Social Media dan Percepatan Pertumbuhan Desa

Suatu waktu di sebuah desa di Mexico sana, seorang Ibu melihat lampu jalanan yang mati. Langsung saja ia mengambil handphone dan log-in Twitter. Ia sampaikan mengenai matinya lampu jalanan kepada wali kota setempat. Selanjutnya dapat ditebak, sang wali kota kemudia memerintahkan pejabat terkait untuk melakukan perbaikan. Satu masalah terpecahkan.

Sindangwangi tentu saja berbeda secara kultur dan geografis dengan Mexico. Namun kemiskinan yang membelit sebagian besar Mexico hampir sama dengan Indonesia. Problem masyarakatnya pun mirip, khas negeri yang sedang mengembangkan diri. Lalu bisakah sepenggal kisah di atas juga terjadi di Sindangwangi?

Untuk daerah perkotaan sendiri khususnya Jakarta, media sosial sudah dianggap bagian dari pelayanan publik. Tercatat hampir semua kementrian dan dinas yang terkait dengan pelayanan publik memiliki akun media sosial guna menyaring masukan masyarakat tanpa terhalang rumitnya birokrasi. Sebuah langkah yang patut dilakukan kades baru di Sindangwangi.

Dengan keleluasaan yang diberi undang-undang untuk membentuk perangkat desa, maka kepala desa bisa memilih orang-orang yang kompeten. Salah satunya yang melek teknologi dan perkembangan jaman. Tentu saja hal ini demi mempermudah tugas-tugas kepala desa semata.

Kepala desa bisa menunjuk salah satu perangkat desa yang ia pilih untuk menyaring masukan dari warga desanya. Dengan memotong jalur birokrasi yang biasanya ribet melalui media sosial, maka kepala desa bisa mendapatkan gambaran yang riil masyarakat yang ia pimpin. Tentu saja hal tersebut akan makin memudahkan kepala desa dalam mnyusun strategi dan mengeksekusinya.

Yang pasti, media sosial akan lebih mendekatkan sekaligus membuat kepala desa lebih merakyat sebab bisa dijangkau dengan mudah oleh warga. Sayangnya, jangankan kepala desa, camat Bantarkawung dan Bupati Brebes sendiri masih belum mengoptimalkan media yang murah meriah ini.

Jadi, akankah kejadian di pelosok Mexico sana terjadi juga di Sindangwangi? Semoga!

Sindangwangi 1 dari Taman Sari

(Kades Sindangwangi 2014-2019)
Helatan pilkades yang sejenak membuat suasana panas usai sudah. Rakyat Sindangwangi telah memberi mandat kepada dia yang dianggap mumpuni. Tiga calon telah bertarung, muncul sudah satu pemenang.

Seiring munculnya pemegang tampuk kuasa yang baru, muncul pula harapan baru. Sindangwangi yang memiliki luas wilayah lumayan dan penduduk banyak tentu masyarakatnya ingin lebih sejahtera. Juga lebih mampu berbicara di pentas Kabupaten Brebes dalam hal pembangunan. Untuk mewujudkannya, semoga semua masyarakat memberi dukungan kepada pemimpin yang baru.

Pemenang dari pilkades Sindangwangi adalah Pak Daryo yang asli penduduk Sindangwangi, bukan naturalisasi tentu saja. Sebab Sindangwangi punya banyak stok orang-orang yang mampu secara intelektual maupun material, Kades Daryo salah satunya. Setidaknya, demikian berdasarkan kepercayaan rakyat yang tercermin dari hasil perhitungan suara. 

Beliau seperti umumnya warga Desa Sindangwangi adalah anak petani. Dengan semangatnya mengalahkan kemiskinan, Beliau malang-melintang menaklukkan Kota Jakarta. Tercatat, Pak Daryo dikenal sebagai salah satu pengusaha yang cukup sukses di Jakarta. Bidang yang Beliau geluti adalah proyek-proyek bangunan, bidang yang paling banyak diakrabi para perantau asal Desa Sindangwangi.
Kades Daryo setelah menikah kemudian tinggal di Taman Sari. Taman Sari sendiri adalah salah satu wilayah di Gehol alias Jetak. Jika merunut pada arti katanya, Taman Sari berarti taman bunga yang indah. Semoga, Sindangwangi dibawah pimpinannya akan seindah arti nama tersebut.


Kecanduan Dinasti

Politik Dinasti (berita2bahasa.com)
Dua sejawat, Kusadi dan Ramadi, yang sama-sama menekuni tulak dayeuh tersenyum-senyum di depan TV sambil menonton tayangan goyang yang sedang marak membodohi masyarakat. Keduanya adalah karib yang dipersatukan nasib, sama-sama tak betah merantau dan terikat jiwa dan raga dengan desa.

Namun, dalam pilkades kemarin keduanya sengaja memisahkan diri dari kebersamaan. Selain ingin mencoba hal baru yang jauh dari rutinitas, membela dua kubu berbeda ditinjau dari segi ekonomi terlihat menguntungkan. Begitulah setidaknya menurut Duo Kura (Kusadi dan Ramadi) ini. Kusadi memihak calon yang digadang-gadang didukung orang paling berpengaruh di kampung, sedang Ramadi mendekatkan diri sama calon yang termuda di sana.

Karena sejatinya mereka karib, maka dalam strategipun mereka tak segan berbagi. Jika Kusadi habis mematangkan strategi di calon A, maka hari selanjutnya ia akan mendiskusikan strategi tersebut dengan Ramadi, begitu sebaliknya. Tujuan mereka sebenarnya sama, siapapun yang terpilih, mereka berharap kehidupan mereka sebagai tulak dayeuh akan naik status. 

Sebagai teliksandi, masing-masing memainkan peran yang amat meyakinkan, setidaknya begitu menurut mereka. Kusadi yang kebetulan pandai memijat, sering mencuri dengar apa strategi rahasia calon yang didukung dedengkot kampung itu. Sedangkan Ramadi yang jago gaple, tidak sepasif Kusadi. Ramadi aktif menyebarkan ide agar jagoannya bisa menang di pilkades kali ini. Tak tanggung-tanggung, ia sudah belajar aneka langkah gaple melalui internet sejak dua bulan sebelum hura-hura politik kampung ini dimulai.

Tidak banyak warga kampung yang memerhatikan langkah Duo Kura ini. Sebagai tulak dayeuh karatan, intelektualitas mereka dianggap biasa saja. Kemampuan politik mereka yang hanya berbekal menonton acara debat TV dianggap remeh. Kehadiran mereka yang "nyaru" sebagai tukang pijat dan pemain gaple juga tidak menarik minat banyak orang. Bahkan aneka ide Ramadi yang cukup logispun tak digubris.

Saat pemilihan, Duo Kura sudah mengalkulasikan seberapa angka yang mampu didulang jagoannya masing-masing. Saat perhitungan suara dimulai dan akhirnya semua suara terkumpul sudah, kedua wajah mereka menjadi pucat pasi. Jagoan mereka dua-duanya kalah. Kalah telak malah. Yang menang justru calon yang dianggap paling lemah diantara calon lainnya. Calon yang dianggap paling pelit, hidup di ketiak istri, dan jauh dari sosialisasi masyarakat.

Tapi Kusadi dan Ramadi lupa, si calon penyendiri nan pelit dan betah di ketiak istri ini adalah saudara jauh dari tokoh paling berpengaruh di desa. Jika si tokoh seolah-olah sehaluan dengan Kusadi, maka Kusadi dan segenap rakyat nan lugu sudah tertipu.

Sesudah gelaran pilkades usai dan keduanya gagal total mempraktikan seni politik dari debat kusir di TV, Kusadi dan Ramadi kembali ke rutinitas mereka sebagai tulak dayeuh. Malam hari keliling berharap ada perawan kampung yang gelap mata dan mau jadi pacar sementara siang hari mati-matian menghindari perintah orangtua mereka yang sudah bosan mengingatkan untuk segera mencari kerja.


Social Media sebagai "KPK Desa"

Ilustrasi RUU Desa (rri.co.id)
Tahun 2014 ini ada kado yang cukup menggembirakan bagi desa-desa di seluruh pelosok negeri ini, disahkannya UU Desa. Salah satu yang menggembirakan adalah jaminan mengucurnya dana ratusan juta hingga milyaran untuk menyejahterakan masyarakat.

Besarnya lungsuran dana tersebut tentu saja membutuhkan pengawasan yang melekat mengingat mental korup sudah merajalela. Salah satu yang bisa diandalkan adalah social media melalui mobile internet. Sudah bukan rahasia bahwa penduduk desa sudah melek internet, minimal social media, yang kebetulan dijadikan dagangan para operator.

Dengan akses yang luas terhadap informasi, diharapkan penduduk desa kian "melek" terhadap aneka kebijakan desa yang kadang disulap oleh para oknum demi kepentingan sendiri. Social media sebagai salah satu sumber berbagi informasi bisa dijadikan ladang pengawasan bagi para pelaku desa dalam mengalokasikan dana melimpah yang bakal diterima desa. 

Para penduduk desa kini mulai sadar akan pentingnya berbagi informasi. Mereka membuat grup-grup di Facebook dan bahkan ada yang rela membuat blog yang fungsinya untuk sharing informasi. Tentu ini kabar baik bagi makin bergairahnya pembangunan desa menuju arah yang benar.

Makin sadarnya masyarakat desa berbagi antarwarga atau antardesa kian memperkaya pengetahuan dalam mengawal kebijakan di sebuah desa. Setiap warga akan dengan mudah saling membandingkan mulai dari jumlah anggaran hingga alokasinya sehingga penyelewengan bisa dideteksi. Apalagi, kini banyak pemerintah daerah yang kian terbuka dalam laporan APBD mereka. Check and balance kian terpelihara karena warga akan mudah membandingkan dengan realita di desa dan laporan yang dirilis pemda setempat.

Kesadaran masyarakat menyaring info dari berbagai sumber diharapakan akan memacu kesadaran hukum sehingga masyarakat dapat mengambil tindakan yang dibutuhkan saat menemukan kecurangan. Jadi, siapkah desa dengan dana melimpah dan pengawasan melekat dari masyarakat lewat "KPK Desa"? 
 
Waktu yang akan menjawab apakah mobile internet berperan positif terhadap pembangunan desa atau apatisme masyarakat sudah makin membuncah hingga tak peduli dengan sekitarnya.



Tak Ada Yang Hebat Sejak Orok!

Berkali-kali dan entah sampai kapan harus membuat artikel demi melepaskan segala kejengkelan hati. Salah satu yang sering sekali membuat hati jengkel adalah penanaman logika dalam sinetron. Meski masuk ranah fiksi, namun karena terkadang mengambil fakta sebagai acuan dan disebarkan tanpa ampun kepada massa, maka mau tak mau menimbulkan jengkel. Bahkan muak!

Kini, sinetron di beberapa stasiun TV menampilkan sosok hebat di masa lalu dalam bentuk anak-anak. Tercatat mulai "Raden Kian Santang" hingga "Joko Tingkir" digambarkan begitu digdaya bahkan sejak mereka melihat dunia. Palsu dan dusta, tentu saja.

Sebagai hiburan, yang sayangnya sedikit sekali pilihan yang lebih baik, sinetron berlatar sejarah dengan mengagungkan kehebatan seseorang sejak mereka lahir tentu saja berbahaya. Hal ini mengerdilkan logika masyarakat yang harus menerima opini bahwa kehebatan seseorang selalu berkaitan dengan keajaiban bahkan sejak ia masih di rahim ibundanya.

Mengambil tokoh yang mengharu biru sejarang bangsa dengan gambaran demikian tentu saja memuakkan. Sekali lagi instanisasi bukan hanya melanda materi, namun juga kecerdasan seseorang. Sebuah pengkhianatan bukan saja kepada sejarah yang telah terbentuk dan dengan susah payah dituliskan para leluhur, namun juga kepada para orang tua yang dengan sekuat tenaga berusaha membuat anak mereka lebih baik.

Dengan menggambarkan bahwa kelebihan seorang pemimpin semata adalah anugerah, bukan tanpa usaha akan menumpulkan kemauan anak-anak bangsa. Massifnya gambaran tentang anugerah adalah hal utama dalam membentuk karya seseorang tentu mengkhawatirkan. Di saat semua stasiun TV menggambarkan hal yang serupa, maka para penikmatnya lambat laun termakan "logika" sesat tersebut.

Entah hanya demi mendongkrak pendapatan semata atau memang ada misi lain, gencarnya televisi menggambarkan tokoh ternama dalam sejarah bangsa yang hebat sejak orok ini seakan menganulir kisah-kisah lebih sahih tentang bagaimana perjuangan seseorang hingga dikenal sejarah seperti sekarang ini. Tengok saja ilmuwan sepanjang jaman, Albert Einstein, yang mesti dicap tolol di masa kecil sebelum akhirnya dengan memadukan anugerah dan kerja keras mampu menjadi ilmuwan terhebat hingga saat ini. 

Logika dangkal sinetron tersebut juga menihilkan perjuangan para nabi, yang meski dianugerahi aneka keajaiban oleh Tuhan, tetap berpeluh keringat dan darah dalam membesarkan ajaran yang diembannya. Semua dianulir oleh penyajian tokoh hebat di masa lalu yang sudah hebat sejak lahir. Hanya sedikit usaha yang dibutuhkan mereka karena sejatinya mereka sudah ditakdirkan hebat.