Menjadi Santri Bahagia di Pesantren Mang Saep


Sebagai seorang pencari kegembiraan, selain belajar ngaji di pesantren Muhamadiyah saya juga pernah beberapa tahun menghabiskan waktu mengaji di pesantren NU. Di sana, di pesantren yang dikomandani almarhum Mang Saep, saya menemukan kebahagiaan.

Di pesantrennya, Ponpes Rohmanul Huda, beberapa kali mendapat wejangan dari almarhum Kyai Saefulloh. Pembawaannya yang tenang, sejuk, dan penuh aura mampu membuat murid-muridnya tertunduk takzim mendengarkan.

Baliau juga seorang yang pekerja keras dan gampang sekali menolong. Selain menjadi guru di pesantrenya, yang nyaris tanpa pemasukan kecuali dari donasi, Beliau juga merupakan petani yang gigih. Baru beberpa tahun terakhir menjelang kepergiannya, sosok guru yang waktu saya kecil biasa dipanggil Mang Saep ini memiliki usaha sampingan.

Namun meski bertajuk usaha, bukan sekali kami mendapatkan kebaikannya. Pernah suatu ketika mengadakan acara keagamaan, dengan tanpa "ba bi bu" Beliau membantu. Kami yang memang kurang dana, tak pernah diganggunya untuk membayar alat-alat yang ia kaluarkan. Padahal, di waktu yang bersamaan bisa saja ia memakai alatnya tersebut untuk mencari uang.

Jika menceritakan kebaikan sosok Kyai Saep tentu tak akan habisnya. Hal-hal di atas hanya sedikit dari sekian banyak sumbangsihnya untuk sesama. Tentu saja tak ada yang Beliau ungkit-ungkit, termasuk oleh para turunannya. Namun mengingatnya, membuat saya yakin bahwa masa depan dunia masih cerah selama ada orang-orang sepertinya.

Kembali ke masa lalu, sebagai anak kecil saya mendapatkan kebahagiaan tak terkira saat menimba ilmu di pesantren tersebut. Meski singkat, banyak yang bisa didapat dari tempat yang berdiri tepat di samping jalur irigasi tersebut. Salah satu kebahagiaan yang mungkin takkan didapat lagi adalah kebiasaan bermalam di pesantrennya.

Menghabiskan malam-malam bersama kawan-kawan di loteng pesantrennya memberi banyak pengalaman menyenangkan untuk anak kecil seperti saya waktu itu. Banyak hal yang sebelumnya tidak pernah saya tahu kemudian perlahan-lahan masuk dan membekas dalam ingatan. Hal-hal baik dan buruk yang sebelumnya hanya samar-samar kian jelas berkat diskusi intensif dengan kawan-kawan seperjuangan.

Tentu saja peran Kyai Saep tak sedikit di sana. Beliau selalu berusaha ada untuk kami, bahkan ketika saat larut kami masih bersuara layaknya lebah. 

Terima kasih Mang.

Jurus Merangkul Ala Kyai Mur


Melihat masyarakat yang terpecah-belah sekarang ini hanya gara-gara memilih pemimpin, saya teringat tentang kebaikan para ulama di kampung saya. Salah satu yang masih teringat adalah mendiang KH Zainal Mutaqien. 

Kami biasa memanggil Beliau dengan sebutan Kyai Mur. Dialah pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Al-Manar di kampungku. Sekira usia akhir SD dan awal SMP, saya berkesempatan menimba ilmu di sana. Tak lama memang, namun banyak hal yang susah dilupakan baik yang menakutkan maupun menyenangkan.

Menakutkan karena Sang Kyai membawa aliran baru, Muhamadiyah. Sementara sejak berpuluh tahun lamanya, NU sudah lebih dulu mengakar di kampungku. Gesekan tentu saja ada. Namun kerukunan antarpenduduk tetap terjaga. Perbadaan paham tentu saja terkadang membuat penganutnya saling klaim kebenaran. Tapi di kampungku semuanya masih dalam batas kewajaran. Sebab, hampir semua orang yang tinggal di sana memiliki ikatan darah alias bersaudara.

Tidak semua warga kampungku yang memang berstatus sebagai Islam yang taat. Salah satunya tentu saja saya. Bagi banyak kaum santri, anak-anak dan keluarga seperti saya digolongkan sebagai abangan alias Islam KTP. Bahkan konon, saking kurangnya kadar iman orang-orang seperti kami menikah dengan kaum santri hanyalah hayalan. Kami adalah golongan orang-orang yang "jauh dari mesjid".

Untuk bisa menikahi kekasih dari golongan santri, kami harus mengubah kebiasaan buruk kami yang jarang beribadah. Namun tentu saja kebiasaan itu susah diperbaiki. Beruntung, kemudahan datang seiring hadirnya Sang Kyai.

Kedatangan Kyai Mur membawa banyak perubahan. Salah satu yang nyata adalah dirangkulnya kami yang Islam KTP ini untuk berbondong-bondong ke pesantrennya. Pendekatan yang berbeda membuat anak-anak dan orang tua yang tadinya jarang bersentuhan dengan agama menjadi militan. Kadar militansi inilah sebenarnya yang membuat gesekan-gesekan kecil sering terjadi.

Sebagai anak-anak, waktu itu saya tak terlalu memperhatikan kenapa orang-orang yang dahulu dicap "jauh dari masjid" kemudian begitu entengnya bergabung dengan Kyai Mur. Barulah beberapa tahun setelahnya saya mengerti bahwa pendekatan Beliau yang merangkul itulah penyebabnya.

Jika banyak yang lebih suka menjuluki kami sebagai kaum kurang beriman, Beliau justru sebaliknya. Dia dekati orang-orang yang kurang beriman ini tanpa label. Karena tanpa label inilah yang membuat kami kemudian tergerak. 

Pesan yang dibawa sama, kebenaran Illahi. Hanya saja, kemasan kedua kubu dalam mendapatkan simpati kami berbeda. Kyai Mur memilih pendekatan yang "memanusiakan" daripada memberikan label atau cap yang buruk. Beliau mendekati alih-alih menjauhi. Beliau mengajak, bukannya mencela.

Tentu saja para kyai NU juga melakukan hal yang sama. Berdakwah kepada kami agar kembali ke jalan yang benar. Hanya saja, kebaruan yang ditawarkan Kyai Mur mungkin lebih menarik warga. Kebaruan yang dibungkus kemasan menarik itulah kelebihannya.

Jika dibandingkan dengan hari ini, sosok seperti Kyai Mur tentu dirindukan. Orang-orang yang memiliki tutur kata sejuk dan santun mungkin akan meredakan ketegangan yang ada saat ini. Keengganannya memberikan label buruk pada orang yang berbeda atau tidak sejalan adalah salah satu kekuatan atau charisma terbesarnya.

Sayangnya, sebagaimana orang baik pada umumnya, Beliau terlalu cepat dipanggil Tuhan. Kejayaan pesantren saat Kyai Mur memimpin kini kian menurun. Semoga, benih-benih kebaikan yang dibawanya kian berakar dan mekar di kampungku.