Huru-hara Digital yang Lepas dari Pantauan karena Jokowi-Ahok
Televisi Indonesia masih menyajikan panasnya perkubuan politik. Lihat saja ada media yang menampilkan penggusuran dengan menyorot reruntuhan pemukiman beserta derita para kaum yang terusisr. Di sisi lain, media yang berpihak pada penguasa menyoroti aneka fasilitas yang disediakan buat mereka yang diusir. Tapi ada juga media yang konsisten dan konsekuen dalam menayangkan mimpi sebagian penduduk negeri melalui sinetron dan aneka kontes pencarian bakat.
Sayangnya, media lain seperti portal berita dan sosial media pun belum beranjak sepenuhnya dari menjual aneka berita terkait pertengkaran elit. Beberapa portal berita mencoba menarik pembacanya dengan headline semegah mungkin untuk menebarkan kedzoliman atau kebaikan tokoh politik yang mereka dukung. Jika di satu media si tokoh akan dideskripsikan bijak berperi bak para nabi, di media musuh politiknya ia akan digambarkan jahat tiada tara hingga harus lampus dari bumi sesegera mungkin.
Yang paling memprihatinkan adalah pertarungan politik di ranah sosial media. Sosial media yang gagal mengemban amanah mengoreksi media mainstream kemudian mentransformasikan dukungan dan cercaan lebih masif dan terstruktur. Para akun bigot pendukung dan pembenci seolah memiliki energi tak terbatas untuk menyuarakan kepentingan mereka. Perang tagar selalu menghiasi Twitter dan makin hari makin parah dan seringkali jadi rujukan media mainstream. Semoga saja, pertarungan tersebut tidak meluas hingga ke tempat-tempat ibadah.
Mungkin karena negeri sibuk memikirkan keagungan dan kebobrokan tokoh-tokohnya, banyak inovasi yang meski menyangkut hajat hidup orang banyak luput dari perhatian. Inovasi anak negeri yang dimulai di Brebes misalnya hanya sekelebat saja menjadi pemberitaan. Padahal, negeri yang kian sekarat dalam ketersediaan lahan pertanian ini seharusnya bersatu-padu dalam memajukan industri pertanian berbasis digital ini.
Berita tentang geger akuisisi Lazada oleh Alibaba juga terkesan bukan hal yang aneh. Padahal, akuisisi ini kian berpotensi akan kian memperkuat dominasi Alibaba yang dimiliki oleh pengusaha asal Tiongkok tersebut di negeri ini. Lucu memang, saat anti-China didengungkan oleh pembenci Ahok, gurita bisnis orang China lainnya seolah dimaklumi saja tanpa banyak protes. Bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak ada anti-China di negeri ini sebab yang ada hanyalah anti-Ahok.
Makin ketatnya enskripsi aplikasi WhatsApp juga seolah sepi tanpa banyak perhatian para pemirsa Indonesia. Padahal, makin ketatnya fitur keamanan dari aplikasi pesan milik Zuckerberg ini bisa menjadi ancaman karena rawan disalahgunakan. Terakhir, adanya UberMotor yang merupakan ekspansi dari aplikasi transportasi online Uber pun sepi pemberitaan. Padahal, pascademo besar-besaran sopir taksi kemarin, aneka aplikasi transportasi online sejatinya tidak boleh melakukan ekspansi. Lalu, kenapa pemirsa negeri ini hanya membisu? Mungkin karena seudah keracunan oleh cinta dan benci kepada tokoh tertentu.
Bener juga sih bahkan itu ibu2 kendeng juga gak rame britanya.
ReplyDelete