Gehol dan Buku Ramadhan

3:02:00 PM Unknown 0 Comments

Ramadhan datang maka yang paling senang adalah anak kecil, termasuk anak sekolah. Hanya saja, masih ada yang kerap merusak kesenangan tersebut, salah satunya Buku Kegiatan Ramadhan. Tentu saja, bagi saya pribadi buku ini teramat membebani.

Buku Kegiatan Ramadhan adalah catatan amal yang kelak disetorkan kepada guru agama masing-masing. Aneka kegiatan mulai dari taraweh, kultum, jumatan, dan ibadah lainnya selama Ramadhan ditulis dan ditandatangani pembicara, imam, dan petugas lainnya. Masih adakah jaman sekarang? Semoga tidak!

Kenapa membebani? Bagi siswa miskin seperti saya, menyambut Ramadhan adalah kesenangan luar biasa sebab dalam bulan tersebut, keluarga sekuat tenaga menyajikan makanan terlezat. Minimal di minggu-minggu pertama puasa. Bayangkan, belum juga ada jaminan bahwa puasa perta alias munggahan bakal dapat makanan enak, pos keuangan langsung tergerus oleh pembelian buku ini. Menyedihkan bukan?

Tapi namanya anak-anak, membawa buku ini setiap kali ke mesjid tentu saja bukanlah bebas. Toh namanya juga di kampung, yang mengisi ceramah tentu saja tetangga sendiri. Jadi, saat minta tanda tangan, ya ibarat minta tolong sama tetangga. Apalagi karena minimnya dana mesjid dan mushola, maka ceramah pun ya seniatnya yang mengisi saja. Jika sang kyai ada keperluan, maka jemaah dengan sukarela pulangh ke rumah masing-masing. 

Kemangkelan terhadap buku ini bagi saya pribadi terjadi saat-saat kulaih subuh. Waktu kultum yang dari namanya harusnya tujuh menit, melebar sesuka hati bahkan bisa jadi tujuh puluh menit. Mengganggu sekali, sebab alam liar anak-anak masih ingin bermain. Lucunya, kala subuh di bulan Ramadhan adalah waktu paling pas untuk jalan-jalan menyusuri jalanan aspal menuju kampung tetangga. Jalanan yang biasanya sepi ini, ramai sekali oleh anak-anak hingga remaja. 

Padahal, mau memandang apa di jalanan tanpa listrik pada pagi buta? Entahlah, Gehol memang penuh kejutan yang kadang anomali. Para remaja bisa dengan leluasa bertemu dengan kekasihnya di pagi buta tersebut. Tapi jangan salah, pacaran jaman dahulu adalah pacaran sangat sehat. Pria dan perempuan akan mebawa pasukan masing-masing, sehingga tidak ada namanya berduaan. Mereka ibarat pangeran dan putri, paling banter berjalan berdampingan dan kawan masing-masing membuntuti dari belakang.

Yang paling menyebalkan dari episode Ramadhan karena kehadiran Buku Kegiatan Ramadhan adalah, tidak diperiksa! Bayangkan berapa besar usaha yang dilakukan agar bisa memenuhi petunjuk sang guru melalui buku tersebut? Berdesakan meminta tanda tangan pada imam dan pengisi ceramah setiap malam dan pagi buta. Juga kembali berdesakan saat Jumatan. Tentu saja saat pembagian zakat fitrah pun melakukan hal yang sama. Tapi semua sia-sia belaka. Jangan lupa, semua ringkasan ceramah dibuat dengan sebaik yang bisa dilakukan.

Buku tersebut, berjalan dengan waktu dan bersamaan dengan berakhirnya Ramadhan hilang dari ingatan. Guru agama yang dengan sedikit mengancam agar semua siswa membeli, tak pernah lagi menyinggung buku yang bentuknya sudah tak karuan karena seringnya menghadapi udara lembab malam dan pagi. Belum karena ikut berdesakan layaknya sang pemilik.

Semoga Ramadhan Gehol tidak lagi dibebani buku yang sejatinya tidak diperlukan tersebut. Yang jelas, pagi setelah subuh anak-anak yang biasa berkeliaran di jalanan saat pagi buta kini hampir semuanya dewasa. Penerus tradisi jalan-jalan pascasubuh mungkin sudah punah. Motor sudah berkeliaran dan dimiliki hampir separuh warga Gehol, menjadikan kaki sukar dibawa berpeluh.

 


0 comments:

Dicari! Calon Kades Melek Socmed

11:17:00 AM Unknown 0 Comments

Kabar mengejutkan datang dari beberapa desa di Brebes terkait dengan agenda rutin mencari pemimpin desa. Tercatat ada beberapa desa yang minim peminat dengan alasan yang paling banyak adalah mahalnya biaya. Maklum, kini biaya pilkades dibebankan kepada mereka yang mencalonkan. Biayanyapun beragam, tergantung seberapa banyak warga yang punya hak pilih di desa terkait.

Biaya ini dirumuskan oleh panitia pilkades yang tentu saja berasal dari desa masing-masing. Panitia inilah yang merumuskan RAB alias Rancangan Anggaran Biaya. Masalahnya, panitia menganggarkan kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk sementara sumber pendapatannya hanya sedikit yang ditanggung APBD. Artinya, dana akan dibebankan kepada calon dan anggaran desa.

Disini masalahnya, jika calonnya sepuluh tentu akan kian ringan. Namun jika hanya satu calon yang mendaftar, maka bebannya tentu akan lebih berat. Masalah berikutnya adalah, biaya itu belum tentu sesuai dengan ekspektasi. Misalnya, ada 9.500, tentu saja biaya akan didasarkan pada jumlah hak pilih tersebut. Demi menjaga hal tidak diinginkan, panitia tentu akan menganggarkan beberapa persen untuk biaya tak terduga. 

Pertanyaannya? Berapa yang pasti akan ikut menggunakan hak pilih mereka? Pastikah mereka akan hadir semua? Sebab, kini kesejahteraan susah didapat di desa, maka bisa dipastikan lebih dari 30 persen pemilik hak suara ada di luar desa mereka dalam rangka merantau. Karena biaya pulang tak sedikit, maka dijamin tidak semua yang merantau mau pulang hanya untuk memilih calon kepala desa mereka.

Mahalnya biaya untuk menyelenggarakan pilkades tentu akan menangguk masalah di masa datang. Sebab hampir pasti, keluarnya modal akan dianggap investasi oleh sang calon. Apalagi, biaya kampanye mereka tentu juga harus diperhitungkan. Lalu, sebandingkah nilai puluhan juta hanya untuk menjadi kepala desa lima tahun? 

Demi meminimalisir banyaknya golput akibat para perantau enggan pulang yang artinya menghamburkan anggaran, sebaiknya para kades mulai melirik sosial media sebagai alat mereka mendulang suara. Jika hanya mengandalkan mengumpulkan massa agar datang ke rumahnya, tentu saja ini sudah kurang efektivitasnya. Dengan sosial media, minimal mereka bisa menyampaikan pesan kampanye mereka pada pemilik suara yang tersebar di seantero negeri. Ini juga meminimalisir biaya yang harus ditanggung. Soalnya, biaya mengelola akun sosial media lebih murah ketimbang mengundang penduduk se kampung.

Menarik sekali jika calon kades memiliki akun Facebook atau Twitter yang bisa diakses oleh semua orang. Visi dan misi mereka pastinya bakal lebih teruji, sebab sosial media adalah lapangan yang kejam terkait adu opini. Ibaratnya, sang calon akan siap memimpin desanya jika ia berhasil menaklukkan para pemilih potensial di sosial media.

Beranikah bakal calon kades Gehol memiliki akun Facebook? Patut dinanti.

0 comments: