Hulu Dayeuh: Cara Leluhur Memelihara Air


Ilustrasi Hulu Dayeuh
Di desaku terdapat tujuh dukuh, Jetak, Sindangwangi Anyar, Cipancur, Babakan, Sindangwangi Lawas, Marenggeng dan Ciheuleut,  dengan ciri khas memiliki “hulu dayeuh”.  “Hulu dayeuh” sendiri adalah semacam pusat kekuatan mistis dari sebuah dusun. Dari tujuh dukuh, tinggal enam yang tetap memelihara ”hulu dayeuh”. Sementara Jetak yang merupakan ibukota desa telah melepasnya dengan alasan iman dan modernitas.

Hulu dayeuh di lima dukuh berupa sekumpulan pohon kiara dengan diameter lebih besar dari pelukan manusia dewasa. Semua warga mengeramatkan kumpulan pohon-pohon raksasa ini. Tidak boleh ada yang mengganggu pohon bahkan sekedar mengambil ranting-ranting yang jatuh sekalipun. Biasanya area ”hulu dayeuh” akan dipagar sehingga terjaga dari tangan jahil.

Karena kekeramatan dan aura mistisnya sangat menonjol, meski letaknya dekat dengan pemukiman, namun kelestariannya amat terjaga. Sepanas apapun cuaca, daerah hulu dayeuh bak oase abadi di gurun. Kekuatan pohonnyapun patut diacungi jempol. Entah karena memang dikeramatkan atau semata kekuatan pohon, alat berat semacam bekho dan gergaji mesin tak mampu merobohkan pohon-pohon tersebut.

Dari keuletan leluhur memelihara ”hulu dayeuh” kita mampu mengambil pelajaran penting mengenai konservasi alam. Dengan adanya pohon-pohon raksasa yang dipelihara tersebut, nyatalah bahwa dusun-dusun ini selamat dari krisis air. Air minum dapat mereka usahakan dengan memanfaatkan mata air yang tersebar tidak jauh dari dusun. Adanya pohon-pohon raksasa keramat ini juga sekaligus mengajarkan kepada kita bahwa dengan memelihara alam, niscaya kelangsungan hidup akan terpelihara.

Bagaimana dengan Jetak?

Jetak yang tidak memiliki hulu dayeuh berupa pepohonan besar tentu mengalami banyak kendala dengan air minum bersih. Pada masa lalu, air bersih diusahakan dengan membendung mata air Cipantun yang terletak tak jauh dari dusun. Namun mata airnya hanya mampu memenuhi kebutuhan sebagian ekcil warga. Sisanya terpaksa menggali tanah membuat sumur agar dapat minum air yang bersih.

Beruntung Jetak memiliki Cihirup. Sesuai namanya, air Cihirup mengalir sepanjang tahun. Alirannya juga termasuk besar mengingat kini alirannya telah dinikmati ole empat desa di sekitar Kelurahan Sindangwangi, yaitu Bangbayang, Jipang dan Bantarkawung. Jetak sendiri karena dianggap sebagai pemilik tempat dapat menikmati sumber air ini secara gratis. Berbeda dengan Bangbayang, Jipang dan Bantarkawung yang harus menebusnya dengan uang.

Cihirup sendiri terletak di sebuah ngarai yang memiliki banyak pohon. Wajar saja jika ia mampu mengalir sepanjang tahun karena memang daerah sekitarnya berfungsi sebagai penahan air yang baik. Kualitas airnyapun sangat baik, hal ini dibuktikan oleh seorang pegawai dinas setempat yang langsung meminum airnya tanopa dimasak setelah dilakukan beberapa tes.

Belajar dari Cara Leluhur

Jika konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Maka sudah wajib hukumnya bagi kita mempelajari metode sederhana dari leluhur. Sisakan pohon besar, niscaya air tetap mengalir.

Jetak sebagai desa tanpa ”hulu dayeuh” berupa pohon terbukti mengalami nasib yang tidak mengenakkan terkait air minum. Beruntung Cihirup yang sekitarnya juga ditumbuhi pohon-pohon lebat dekat lokasinya sehingga Jetak dapat menikmati air minum bersih dan gratis.Tanpa pohon disekitarnya, mustahil Cihirup akan mengalirkan airnya sepanjang tahun dengan debit yang banyak.

Cipantun yang dahulu memiliki mata air, memiliki sekitar dua pohon tua yang menaunginya. Saat kemarau airnya akan sangat sedikit bahkan tak jarang tinggal rawa belaka. Karena tidak didayagunakan dengan optimal, Cipantun di masa penghujan memang debitnya banyak namun airnya keruh.

Kasus diatas kiranya cukup untuk kita agar melakukan hal sama meski dengan cara berbeda. Kita wajib memelihara pohon demi kesinambungan pasokan air bagi kita. Namun tak perlu kiranya kita mengeramatkan pohon tersebut. Apalagi saat ini kondisi cuaca tidak menentu yang mengakibatkan pasokan air untuk diolah tanah dan pohon juga mengalami fluktuasi yang susah diprediksi. Hanya pohon dan tanahlah satu-satunya harapan agar air bisa tetap langgeng. Tentu saja tak perlu penjelasan kenapa pohon mampu melakukannya bukan?

Kini, hanya kemauan kita saja untuk menanam pohon sesegera mungkin dan memelihara yang sudah ada yang mampu menyelamatkan kita dari kekeringan abadi.


Seharusnya Kita, Bukan Mereka!


Jika ada sebuah kemalangan menimpa kita, apakah yang pertama yang kita butuhkan? Teman dan sahabat adalah jawabannya. Demikian juga dengan mereka yang kurang beruntung karena AIDS. Seharusnya kitalah yang lebih dahulu mengetuk pintu rumah mereka sebelum mereka datang meminta kita membuka jendela rumah kita untuk memperhatikan mereka. Dan remaja memiliki peran kunci dalam situasi ini.

Sebagai remaja yang lebih cair dalam pergaulan, maka inilah masa paling emas sekaligus rentan. Emas karena kecairan sikap mereka dalam menghadapi hidup mampu menyerap semua pengalaman tanpa batas. Rentan karena kecairan sikap terkadang sukar menyeleksi pengalaman. Namun terkait penderita HIV/AIDS, cairnya sikap remaja adalah senjata ampuh meruntuhkan sikap menyesali diri pada para ODHA – jujur berat mengatakan mereka yang menderita dengan kata ini karena terkesan mengekslusifkan mereka.

Dalam mengelola hubungan antara ODHA dan remaja harus ada kepedulian. Sikap terbuka, menerima sekaligus berhenti mengungkit apa yang diderita sangat penting dilakukan. Kunci utamanya adalah berhenti menyuruh penderita HIV/AIDS mencari informasi, membuka diri dan mau bergaul dengan masyarakat. Ubahlah agar diri kita yang mau berbagi informasi, mau menerima mereka, dan tak membedakan dalam pergaulan. Remaja, karena dalam bergaul lebih ikhlas, maka sangat mungkin lebih mampu memerankan.

Sering sekali dalam berbagai kesempatan kita menuntut mereka yang terkena HIV/AIDS berhenti menyesali diri. Namun dalam kesempatan yang sama kita seakan enggan menerima mereka. Kita dengan semangat menyuruh ODHA mencari informasi yang konstruktif, namun kita yang seharusnya memberi malah belum siap memberi. Semoga kesalahan ini tidak dilakukan oleh kaum remaja.

Karena sikap remaja yang cair mereka mampu dan mau bergaul dengan ODHA. Semoga ke depannya remaja dan kita pada umumnya berhenti mengharapkan mereka yang memulai hubungan. Namun kita semua yang berinisiatif. Kitalah pemberi informasi bukan mereka yang harus mengais sendiri. Kitalah yang memperlihatkan bahwa dunia itu indah, bukan mereka yang dengan segenap kekuatan mencoba menikmati.

Bukti Tweet

Bukti Follow
Hal ini berlaku juga saat kita mencari informasi. Berhentilah minta ada yang membuat seminar agar kita mengerti apa itu sesuatu. Sejak dini, apalagi remaja kini kian mudah mengakses media, carilah informasi sebanyak mungkin. Karena dengan banyaknya info, maka proses menyaring pengetahuan kian lebih mudah.

Sebagai info, data dari www.aidsindonesia.or.id bisa kita jadikan acuan kenapa remaja bisa memainkan peran penting dalam pencegahan sekaligus pendekatan pada penderita HIV/AIDS. Berdasarkan laporan Kementrian Kesehatan Triwulan Kedua 2011 terlihat bahwa kelompok umur 20-29 tahun memiliki presentase tertinggi. Melihat data tersebut, remaja akan lebih mudah menjalin komunikasi karena kesamaan usia, meskipun berbeda namun perbedaannya sangatlah tipis.

Kesamaan umur inilah yang diharapkan akan lebih mudah memahami ODHA sekaligus mencegah penyebaran AIDS. Dengan kemampuan remaja masa kini yang supel dan rileks, maka penderita AIDS akan lebih mudah diterima sekaligus menerima. Karena pergaulan mereka dengan ODHA intens dan positif, maka otomatis remaja akan lebih mudah berbagi informasi. Maka penyebaranpun bisa kian diredam.

Sekali lagi, kuncinya adalah lebih banyak kita yang memberi sehingga mereka dan kita bisa lebih baik. ODHA tidak sendiri, sebab kita peduli.

Bekasi - Jawa Barat

Stop Menjual Ketakutan!



Setiap kali kita akan mengingatkan seseorang akan dampak buruk sesuatu, maka yang pertama dilakukan adalah membuat takut, bukan membuat paham. Saat seseorang berusaha mencari tahu, sederet peringatan bernada ancaman datang. Ketakutan menjadi semacam obat ampuh dalam meredakan gejolak akan keingintahuan.

AIDS adalah salah satu yang menjadi momok karena lebih banyak ketakutan yang dijual demi mencegah penyebarannya. Meski dampaknya memang menakutkan, namun sejatinya sebagaimana penyakit pada umumnya, pencegahannya relatif mudah.

Akibat dari terlalu banyaknya bumbu takut dalam AIDS maka tak heran jika mereka yang kurang beruntung telah terkena menjadi sasaran. Maka jangan harap mereka – yang dengan secara jelas kita telah memarjinalkan dengan menyebutnya ODHA – susah sekali diterima oleh masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah.

Stigma bahwa AIDS adalah penyakit karma harus dipupus. Kita yang lebih beruntung harus lebih bijak mengatakan apa saja yang bisa membuat kita terkena virus HIV. Selama ini hanya pemindahan cairan melalui hubungan seks saja yang digaungkan. Sehingga ketika ada seseorang yang terkena, maka dengan otomatis disematkan kata kualat.

Bukti Tweet

Bukti Follow
Padahal virus ini sejatinya memiliki media penularan yang relatif tertutup. Kita semua tahu bahwa HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Jadi sangat berlebihan jika kita kemudian memperlakukan ODHA seperti penderita kusta di masa lalu.

Secara tidak sadar kita telah terlalu menganggap ODHA begitu ”spesial”. Sayangnya perhatian berlebih kita justru secara tidak langsung menjauhkan mereka dari masyarakat pada umumnya. Terutama karena kita masih lebih banyak menjual ketakutan saat memberikan penyuluhan tentang AIDS. Misalnya saja dengan selalu memfokuskan pada pekerja seks komersial (PSK), kaum homoseksual dan pemakain narkoba. Dengan demikian, secara tidak langsung ketika seseorang terkena HIV/AIDS maka hal pertama yang terlintas adalah akibat ”jajan” atau kualat.

Mari berhentilah memfokuskan bahwa HIV/AIDS hanya disebabkan oleh aktivitas seksual dan napza. Berhenti pula mempertontonkan ODHA saat ada penyuluhan. Sebisa mungkin rahasiakanlah peserta seminar tentang AIDS. Jangan  juga setiap ada pemeriksaan kesehatan PSK dan razia narkoba maka selalu diasosiasikan dengan HIV/AIDS. Tak bijak juga rasanya jika penyebaran melalui media nonaktivitas seksual diabaikan. Karena justru hal tersebut makin membuat penyebaran HIV/AIDS kian susah dideteksi.


Yang paling penting digalakkan sekarang ini justru adalah bagaimana gaya hidup sehat sebagai acuan hidup masyarakat. Karena dengan gaya hidup sehatlah, semua penyakit bisa dihindari bahkan disembuhkan. Pada dasarnya sehebat apapun serangan kuman dari luar, akibat yang ditimbulkannya tergantung seberapa kuat daya tahan tubuh kita.

Dengan fokus memperingatkan masyarakat tentang HIV/AIDS dari sisi gaya hidup sehat, maka pandangan masyarakatpun seharusnya ikut berubah. Penderita HIV/AIDS bukan lagi mereka yang terkena karma karena hidup yang penuh hura-hura saja. Tetapi siapapun mereka yang memperlakukan diri dengan tidak sehat. Sudah saatnya kita menanamkan bahwa siapapun yang tidak bergaya hidup sehat bisa terkena penyakit ini. Sebab virus ini bisa masuk melalui berbagai media yang tercemar.

Karena gaya hidup sehat yang ditonjolkan maka ODHA-pun tidak lagi perlu perlakuan ekstrim dari kita. Mereka yang terlampau disorot oleh kita pada akhirnya akan kembali hidup normal. Sebab dengan memandang mereka sebagai korban gaya hidup yang tidak sehat, mereka akan lebih mudak diterima kaum awam. Sehingga dalam benak masyarakat mereka adalah manusia biasa, bukan manusia kualat.

Mereka dekat dengan kita, sebab mereka adalah sahabat! 

Bekasi - Jawa Barat

Petahunan dan Legendanya

Tak usah memasukkan Petahunan ke sebuah lembaga untuk dirating guna menilai keindahan alamnya. Tak butuh voting, SMS apalagi kampanye untuk meyakinkan bahwa Tuhan menciptakan Petahunan dengan penuh rasa seni. Cukup warga Gehol dan sekitarnya yang tahu. Sebab semakin banyak yang tahu, semakin besar kerusakan yang bisa timbul.

Petahunan dilihat dari hilir
 
Petahunan yang seakan menjadi pijakan bagi Gunung Geulis adalah tempat yang eksotis sekaligus mistis. Airnya yang tenang seolah menyembunyikan kekuatan magis yang tersembunyi. Maklumlah, Patahunan adalah tempat yang memiliki banyak legenda mulai dari Bulus Raksasa, Mungkal Putri, hingga Leuwi Liang. Belum lagi dengan adanya Mayangga dan Gulung-gulung Samak.

Bulus Raksasa alias Kura-kura Raksasa adalah penjaga kelestarian hewan-hewan air yang ada di Petahunan. Percaya atau tidak, setiap warga meracun air Petahunan, ikan-ikan di Petahunan seolah menghilang entah kemana. Anehnya, saat air kembali normal maka ikan-ikan Petahunan akan dengan jelasnya terlihat.

Konon Bulus Raksasa memiliki tempat bersembunyi yang dinamakan Leuwi Liang. Saat manusia serakan menaburkan racun, dengan sigap ia akan menggiring ikan-ikan pergi ke Leuwi Liang. Hebatnya, Sang Bulus akan menutup pintu gua tersebut sehingga air beracun tidak dapat masuk.

Leuwi Liang sendiri – sebagaimana banyak penyelam berkisah – memiliki pintu yang cukup besar untuk dimasuki manusia. Namun jangan sekali-kali memasuki Leuwi Liang. Sebagimana namanya, gua ini adalah jalan menuju ke alam gaib yang secara kasat mata hanya berupa karang. Telah dikisahkan turun temurun bahwa Leuwi Liang merupakan jalan pintas menuju Hutan Maribaya. Hutan ini berdasarkan cerita rakyat di Gehol adalah sebuah desa yang hingga kini eksis, namun desa tersebut tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Manusia yang tidak memiliki belahan pemisah bibir, menurut legenda, merupakan penghuni Maribaya. Mereka secara berkala berkeliaran untuk berbelanja di Bumiayu.

Jangan lupakan Mungkal Putri, yang dipercaya masyarakat Gehol sebagai tempat bertapa penghuni Petahunan dan Gunung Geulis. Mungkal – dalam bahasa Indonesia berarti batu – ini berada beberapa meter di hilir Petahunan. Bentuknya yang seperti tempat bertapa dan memiliki permukaan halus sangat enak untuk diduduki. Disinilah dalam waktu-waktu tertentu, sering muncul perempuan cantik yang entah berasal dari mana.

Terlepas dari legenda yang mengiringinya,. secara geografis Petahunan memang menarik. Ia berada tepat diantara dua bukit yang menjulang. Ada Gunung Geulis yang menjulang bak tumpeng di sisi kiri Petahunan. Sedangkan di sisi kanan terdapat sebuah bukit yang sering dijadikan tempat cangkarama atau makan-makan pengunjung Petahunan. Bukit itu sendiri dinamakan Bukit Gajah Sunda.

Petahunan merupakan tempat menampung air Cigunung yang memiliki mata air di Salem – sebuah kecamatan yang berada paling barat di kabupaten Brebes. Petahunan adalah harapan bagi kaum petani Gehol di masa kemarau, sekaligus benteng terakhir dari membludaknya air Cigunung di masa penghujan. Meski saat kemarau, Petahunan tetap berbahaya apalagi bagi yang kurang pandai berenang. Entah sudah berapa korban meninggal tenggelam di Petahunan.

Belum lagi melihat bagaimana aliran air di hulu Petahunan. Alirannya yang deras sangat nikmat untuk dijadikan ajang berarung jeram. Jeram dan alirannya masih murni karena belum disentuh oleh warga Gehol. Bahkan pengunjung yang datangpun belum banyak yang berani melihat-lihat di hulu Petahunan. Selain aura angkernya yang nyata, kesunyian adalah alunan alam setia di sana.

Jangan lewatkan melihat petahunan di malam hari. Pesonanya sungguh luar biasa indah. Sebab Petahunan digunakan hewan-hewan nokturnal mencari mangsa. Saat malam, hewan-hewan yang turun untuk mencari mangsa di Petahunan akan terlihat jelas. Salah satunya Sero atau Berang Berang – sejenis Musang – yang memiliki mata bersinar di kegelapan. Rombongan mereka akan terlihat jelas menghiasi Gunung Geulis maupun Gajah Sunda. Cahaya yang merupakan pantulan mata mereka akan berlarian sepanjang malam, membuat malam di Petahunan takkan membosankan.

Dengan alamnya yang masih asli, Petahunan memang menawarkan pengalaman yang mengesankan. Jika Anda berani, berarungjeramlah dari hulunya, berenanglah di Petahunan dan bermalamlah menikmati lumpatan-lompatan cahaya yang berasal dari mata hewan-hewan nokturnal.  


Yang Gaib dari Gehol


Lain ladang lain belalang, lain tempat lain juga hantunya. Begitulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa hantu dan makhluk gaib sangat erat dengan kehidupan manusia. Dimanapun mereka hidup, makhluk halus dan mitosnya selalu ada seiring berkembangnya peradaban.

Geholpun demikian, ada sederet makhluk gaib penghuni daerah-daerah yang dianggap angker. Ada juga beberapa nama gaib yang wajib ditakuti anak-anak demi keselamatan mereka. Adapun tempat-tempat seram yang biasa didiami oleh makhluk gaib Gehol antara lain sungai, hutan, kebun dan sawah. Sedangkan waktu yang paling sering dijadikan ajang unjuk gigi kaum gaib ini adalah tengah hari, menjelang maghrib, tengah malam dan menjelang subuh.

Berikut adalah beberapa nama makhluk gaib yang hingga kini dipercaya menjaga tempat-tempat keramat di Gehol.

Ilustrasi Mayangga


  1. Mayangga
Ini adalah monster sungai yang mendiami ceruk-ceruk yang dalam dan bersembunyi di bawah bebatuan. Monster ini akan memangsa korbannya dengan cara menarik tubuh sekaligus melilitnya hingga lemas. Korban kemudian akan disedot seluruh darah dan otaknya melalui ubun-ubun.

Bentuk mayangga sendiri tidak ada yang tahu pasti. Namun pada saat mengambang, makhluk gaib ini akan terlihat seperti kepala yang memiliki rambut yang sangat panjang dan berantakan. Jika disamakan dengan berbagai monster di dunia perairan, Kraken atau cumi-cumi raksasa mungkin paling pas.

Korban yang disedot Mayangga biasanya akan lama dipendam dalam air dan saat ditemukan ada lubang di ubun-ubun atau jidatnya.

  1. Gulung-gulung samak
Seperti Mayangga, Gulung-gulung Samak mendiami tempat dalam dari sungai. Biasanya makhluk ini mendiami bagian dalam sungai yang tenang dan tanpa ada batu-batu besar. Dinamakan Gulung-gulung Samak karena ia akan menggulung korbannya sebagaimana samak (karpet) menggulung manusia.

Korban Gulung-gulung Samak akan merasakan tempat ia berpijak sangat licin sehingga ia akan tergelincir. Saat tubuh korban tergelincir dan tenggelam, Gulung-gulung Samak kemudian akan menggulungnya hingga mati lemas. Tidak itu saja, makhluk ini juga akan menyerap energi korbannya dengan menghisap seluruh cairan dalam tubuh korban melalui ubun-ubun atau kepala.

Tubuh korban makhluk ini akan bertahan di air selama cairan dalam tubuh korban ada. Jika cairan sudah tidak ada, maka tubuh korban baru akan muncul ke permukaan. Meski tubuhnya tenggelam lama, namun tubuh korban justru akan menciut dan busuk. Di dunia permonsteran, entahlah makhluk apa yang sejenis dengan Gulung-gulung Samak asal Gehol ini. 
 
Dalam mitos Sunda sendiri, ternyata Gulung-gulung Samak disebut juga Leled Samak.

  1. Kelong
Kelong adalah nama setan yang bertuga khusus menculik anak-anak yang bermain di malam hari. Anak yang menjadi target adalam mereka yang bermain terpisah dari teman-temannya. Adapun umur korban biasanya paling tua berumur 12 tahun.

Jika dua makhluk di atas akan membunuh korbannya, Kelong tidaklah demikian. Korban Kelong akan dijadikan budaknya. Jika lebih dari semalam korban tidak ditemukan, maka jelas sudah bahwa Gehol akan kehilangan salah satu penerusnya tanpa jejak. Namun kebanyakan korban Kelong berhasil ditemukan di pepohonan tinggi.

Seorang anak yang menjadi korban Kelong akan mengalami lupa ingatan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Tergantung seberapa cepat ia ditolong dan disadarkan. Ada yang dalam beberapa menit lupa ingatan, namun ada juga yang sampai beberapa hari seperti orang linglung.

Kelong mungkin setipe dengan Wewe Gombel, namun sayangnya tidak ada yang dapat memberi keterangan apakah Kelong juga berubah wujud menjadi perempuan cantik saat ia menculik anak-anak sebagaimana yang dilakukan Wewe Gombel. Yang jelas cara mengusir Kelong sama persis denga Wewe Gombel yaitu mengusirnya dengan membunyikan berbagai benda.

  1. Sandekala Mawa Dadung

Makhluk yang satu ini khusus datang saat hari menjelang Maghrib. Sandekala sendiri kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti menjelang akhir. Sedangkan mawa dadung merupakan bahasa Sunda yang berarti membawa tali.

Makhluk yang satu ini akan menjerat anak-anak yang masih berkeliaran di waktu orang-orang wajib menjalankan ibadah sholat Maghrib. Namun tidak ada deskripsi apapun mengenai mahkluk ini apakah berbentuk manusia, hewan atau kombinasi keduanya. Yang jelas Sandekala Mawa Dadung siap menjerat korbannya untuk kemudian menghilang dari peredaran.

Tidak ada penjelasan juga apakah korbannya akan meninggal atau dijadikan budak seperti Kelong. Dalam dunia gaib entah makhluk apa yang bisa dijadikan representatif dari makhluk satu ini.

Yang patut ditarik kesimpulan dari keberadaan mereka adalah pelajaran apa yang hendak diberikan leluhur melalui penyebutan dan pengisahan makhluk-makhluk gaib di atas. Semoga kita bisa menjawabnya.