Bisa Semuanya Jadi Berabe di Negeriku

kompasiana.com

Negeriku menyimpan banyak hal selain tradisi yang kini berjuang menghadapi arus jaman, kearifan yang dicibir modernias, dan kesolehan yang digerogoti materi. Ada sebuah hal yang menarik dikupas dari negeri para pekerja keras ini, fanatisme.

Fanatisme di negeriku menyelusup hingga ke tulang sumsum warganya. Tak hanya agama, sepakbola, bola voli, dan politik tak luput dari fanatisme warga negeriku. Musik pun demikian, warga negeriku akan dengan segenap hati berteriak "Uye!" tak peduli kenal atau tidak dengan Bob Marley.

Jangan heran jika melihat tawuran bahkan yang menghilangkan nyawa sekalipun. Alasan idola dan kebanggaan yang melekat pada badan bisa sangat berbahaya di negara ini. Yang menyesakkan, meski sering terjadi hal tersebut seolah dianggap angin lalu oleh para pemangku kekuasaan.

Fanatisme agama tentu semua orang punya. Bahkan kaum terpelajar sekalipun memiliki sikap ini. Di negeriku, jangan pernah mencaci keyakinan orang lain. Meski secara fisik tak akan menerima tindakan, namun perbuatan mencaci keyakinan orang lain bisa dikategorikan sebagai perilaku menjijikan.

Namun di sisi lain, atas nama agama sering juga terjadi toleransi tanpa batas. Jika seseorang sudah begitu fanatik pada agama, hal-hal yang dikaitkan dengan agamanya bahkan yang buruk sekalipun tetap akan dibela.

Mau tahu akibatnya? Kasus Ahok misalnya, akan Anda jadikan pelajaran hingga 7 turunan mendatang. Yakinlah. Bukan berarti Ahok dalam posisi benar dalam hal ini, namun lebih kepada sentimen yang muncul akibat keberadaan Ahok dan segala kontroversinya.





Saya Gak Suka SBY, Tapi Dukung AHY


Peperangan antara Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo kembali digelar. Kali ini, DKI Jakarta yang menjadi arena ketiganya. Siapakah yang bakal menjadi pemenang?

Sejak awal, Mega melalui kuasa mutlaknya di PDIP telah tercium hendak mencalonkan petahana yakni Basuki Tjahaya Purnama yang punya nama beken Ahok. Manuver Gerindera dan PKS di satu poros dan Demokrat di poros lainnya membuat pilgub DKI kali ini seru sekaligus adem. Seru karena beberapa nama muncul di detik-detik akhir. Adem karena polarisasi dua kubu yang diprediksi di awal justru menguap.

Keseruan muncul ketika ada nama Anies Baswedan yang pernah menjadi menteri pendidikan di era Jokowi kemudian digandeng oleh Gerindera dan PKS untuk menjadi DKI-1 bergandengan dengan Sandiaga Uno yang sejak beberapa bulan lalu memang mendeklarasikan diri hendak menjadi calon gubernur. Di Cikeas, kejutan tak kalah serunya. Adalah nama Agus Harimurti Yudhoyono yang kemudian diusung bergandengan dengan Sylviana Murni. 

Pertandingan Seru Namun Sejuk
Munculnya Anies dan Agus berpotensi menghadirkan pertandingan seru. Nama-nama yang santer di awal seperti Yusril dan bahkan Rizal Ramli menguap begitu saja. Tak peduli apa yang terjadi di balik itu, namun kemunculan dua nama di awal dari Koalisi Kartanegara dan Poros Cikeas patut disyukuri. 

Andai saja kedua koalisi tersebut bersatu dan mengusung satu nama, misal YIM, maka gesekan di akar rumput bisa berdarah-darah. Seru namun panas. Dikotomi kafir dan muslim bisa berkembang ke arah yang anarkistis dan pastinya siapapun tidak ingin DKI Jakarta menjadi medan berdarah anak-anak negeri. Beruntung, SBY dan Prabowo memiliki jiwa negarawan yang patut diapresiasi kali ini. (Ini pujian tulus kok, biasanya saya gak pernah muji mereka). 

Lalu di antara Anies dan Agus, siapakah yang menarik perhatian dan patut dikasih kesempatan, jawaban saya adalah Agus HY. Ahok dengan segala kelebihan dan nilai positifnya dalam membangun Jakarta, sadar atau tidak mulai tergeruk popularitas dan elektabilitasnya. Semua kebaikan dia di mata banyak pihak kian menipis ketika dia tak mampu juga mengelola komunikasi yang baik dengan warga. Dengan berbekal kebenaran versinya, semua pihak dilabrak oleh Ahok. Bahkan jikapun dia nabi, sejatinya melabrak semua pihak yang dianggap berseberangan belum tentu patut dilakukan. Labrak sana-sini kemudian kian berkembang menjadi semacam kewajiban oleh para pengikutnya.

Anies yang berpengalaman di bidang pendidikan hingga kemudian menjadi menteri bidang tersebut memang sosok yang cerdas, santun, dan terkenal bersih. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan menembus birokrasi kita yang bebal. Jadi, mohon maaf jabatan Gubernur DKI yang begitu besar kuasanya ini belumlah cocok untuk orang seperti Anies.

Lalu pilihan saya Agus HY, meski saya gak pernah suka sama bapaknya, patut diberi kesempatan memimpin Ibukota Indonesia ini. Sosok ini merupakan sosok baru yang benar-benar segar. Namun bukan berarti dia anak ingusan seperti yang dituduhkan. Bagaimanapun, menjalani pendidikan di sekolah militer dilanjutkan dengan meraih gelar di luar negeri adalah bukti bahwa dia bukan anak ingusan. Dia berpengalaman memegang komando, sesuatu yang cocok untuk memerintah negara yang masih semidemokratis dan semifeodal ini.

Jadi DKI Jakarta, bersiaplah punya pemimpin yang muda, segar, dan terbiasa memegang tongkat komando ini kan?



Sekolah Seharian? Boleh Saja, Asal Bapak dan Ibu Sejahtera


Konon, setiap pergantian menteri pendidikan di republik ini merupakan kabar buruk bagi para siswa seantero negeri. Bahkan, orang tua yang sudah pusing menghadapi hidup juga akan terpaksa mengernyitkan dahi melihat kebijakan para menteri baru. 

Ternyata, hal tersebut bukan isapan jempol belaka. Menteri terbaru dari kabinet yang baru seumur batita ini membuktikan dengan senang hati. Kebijakan terbaru yang konon masih wacana tersebut adalah sekolah seharian. Artinya, murid-murid menghabiskan waktunya di sekolah dengan aneka kegiatan mulai belajar hingga entah apa saja.

Bagi saya pribadi, kebijakan tersebut boleh-boleh saja asal ada kajian ilmiah yang mendukung. Berikanlah segenap rakyat Indonesia argumen yang masuk akal untuk meyakinkan bahwa dengan sekolah seharian anak-anak negeri ini akan jadi pemimpin atau setidaknya mampu menjadi solusi di masyarakat. Pastikan pula kepada kami yang sedang kebingungan ini bahwa konsep tersebut kemudian bisa menjadikan rakyat negeri ini makmur sejahtera. Jangan seperti sekarang, konsep ini dikenalkan dengan segudang janji bahwa anak-anak akan ini dan itu. Wahai bapak professor, kami sudah kenyang dengan janji.

Yang kedua, saya sebagai orang yang menghabiskan masa sekolah di kampung, konsep tersebut terkesan omong kosong. Bagaimana mungkin saya bisa sekolah seharian sementara orang tua berpeluh ria di kebun demi menghidupi keluarga. Mustahil juga menolak godaan bermain bersama-sama dengan teman baik di kali maupun di halaman. Adalah tidak bijak juga jika sekolah seharian kemudian anak-anak kehilangan masa-masa mengaji di surau. Bahwa Pak Menteri kemudian hendak mengundang guru ngaji ke sekolah itu memang bisa. Tapi tetap saja nuansa yang dirasakan anak-anak akan berbeda ketika mereka mengaji di madrasah atau surau.

Jadi, daripada memberikan konsep yang membuat anak-anak merasa jadi kelinci percobaan lebih baik Pak Menteri fokus bagaimana caranya agar sekolah-sekolah negeri memberikan pembelajaran yang berkualitas. Jika melihat puluhan sekolah di mana saya tinggal sekarang, maka bisa dikatakan kualitas adalah hal yang hilang pascakebijakan sekolah gratis diluncurkan. 

Karena anak-anak bersekolah dengan gratis, maka banyak hal-hal yang kemudian dijadikan tambang uang oleh sekolah dan oknum guru. Misalnya saja saat pelajaran menggambar, maka semua siswa wajib membeli kertas yang disediakan guru dengan harga berkali lipat dari harga pasaran. Bukan hanya itu, para siswa kemudian diwajibkan menerima les dari guru masing-masing demi mendapatkan nilai memuaskan. Padahal, saat jam sekolah para guru punya waktu leluasa untuk melakukan hal itu.

Jadi Pak Menteri, dengan waktu sekolah yang kadang hanya dua jam saja sudah banyak uang yang dikeluarkan orang tua murid, apalagi jika sekolah seharian penuh? Seandainya kesejahteraan masyarakat sudah cukup, kemungkinan hal itu bisa dilakukan. Tapi Pak, sekali lagi pikirkanlah bagaimana para siswa yang hanya akan mendapatkan lingkungan monoton.

Fenomena Saut: Ketika 'Headline Society' Mencoba Meneliti


Saya pernah bekerja sama dengan divisi RND sebuah perusahaan yang sedang men-develop sebuah obat untuk Demam Berdarah. Perusahaan telah melakukan aneka riset yang dibutuhkan sehingga harapannya mampu mengklaim bahwa produk mereka adalah obat untuk penyakit yang sering menjadi wabah tiap tahun tersebut.

Riset dilakukan dengan memberikan produk tersebut pada sekelompok pasien DBD. Sebagai perbandingan, kelompok pasien lainnya diberikan plasebo. Hasilnya lumayan bagus secara statistik karena selain mampu mengembalikan jumlah trombosit lebih cepat, juga mampu menghemat biaya rumah sakit. Hal ini terindikasi dari makin cepatnya pasien DBD menjalani rawat inap dibandingkan mereka yang diberikan plasebo atau penanganan standar lainnya sebagaimana WHO syaratkan. 

Meski beberapa kali studi produk tersebut memberikan hasil positif untuk penderita demam berdarah baik secara klinis maupun medis, namun para dokter enggan menyebutnya obat. Menurut salah seorang dokter yang terlibat, banyak syarat yang harus dipenuhi produk tersebut untuk didaulat menjadi obat. Salah satunya adalah uji toksik yang berbiaya mahal. Uji ini secara garis besar adalah tes untuk menilai seberapa efek racun bagi tubuh dan menilai seberapa aman sebuah senyawa bagi tubuh. 

Begitulah dunia medis bekerja, demi mendapatkan kesimpulan yang presisi segala anasir yang memengaruhinya sedapat mungkin diidentifikasi. Dalam penelitian sosial pun, segala faktor yang bisa menghasilkan kesimpulan bias sedapat mungkin dikeluarkan dari daftar. Tujuannya cuma satu, agar hasil penelitian benar-benar bisa dipertanggungjawabkan baik secara etik, moral, maupun secara keilmuan.

Ucapan Saut Situmorang dan Fenomena 'Headline Society'
Menilik betapa susahnya untuk menghasilkan sebuah kesimpulan, maka apa yang terjadi dengan bangsa ini saat ini tentu memilukan. Dalam berbagai kasus, masyarakat menyimpulkan segala sesuatunya hanya berdasarkan "headline" di media. Maka bolehlah saya menyebut masyarakat kita sebagai 'headline society', masyarakat yang begitu gandrung dengan segala hal hanya berdasarkan bacaan singkat judul sebuah berita.

Dalam kasus Yuyun misalnya, banyak masyarakat yang mirisnya sebagian besar adalah kaum terdidik langsung memvonis penyebabnya. Penelitian singkat terhadap pelaku berdasarkan judul berita yang beredar kemudian dijadikan sebuah kesimpulan. Kesimpulan ini menihilkan aspek-aspek lain semisal ekonomi, sosial, budaya, agama, dan aspek yang bisa memengaruhi tindakan bejat 14 pelaku pemerkosaan. Semua aspek dinihilkan semata sementara satu aspek yang muncul dalam berita dijadikan sebuah narasi. 

Masih kurang tanda-tanda 'headline society' menggurita di masyarakat kita? Lihat saja beranda Facebook atau tapak waktu Twitter Anda. Berapa banyak postingat mengharu-biru yang kemudian menggelitik otak kita untuk langsung menyimpulkan tanpa berusaha mencari sumber pembanding. Pada sebuah meme atau foto misalnya, hal-hal yang dikaitkan dengan keyakinan akan lebih mudah mendapatkan impresi daripada ketika postingan tersebut diceritakan apa adanya.

Rupanya, gejala 'headline society' ini tidak hanya menghinggapi masyarakat kelas menengah ke bawah yang akses terhadap sumber berita terbatas. Namun para pejabat yang sudah dibiayai negara untuk lebih pintar dari masyarakat kebanyakan mengalami hal serupa. Aneka komentar yang para oknum pejabat ini lontarkan kepada publik sering kali membuat masyarakat mengernyitkan dahi. Bukan karena sulit memahami pernyataan mereka, namu lebih kenapa ada pernyataan konyol dari mereka-mereka yang dibiayai uang pajak. 

Kasus terakhir yang menimbulkan riak lumayan besar adalah tentang generalisir Saut Situmorang yang merupakan salah satu komisioner KPK terhadap HMI. Sang komisioner dalam sebuag wawancara dengan media menyatakan bahwa saat menjadi pejabat, anggota HMI korup. Sebuah kesimpulan yang dangkal yang muncul dari pengamatan yang tidak akurat dan terlalu singkat.

Bahwa ada banyak kader HMI yang oleh pengadilan divonis bersalah karena korupsi itu benar. Namun tidakkah Saut Situmorang melihat berapa pejabat jujur - minimal tidak divonis korupsi oleh pengadilan - yang berasal dari organisasi ini? Sekali lagi, terlihat bahwa gejala 'headline society' menghinggapi oknum pejabat termasuk Saut Situmorang. 

Sangat mungkin ia mendengar korupnya kader-kader HMI dari media-media yang memberitakan. Namun karena media cenderung "silent" terhadap kabar baik, maka hanya yang buruk saja yang melekat dari HMI. Inilah yang kemudian Saut Situmorang ungkapkan ke media. Ia lupa bahwa pengamatannya akan HMI terbatas pada yang diceritakan koran. Jadi Pak Saut Situmorang, selamat menikmati hantaman balik dari gejala 'headline society' yang juga Anda derita.



Terima Kasih Leicester City!

Jika ada kisah terindah yang nyata dan mengharu-biru dunia saat ini, maka Leicester City adalah tokoh utamanya. Kesebelasan kecil yang baru dua musim ini bisa kita lihat berlaga di layar televisi ternyata mampu merontokkan semua prediksi yang merendahkan mereka.

Klub berjulukan The Foxes ini bermarkas di King Power Stadium yang berkapasitas "hanya" 32.000 penonton. Dilihat dari kapasitas stadionnya saja, sudah barang tentu kesebelasan yang kini dilatih The Tinkerman ini bukanlah raksasa di negaranya. Dengan skuad yang harganya hanya sepersekian puluh dari harga-harga pemain yang menghuni klub-klub kaya Inggris tentu saja pantas diremehkan, setidaknya di atas kertas.

Namun dengan skuad seadanya dan bahkan beberapa pemain merupakan buangan dari klub sebelumnya tentu siapapun tak mengira jika mereka kemudian menjadi kampium Liga Primer Inggris musim ini. Bukan saja pemain yang disepelekan, kehadiran Claudio Ranieri yang sering juga dijuluki Mister Nyaris ini pun bukan hal yang patut dibanggakan pada awalnya. Opa asal Italia ini terakhir kali dipecat tim nasional Yunani gegara kalah dari liliput Eropa, Kepulauan Faroe.

Seberapa mustahil mereka mampu menjuarai Liga Inggris musim ini terlihat dari seberapa besar perbandingan taruhan para penjudi. Leicester City bahkan dipertaruhkan dengan angka yang lebih rendah daripada kemungkinan Elvis Preasley masih hidup. Atau adakah yang lebih gila bahwa kemungkinan The Foxes juara tak lebih besar daripada kemungkinan bahwa Kim Kadarshian yang tanpa talenta itu menjadi presiden USA.


Juara di Tengah Kemelut
Namun kini, Jamie Vardy dan kawan-kawan bisa menepuk dada mereka sembari menikmati impian klub selama 132 tahun untuk merengkuh tropi. Klub ini juga bisa dengan senyum lebar mengajarkan kepada generasi saat ini bahwa tak ada yang tak mungkin selama semua diusahakan dengan sebaik-baiknya. 

Jika ingin bersuara minor, maka keberhasilan Leicester City juara saat ini memang sarat dengan faktor keberuntungan. Kesebelasan langganan juara mulai dari MU, The Citizen, The Reds, The Gunner, hingga The Blues sedang kepayahan menghadapi situasi yang aneh. Kesebelasa-kesebelasan nan kaya raya di Inggris tersebut seolah sedang bertarung dengan bayangan sendiri hingga terseok-seok musim ini. Spurs yang memiliki skuad lebih baik dari Leicester City kemudian jadi penantang utama perebutan gelar. Sayangnya, dua kali hasil seri di pertandingan ke-35 dan 36 mengubur mimpi mereka meraih titel.

Namun seberuntung-beruntungnya Okazaki dan kawan-kawan tentu tidak akan juara jika hanya mengandalkan tidak stabilnya para kompetitor lain. Lihat saja Arsene Wenger yang dengan filosofi sepak bola menghiburnya tak mampu menaklukkan klub kecil yang tampil konsisten ini. Bahkan meneer Van Gaal yang didatangkan MU pun masih kelimpungan menentukan formasi baku untuk menghadapi liga dan bahkan terancam tak lolos ke Liga Champion musim depan.

Lalu, jika kita mengagumi teori konspirasi apakah tidak ada campur tangan para cukong judi di balik kemenangan Leicester City merengkuh titel Liga Primer musim ini? Entahlah, perjuangan mereka di lapangan rasanya tak sebanding dengan pikiran yang merendahkan ini. Yang jelas, kesebelasan dari kota Leicester ini memberi pelajaran kepada kita bahwa mimpi bisa diraih.