Tidurnya Birokrat Kami

Ruas Bumiayu-Salem
Pulang kampung selalu menyenangkan, bahkan sekesal apapun yang ditemui di perjalanan. Bertemu keluarga dan tanah kelahiran mampu menyurutkan tensi yang selama ini berkumpul di hati. Demi berkumpul dengan keluarga, macet seharian dan menyusuri jalanan kumuh tak pernah jadi halangan.

Jalan berlubang dan berlumpur ternyata masih eksis di tahun 2013 ini. Setidaknya di daerah kami di Brebes sana. Beruntung bagiku, melewati jalur yang bisa membuat pinggang keseleo tersebut tidak setiap hari. Namun sungguh menghibakan bagi mereka yang harus melaluinya karena tak ada pilihan.

Kerajaan Gehol Bulpusan X

Pertarunganpun tak bisa dihindari. Ratu Balakasura dengan kalap menyerang Gusti Hening dan Pantun tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk turun dari kuda dan bicara. Ia langsung menyerang dengan segenap kekuatan. Binasalah yang ia harapkan kepada dua orang yang dianggap musuhnya tersebut.

Demi mendapat serangan membabi-buta seperti itu, Gusti Hening dan Pantun tak mau main-main. Mereka langsung juga mengeluarkan kekuatan tanpa tedeng aling-aling. Maka bukit tempat mereka bertarung pun penuh getaran-getaran dan suara menakutkan. Mereka yang melihat pertarungan ini sejatinya hanya melihat bayangan yang berkelebat kesana-kemari.

Sun Geyo yang baru tiba pun demikian. Matanya terasa pusing mengikuti kemana arah bayangan yang tak benti bergerak. Masing-masing bayangan mengeluarkan sinar yang menyilaukan. Sinar-sinar berkekuatan tinggi tersebut membuat banyak pohon kecil roboh dan tanah amblas. Sun Geyo juga kebingungan menentukian yang mana bayangan junjungannya dan mana bayangan Ratu Balakasura.

Di tengah pertarungan yang entah kapan berhenti tersebut, tiba-tiba gelegar guntur membahana. Hujan deras laksana badai mengguyur Gehol yang selama ini meranggas. Derasnya hujan dan ledakan guntur tidak menyurutkan pertarungan ketiga orang berilmu sakti tersebut. Masing-masing tetap berusaha menjatuhkan lawannya.

Pantun alias Gajah Putra Sunda telah mengeluarkan ilmu Karang demi menahan serangan berbahaya Balakasura. Gusti Hening memacu serangannya dengan dilapisi ajian Karang Kemukten, jika orang biasa siapapun yang terkena ajian ini akan hancur berantakan laksana batu kapur dihantam karang.

Balakasura tentu saja tidak tinggal diam, ia telah mengeluarkan ilmu Sagara Geni yang membuat api berkobar dimana-mana. Api abadi yang tidak padam meski hujan mengguyur. Jangankan tubuh manusia, bahkan batu pun meleleh dibuatnya. 

Ketiganya terus bertarung hingga di suatu saat sebuah pukulan Gidam Alugora milik Pantun dilayangkan sekuat tenaga dan mengenai tubuh Balakasura. Kontan saja, tubuh nenek sakti tersebut melayang disertai lengking kesakitan yang dahsyat. Gusti Hening kemudian mengeluarkan ajian Karang Kemukten dengan kekuatan tenaga dalam penuh, hantamannya mengenai dada Balakasura yang membuat nenek ini megap-megap meregang nyawa.

"Tiji tibeh, aku tak sudi mati sendiri. Kalian harus ikut menemaniku menghadap para dewa," ujar Balakasura sambil memegangi dadanya yang sesak. Darah hitam kental mengucur dari sisi bibirnya yang hitam.

"Sagara Geni!" ujar Balakasura sambil melompat ke arah Pantun dan Gusti Hening. Tangannya yang mengeluarkan api mahapanas kemudian menyasar kedua musuhnya. 

Entah ilmu apa yang dipakai Balakasura tiba-tiba kedua tangannya yang berapi memanjang dan membesar. Kontan saja Gusti Hening dan Pantun kelabakan. Karena tak bisa menghindar keduanya sepakat mengeluarkan ajian pamungkas dengan tenaga penghabisan. 

"Karang Kemukten," teriak Gusti Hening sambil menabrakkan diri ke arah tangan Balakasura yang membesar dan berapi mahapanas.

"Palu Alugoraa," lengking Pantun seraya melakukan hal yang sama dengan Gusti Hening.

Sedetik kemudian, terdengar ledakkan yang memekakkan telinga bagi siapapun yeng mendengarnya. Ledakan beradunya kekuatan tersebut membuat tempat pertarungan berubah menjadi lubang cekung sangat besar. Sementara itu, tubuh Balakasura menclat ke arah Ci Hirup meninggalkan jalur yang dalam sehingga membuat Ci Gunung jalurnya membesar. Tubuhnya berhenti di sebuah karang yang tadinya berada di sisi sungai namun karena ledakan dan sapuan tubunya kini berada di tengah sungai. Tubuh tersebut terhenyak sembari kehilangan nyawa kemudian meledak meninggalkan sebuah lubang yang sangat dalam.

Gusti Hening juga demikian, tubuhnya menclat ke arah Timur dan meledak membuat tebing di sisi itu roboh beserta pepohonan yang tumbuh di atasnya. Akibat ledakan tersebut, bukit yang tadinya menjulang kemudian jadi landai.

Pantun yang mengeluarkan ilmu sambil menabrakkan diri ke arah Balakasura pun demikian. Tubuhnya melayang jauh ke arah utara dan membentuk lubang besar di bawah sebuah pohon kiara yang teramat besar. Anehnya, lubang tersebut mjengeluarkan air yang sangat deras dengan warna bening nan harum.

Hingga kini, bekas pertarungan ketiganya tetap ada. Bukit tempat Gusti Hening meledak dinamakan Sagara Hening. Mata air tempat Pantun jatuh dan mengeluarkan air bening dan harum dinamakan Ci Pantun. Sedangkan jalur besar Ci Gunung yang dibuat Balakasura dinamakan Petahunan. Di tempat inilah, Balakasura setahun sekali meminta korban. Demi menghindarinya, par apenduduk kemudian melakukan upacara menolak balakasura, yang lama kelamaan dinamakan jadi tolak bala.

Sementara itu Gehol kembali normal. Pembentukan lewi diteruskan dan hingga kini masih ada dan dinamakan Ci Lewi. Sun Geyo sendiri kemudian menjadi penguasa Gehol sebab para petingginya telah punah. Lalu negeri itu dinamakan Negeri Ngeyo untuk mengabadikan jasa Sun Geyo.

(tamat)

Kerajaan Gehol Bulpusan IX

Dua kuda melesat bak kilat membelah sekaligus mencerai-beraikan kerumunan Gehol Manunggal yang sibuk berdebat. Keduanya menuju kea rah Ci Hirup, mereka adalah Gusti Hening dan Gajah Putra Sunda. Mereka hendak melumpuhkan teluh yang memenuhi hawa Gehol dengan menghancurkan sumbernya langsung.

Para pemuda yang berkerumung menunggangi kuda-kuda supercepar tersebut, serentak mereka diam dan berlari mengikuti. Sebuah peri semula marah dan heran melihat kedua kuda yang nyaris menabrak mereka. Namun demi melihat siapa yanstiwa besar dipastikan akan terjadi dan memengaruhi anak-cucu mereka berabad-abad kemudian.

Sementara itu, keriuhan juga terjadi di kali Cigunung. Sun Geyo yang susah payah menenangkan par apekerja akhirnya tak dapat membendung kegelisahan dan rasa takut para pekerjanya. Rasa ingin tahu mereka kian menjadi setelah ada salah seorang anak muda yang membocorkan kejadian di istana. Tanpa dapat dicegah, desas-desus akan adanya perang tanding membuat para pekerja bergegas menuju tempat sumber teluh bersarang.

Sun Geyo yang penasaran akhirnya mendapat kejelasan perihal raja dan pertolongan yang ditunggu-tunggu dari Negeri Sagara.

“Kemana mereke pergi?” tanya Sun Geyo pada pesiar kabar.

“Sudah pasti menuju sarang teluh Ki Ulu-ulu,” jawab pesiar kabar sambil segera menyusul para pekerja yang telah berduyun-duyun menuju ke hulu di mana Ci Hirup berada.

“Aku harus ke sana,” batin ulu-ulu tersebut. Kabar Gusti Hening dan Gajah yang hendak menuntaskan tukang teluh telah menyihirnya. Ia dengan kesadaran penuh meninggalkan pekerjaan membuat lewi. Segera ia menaiki kuda dan langsung menyerbu tanpa sedikitpun berniat menoleh ke belakang.

Hampir semua penduduk Gehol yang sanggup berjalan kaki atau menunggang kuda menuju ke Ci Hirup. Menyaksikan kemusnahan tukang teluh yang telah menyengsarakan mereka tentu saja akan menyenangkan. Bukankah mereka juga sudah berniat demikian dari dulu. Hanya saja, semua terhalang oleh tiadanya nyali dalam dada.
***
Ratu Balakasura tertawa dengan girang mengetahui hampir semua rakyat Gehol dan pemimpinnya menuju ke rumahnya. Itu berarti, ia akan dengan senang hati membantai mereka yang melawan dan menjadikan budak bagi siapa saja yang menyerah. Dalam segejap saja, ia sudah berada di lapangan luas yang sekaligus menjadi halaman rumahnya. Dengan congkak, ia berdiri dengan tongkat pusaka di tangan.

“Aku akan bermandi darah wahai para dewa. Darah kaum bodoh yang menyerahkan nyawa mereka ke kediamanku ini,” teriaknya lantang yang segera ditingkahi suara guruh bikinannya.

Dari kejauhan dua titik hitam denga cepat kian membesar menuju tempat ia berdiri. Ya, dua petinggi Kerajaan Gehol dan Negara Sagara sedang berpacu untuk memusnahkan Ratu Balakasura. Tidak lama kemudian, keduanya kini telah berhenti dengan jarak pandang yang cukup, tepat di depan Ratu Balakasura.
“Kami akan memusnahkan dirimu wahai tukang teluh,” ujar Gajah lantang.

“Wahai Balakasura, kerajaan tidak bermusuhan denganmu. Tidak juga rakyat kami mengganggumu, kenapa tindakanmu sampai sejauh ini?” tanya Gusti Hening dengan segenap ketenangan yang ia miliki.

“Hahahahahaha, aku tidak butuh alas an untuk melakukan apa yang aku suka. Dan Kau orang gagah, aku tidak akan membunuhmu jika kau mau jadi budakku,” ujar Balakasura menjawab pertanyaan Gusti Hening sembari menunjuk Gajah.

Demi mendengar hal tersebut, Gajah tentu berang bukan kepalang. Hampir saja ia langsung menyerbu nenek tua dengan kemampuan sihir segudang tersebut. Namun niatnya dengan sekuat tenaga diurungkan demi mendapat isyarat sabar dari Gusti Hening.

Saat Gusti Hening, Gajah Putra Sunda dan Ratu Balakasura sedang beradu pendapat dari arah Gehol muncul ratusan anak manusia. Ada yang berjalan kaki, naik kuda, dan bahkan naik kereta angkutan hasil bumi. Tak lupa juga para prajurit Gehol dating beserta kelengkapan senjata mereka. Demi mendapat kabar bahwa raja mereka berangkat hendak menumpas musuh, dengan segera segenap pasukan mengikuti perjalanan sang raja.

(bersambung)

Kerajaan Gehol Bulpusan VIII



“Lepaskan aku Kakang Gajah, aku tetap setia kepada Gehol,” teriak Suyud Ana yang telah diikat oleh Gajah. “Aku mengaku bersalah dan bersumpah tak akan mengkhianati negaraku lagi,” tambahnya memelas.

Gajah tetap melajukan kuda Ki Patih yang dirampas bersama pemiliknya tanpa memedulikan ocehan tawanannya. Ia yang telah berhasil memukul mundur para begal dan dua pengawal Patih Suyud Ana kini akan membawa patih yang berniat curang tersebut untuk diadili.

Namun sepertinya niat tersebut harus ia tunda. Cuaca aneh yang menyelimuti Gehol membuatnya resah bukan kepalang. Bau kejahatan dan teluh seolah menyebar melalui udara. Teror yang membuat bulu kuduk berdiri tak urung membuat Pantun ekstrawaspada.

“Ilmu apa yang dipakai Ratu Balakasura?” batin Gajah sembari mempercepat langkah kudanga menuju istana.

Sementara itu, kaum muda yang menamakan diri Gehol Manunggal merasakan keresahan yang tak terkira. Jiwa-jiwa muda yang sedang menuju kematangan tersebut entah kenapa begitu mudah terpancing emosi. Kekacauan negeri dan cuaca yang membuat perasaan takut berkembang menjadi kegelisahan dan amarah. 

“Kembalikan ketenangan kami,” demikian pekik mereka setelah berkumpul di depan istana.

Entah siapa yang memulai dan menyuruh, kaum muda tersebut seolah tersengat tawon amarah. Mereka bergerombol menuju istana demi menyuarakan dan melampiaskan amarah. Kepastian yang mereka nanti pascapembangunan lewi dimulai kini menguap seiring kacaunya cuaca. Ketakutan menihilkan sabar dan semangat ikut membangun.

“Kalian harus tenang, salurkanlah amarah kalian jadi lewi,” demikian teriak Gusti Hening kepada kerumunan.
“Sampai kapan Gusti? Sampai kapan?” teriak kerumunan berbarengan disambut petir dan guruh yang memekakkan telinga.

“Minggir-minggir! Minggir kalian semua jika tak ingin terinjak kudaku!” sebuah suara datang diiringi derap kuda yang melaju bak panah.

Kerumunan para muda Gehol menyibak memberikan jalan. Gusti Hening yang semula waspada melihat penunggang kuda menerobos kerumunan kemudian tersenyum dengan gembira. Namun, melihat patihnya diikat demikian rupa tak urung sikap heran sekaligus waspadanya kembali memuncak.

“Kakang Gajah?” sapa Gusti Hening dengan gembira. “Kenapa Suyud Ana kau ikat?” tanyanya menyambung sapaannya.

“Masalah Ki Patih akan kuceritakan singkat saja Gusti. Ia bersekongkol dengan begal kawasan Babakan untuk merebut kekuasaanmu. Harapan dia adalah, kau, aku, dan Balakasura lampus dalam pertempuran. Dia dengan tenang akan menduduki dampar istana ini Gusti,” ujar Gajah menjelaskan.

“Benarkah demikian Suyud Ana?” tanya Gusti Hening dengan keheranan memuncak.

“Tentu saja itu bohong Gusti,” teriak Suyud Ana memelas.

“Gusti Hening, kita kesampingkan dulu masalah pengkhianatan Ki Patih ini. Ada teluh yang harus kita bereskan segera. Jika tidak, teluh jahat ini akan merasuki semua warga Gehol. Lihat kerumunan kaum muda tersebut. Aku menduga, sihir ini bertujuan membuat goro-goro di negeri ini.” ujar Gajah.

Sementara Gajah dan Gusti Hening berdiskusi, kaum muda yang berkerumun memenuhi benak mereka dengan sejuta pertanyaan. Mereka heran kenapa Patih Suyud diikat oleh orang yang dicari kerajaan untuk membantu mengatasi masalah. Tak urung, bisik-bisik adanya maker berkeliaran dalam benak mereka.

“Telah terjadi makar!” ujar seseorang di sudut kerumunan.

“Siapa yang makar, itulah yang susah diketahui,” timpal yang lain.

“Pantas saja cuaca kali ini begitu menyebalkan,” teriak yang lain.

“Jangan-jangan ini ulah perempuan sihir yang meracuni akal salah satu petinggi kerajaan,” sambut lainnya.

Keadaan menjadi kian riuh dengan sahut-menyahut pertanyaan. Setiap tanya dilontarkan, namun hanya perkiraan yang hadir ke permukaan. Tentu saja adu pendapat membuat suasana kian panas. Awalnya hanya terjadi perang kata. Namun segera berubah menjadi adu cela. Kian panas karena masing-masing bertahan dengan pendapatnya. Setiap pendapat dan orang didukung teman terdekat. Jika dibiarkan, kerumunan itu bisa saja berubah jadi ajang tawuran.

(bersambung)

Kerajaan Gehol Bulpusan VII



Awan gelap memayungi langit Gehol. Sudah beberapa hari kejadian ini tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hujan yang diharapkan turun ternyata tak juga menyambangi bumi. Namun demikian, awan hitam ini terus bergulung dan kian gelap. Terkadang petir ikut juga memeriahkan keadaan yang mencekam tersebut.

“Tak pernah ada yang seperti ini sebelumnya. Langit tak pernah seaneh ini, setidaknya selama aku berkuasa,” batin Gusti Hening.

Ia kembali menatap gumpalan awan hitam yang menyerupai lingkaran mahabesar di langit Gehol. Lingkaran yang berbentuk piringan raksasa tersebut menyisakan lubang di tengahnya. Ketebalan awan gelap tersebut entah setebal apa yang jelas bahkan sinar mentari sejak pagi seolah tak berkutik.