Perlu “Lokomotif Segar” Agar Mampu Membawa “Gerbong Indonesia” Melesat
Di tengah data-data tentang “bahan bakar” Indonesia yang positif,
banyak fakta meresahkan yang membuat laju negara ini susah melejit.
Salah satu bahan bakar positif itu adalah jumlah milenial yang melimpah.
Berdasarkan data dari Kompas.com,
penduduk Indonesia terdiri dari 90 juta millenial (20-34 tahun).
Sebagaimana kita tahu, generasi inilah yang nantinya akan memegang peran
penting bagi masa depan Indonesia. Selain jumlah milenial yang melimpah
dan memiliki potensi besar di masa depan, studi dari PWC mengenai masa depan ekonomi Indonesia juga terhitung menggembirakan.
Dari situs PricewaterhouseCoopers (PwC) yang merupakan kantor jasa
professional terbesar di dunia saat ini, tahun 2050 ekonomi Indonesia
berpeluang menjadi yang terbesar ke-4 di dunia. Negeri ini hanya kalah
dari China, India, dan USA. Jika itu terjadi, negara ini melejit dari
posisi 8 saat PwC melakukan riset di tahun 2016.
Meski menuai perdebatan, data yang disajikan oleh pemerintah mengenai
kemiskinan di Indonesia yang menapaki titik terendah sepanjang sejarah
bisa juga dijadikan penghiburan. Klaim pemerintah, kemiskinan di
Indonesia kini “hanya” sekitar 9,8 persen saja. Sebuah prestasi jika hal
ini didasarkan perhitungan BPS yang benar-benar sesuai realita di
lapangan.
Melihat beberapa hal positif di atas, maka masa depan Indonesia
sepertinya berada di jalur yang tepat. Sayangnya, beberapa fakta yang
kita nikmati saat ini terasa pahit sehingga jalan menuju kegemilangan di
masa depan terasa amat terjal untuk bisa terwujud.
Salah satunya adalah melemahnya nilai rupiah terhadap mata uang US$. Per 21 Juli 2018 misalnya, The Spectator Index
merilis data yang menyedihkan. Rupiah setahun terakhir mengalami
penurunan nilai terhadap mata uang Paman Sam hingga minus 9 persen.
Angka itu merupakan kelima terburuk setelah Turki, Iran, Pakistan, dan
Brasil. Bandingkan dengan Ringgit Malaysia yang mengalami penguatan
hingga 5 persen dan kokoh di posisi teratas mata uang yang mengalami
penguatan terhadap US dolar.
Meski pemerintah selalu menganggap negeri ini baik-baik saja, namun
jumlah utang yang kian besar tentu saja bukan kabar yang menggembirakan.
Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani,
mengatakan bahwa hingga 31 Mei 2018 posisi utang Indonesia sebesar Rp
4.169 triliun. Pemerintah selalu berkilah bahwa utang Indonesia masih
dalam tahapan aman karena dibanding seluruh PDB tetap di bawah 29
persen.
Data lain yang masih memprihatinkan adalah mengenai jumlah pengangguran di Indonesia. Meski diklaim BPS turun, namun angkanya tetap mencengangkan. Tingkat pengangguran terbuka
(TPT) di Indonesia per Februari 2018 berjumlah 6,87 juta orang atau
5,13%. Angka ini turun sekitar 2% dibandingkan dengan Februari 2017 yang
berjumlah 7,01 juta orang atau 5,33%. Melihat fakta-fakta yang
memilukan tersebut, optimisme yang sebelumnya terbangun terasa
dihempaskan kembali ke tanah oleh kenyataan. Belum lagi jika fakta-fakta
mengenai penegakan hukum, korupsi, kriminalitas, dan kesenjangan
ekonomi yang kian lebar.
Kita Butuh Lokomotif Baru dan Canggih!
Untuk memaksimalkan potensi yang ada berupa milenial yang melimpah dan
potensi ekonomi Indonesia yang diprediksi menjadi salah satu kampium,
diperlukan lokomotif baru dan canggih. Hal ini menjadi sebuah
keniscayaan sebab gerbong Indonesia yang saat ini tengah melaju faktanya
memiliki kemampuan yang ringkih dengan beban yang berlebihan. Jika
lokomotif yang sekarang tetap dipaksakan, khawatirnya “kereta Indonesia”
ini tidak akan pernah sampai ke tujuan. Jikapun sampai, beban yang
berat akan terlebih dahulu membuat kereta yang ringkih ini porak-poranda
di perjalanan.
Jika lokomotif diibaratkan pemimpin, maka sudah waktunya Indonesia
dipimpin oleh pemimpin yang baru (muda) dan canggih (cerdas). Pemimpin
dengan karakteristik seperti itu, akan lebih mudah membawa rakyat
Indonesia yang sebagian besar milenial menuju ke arah kejayaan.
Sebagaimana kita tahu, ciri milenial salah satunya adalah mudah
beradaptasi dengan kemajuan jaman. Sesuatu yang saat ini harus kita akui
masih sulit dijalankan para pemimpin kita.
Pemimpin muda saat ini memang menjadi sebuah kenyataan yang tidak
terhindarkan. Beberapa negara sudah memiliki pucuk pimpinan negaranya
dengan usia yang masih muda. PM Kanada Justin Trudeau yang (43 tahun),
PM Estonia Juri Ratas (38 tahun), PM Ukraina Volodymyr Groysman (38
Tahun), PM Yunani Alexis Tsipras (35 Tahun), Presiden Polandia Andrzej
Duda (43 Tahun), Presiden Georgia Giorgi Margvelashvilli (44 Tahun), PM
Tunisia Youssef Chahed (40 Tahun), dan Presiden Prancis Emmanual Macron
(39 Tahun) adalah nama-nama pemimpin muda yang berusaha membawa
negaranya menuju ke arah lebih baik.
Usia muda seperti mereka tentu memiliki keuntungan karena lebih mudah
menerima perubahan yang saat ini amat cepat terjadi. Bidang teknologi
misalnya, selain memberi banyak keuntungan ternyata juga punya ragam
potensi yang membuat kita wajib waspada. Misalnya saja dengan makin
canggihnya perkembangan AI yang bukan tidak mungkin menggantikan manusia
sebagai tenaga kerja di masa depan. Selain muda, kecerdasan juga mutlak
diperlukan karena hal itu merupakan salah satu faktor kunci agar bangsa
kita bisa melejit memaksimalkan potensi yang ada.
”Lokomotif Baru dan Canggih” Itu Adalah AHY
Menghadapi fakta-fakta memilukan bangsa ini, AHY bukannya pesimis justru
sebaliknya. Ia berani mengambil jalan terjal untuk mewujudkan
cita-citanya. Baginya berkeluh kesah saja tidak menyelesaikan persoalan.
“Saya ingat ungkapan yang pertama kali muncul tahun 1907 dari William
L. Watkinson, jauh lebih baik menyalakan sebatang lilin, daripada
mengutuk kegelapan.” tegas AHY dalam suatu kesempatan.
Dalam pendidikan dan penugasan militer dahulu, AHY menegaskan bahwa beliau belajar dan berlatih untuk optimis dalam menghadapi kondisi sesulit apapun, yang bahkan mungkin nyaris tidak mungkin. Pengalaman, yang dibuktikan berbagai riset, menunjukkan bahwa optimisme merupakan faktor penting, yang membedakan pemenang dari pecundang.
Sebagai pemimpin, AHY juga selalu memberi semangat kepada anak-anak muda Indonesia agar berani bermimpi besar dan kemudian berikhtiar keras mewujudkannya. Jika mimpi saja tidak berani, bagaimana kita akan melakukan lompatan-lompatan besar untuk menuju puncak pencapaian? Sejarah mengajarkan pada kita bagaimana kejadian-kejadian yang mengubah arah sejarah atau bahkan peradaban manusia, seringkali dimulai oleh mimpi yang dianggap mustahil. Tanpa mimpi para Bapak Bangsa kita, mungkin tanggal 17 Agustus 1945 kita belum memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Bukan sekedar optimis dan pemberi semangat yang hebat, AHY juga mencontohkan bahwa ia tak pernah malas untuk meningkatkan kapasitas intelektualnya. Sebab itu merupakan modal untuk cepat belajar dan beradaptasi dengan perubahan, karena sekarang kita hidup dalam era perubahan. Ada banyak hal baru, pengetahuan baru, pekerjaan baru dan tantangan-tantangan baru yang 10 atau bahkan lima tahun lalu belum terlihat, misalnya soal big data, bussiness intelligence, kecerdasan buatan, teknologi robotik, internet of things (IoT), rekayasa genetik, mobil otonom dan lain-lain.
Memiliki usia muda, optimisme
tinggi, kemampuan intelektual mumpuni, dan jiwa kepemimpinan yang
terasah membuat AHY merupakan pilihan yang logis bagi bangsa ini agar
meraih potensi terbaiknya. Segala potensi bangsa ini akan sia-sia jika
kita menyia-nyiakan pemimpin yang memiliki kemampuan untuk mengelola
dengan optimal segala potensi yang ada.
Artikel ini juga telah diterbitkan di laman TribunID.me