak-anak.

Koleksi mereka lengkap untuk menemani anak-anak menaiki wahana yang mereka sajikan. Tentu saya sebagai orang tua sangat bersyukur, masih ada yang bisa menarik anak-anak untuk menyanyikan lagu-lagu yang diperuntukkan bagi mereka. Seandainya tak ada tukang odong-odong, mungkin anak-anak akan cepat bosan mendengarkan senandung lagu yang pas buat mereka. Bagaimanapun, magnet televisi telah begitu kuat menarik semua perhatian kita, termasuk anak-anak. 

Kuatnya televisi menyedot perhatian anak-anak adalah kian sepinya ruang terbuka yang ada di lingkungan kita saat primetime. Juga kian berkurangnya jamaah mengaji di surau-surau terdekat. Atau kian cepatnya, mereka pulang dari mengaji dan sekolah. Dan, terpujilah tukang odong-odong yang "hanya" demi uang ribuan, menyajikan wahana yang memikat hati anak kecil dan mengisi telinga serta otak mereka dengan lagu-lagu yang pas dengan usia mereka. 

Tentunya, ketekunan mereka wajib diapresiasi di tengah anggapan para penggarap industri hiburan yang menomorsatukan uang tanpa memerhatikan efek negatif sajian mereka bagi anak-anak. Ssalut!







0 comments: