Setahun lebih kepada desa Sindangwangi menduduki jabatannya. Banyak sudah yang ia perbuat, meski tentu saja masih banyak yang harus ditingkatkan. Lalu, seberapa efektif pembangunan di kampung Gehol tersebut setelah dana desa bergulir?
Menikmati Gehol sekarang tentu kau takkan lepas dari kemajuan jaman. Di mana kendaraan roda dua dan roda empat sudah tak asing lagi melewati jalanan kampung. Jika dahulua ada segerombolan anak-anak kecil mengikuti mobil bak demi berpegangan sebentar dan menikmati laju mobil, saat ini hal tersebut sudah sangat sulit ditemukan. Anak-anak kecil di Gehol punya aktivitas sendiri-sendiri yang segudang, sekolah, mengaji, maen gadget, dan voli.
Infrastruktur desa juga lumayan baik, meski saya tak habis pikir kenapa jalanan di kecamatanku kurang greget dibandingkan dengan jalanan kecamatan Bumiayu dan Salem. Kini, warga desa juga dikenalkan dengan sistem pengairan semi kapitalis. Berkat bantuan dari pemerintah daerah, pejabat desa kemudian membentuk perusahaan air minum yang bagi siapa saja peminatnya harus mendaftar dengan jumlah tertentu dan membayar iuran setiap bulannya.
Jalanan juga perlahan-lahan mulai dibangun di dukuh-dukuh yang membutuhkan. Bahkan, tersiar kabar bahwa desaku akan dilalui jalan tengah Kabupaten Brebes guna mengurai kemacetan saban tahun. Konon jalanan itu akan menjadi alternatif dari jalan yang sudah ada sekarang ini. Nantinya, para pemudik dari Brebes menuju Bumiayu akan diberi pilihan, tetap memakai jalur tradisional atau menelusuri indahnya pemandangan jalan baru.
Lalu, dimanakah dana desa yang kata pemerintahan Jokowi sudah disebar ke desa-desa guna dimanfaatkan membangun dan mensejahterakan desa? Kabarnya, dana desa di kampungku hanya ada tiga orang yang tahu dan Tuhan. Jika tiga orang ini punya istri, kemungkinan para istri-istri mereka juga tahu. Dan jika ketiga istrinya punya karib tempat berbagi segala hal, maka bisa bertambah pula mereka yang mengetahui dana desa di desaku. Daftarnya akan kian panjang, namun hingga kini jumlah dana desa di kampungku masih misteri bagi kebanyakan orang.
Sayangnya, para pamong praja pengurus desa cuma bisa menduga-duga berapa besarnya. Begitupun dengan orang-orang yang tergabung dalam aneka lembaga desa. Mereka cuma bisa menduga-duga berapa besarnya dana desa yang ada dalam kas desa. Setali tiga uang dengan para pejabat kelurahan dan lembaga desa, rakyatpun tak ada yang tahu. Jika jumlahnya saja tidak tahu, lalu bagaimana dengan penggunaannya?
Sejatinya, undang-undang memang mengatur kepala desa untuk melaporkan keuangannya kepada kepala daerah dan rakyatnya. Sayangnya, jikapun ia tak melaporkannya, yang bisa memberi sanksi hanyalah kepala daerah saja. Sementara rakyat, tidak bisa menuntut banyak selain menggerutu dalam hati. Atau jika punya nyali maka akan menggeruduk desa beramai-ramai. Sayang seribu sayang, warga sudah terlalu sibuk memikirkan kesulitan akibat ulah pemerintah daripada memikirkan dana desa.
Mekanisme yang lebih beradab menurut undang-undang adalah dengan mengadakan musyawarah desa. Ini akan terjadi jika BPD menginisiasinya dengan membentuk panitia dan mengundang seluruh stake holder yang ada di desa. Untuk yang satu ini, sepertinya takkan pernah terjadi sebab para anggota BPD yang seharusnya bernyali justru tak bisa berbuat apa-apa.
Lalu, kenapa undang-undang desa tidak berkutik ketika menghadapi kepala desa yang masih bergaya feodal? Ya karena masyarakat desa merupakan entitas yang masih lekat dengan budaya tersebut. Sekali seseorang sudah memegang jabatan, tak peduli seberapa pandirnya ia, selamanya rakyat takut padanya. Meski tentu saja, di belakang menertawai hingga susah bernapas.
Lalu, bagaimana cara masyarakat mengetahui berapa besaran dana desa yang mengucur? Mungkin perlu pendekatan lebih kepada para istri pejabata yang berwenang. Konon, di negeri ini jika ada seorang lelaki menduduki jabatan tinggi sejatinya istrinyalah yang mengendalikan semua hal.