Saya pernah bekerja sama dengan divisi RND sebuah perusahaan yang sedang men-develop sebuah obat untuk Demam Berdarah. Perusahaan telah melakukan aneka riset yang dibutuhkan sehingga harapannya mampu mengklaim bahwa produk mereka adalah obat untuk penyakit yang sering menjadi wabah tiap tahun tersebut.
Riset dilakukan dengan memberikan produk tersebut pada sekelompok pasien DBD. Sebagai perbandingan, kelompok pasien lainnya diberikan plasebo. Hasilnya lumayan bagus secara statistik karena selain mampu mengembalikan jumlah trombosit lebih cepat, juga mampu menghemat biaya rumah sakit. Hal ini terindikasi dari makin cepatnya pasien DBD menjalani rawat inap dibandingkan mereka yang diberikan plasebo atau penanganan standar lainnya sebagaimana WHO syaratkan.
Meski beberapa kali studi produk tersebut memberikan hasil positif untuk penderita demam berdarah baik secara klinis maupun medis, namun para dokter enggan menyebutnya obat. Menurut salah seorang dokter yang terlibat, banyak syarat yang harus dipenuhi produk tersebut untuk didaulat menjadi obat. Salah satunya adalah uji toksik yang berbiaya mahal. Uji ini secara garis besar adalah tes untuk menilai seberapa efek racun bagi tubuh dan menilai seberapa aman sebuah senyawa bagi tubuh.
Begitulah dunia medis bekerja, demi mendapatkan kesimpulan yang presisi segala anasir yang memengaruhinya sedapat mungkin diidentifikasi. Dalam penelitian sosial pun, segala faktor yang bisa menghasilkan kesimpulan bias sedapat mungkin dikeluarkan dari daftar. Tujuannya cuma satu, agar hasil penelitian benar-benar bisa dipertanggungjawabkan baik secara etik, moral, maupun secara keilmuan.
Ucapan Saut Situmorang dan Fenomena 'Headline Society'
Menilik betapa susahnya untuk menghasilkan sebuah kesimpulan, maka apa yang terjadi dengan bangsa ini saat ini tentu memilukan. Dalam berbagai kasus, masyarakat menyimpulkan segala sesuatunya hanya berdasarkan "headline" di media. Maka bolehlah saya menyebut masyarakat kita sebagai 'headline society', masyarakat yang begitu gandrung dengan segala hal hanya berdasarkan bacaan singkat judul sebuah berita.
Dalam kasus Yuyun misalnya, banyak masyarakat yang mirisnya sebagian besar adalah kaum terdidik langsung memvonis penyebabnya. Penelitian singkat terhadap pelaku berdasarkan judul berita yang beredar kemudian dijadikan sebuah kesimpulan. Kesimpulan ini menihilkan aspek-aspek lain semisal ekonomi, sosial, budaya, agama, dan aspek yang bisa memengaruhi tindakan bejat 14 pelaku pemerkosaan. Semua aspek dinihilkan semata sementara satu aspek yang muncul dalam berita dijadikan sebuah narasi.
Masih kurang tanda-tanda 'headline society' menggurita di masyarakat kita? Lihat saja beranda Facebook atau tapak waktu Twitter Anda. Berapa banyak postingat mengharu-biru yang kemudian menggelitik otak kita untuk langsung menyimpulkan tanpa berusaha mencari sumber pembanding. Pada sebuah meme atau foto misalnya, hal-hal yang dikaitkan dengan keyakinan akan lebih mudah mendapatkan impresi daripada ketika postingan tersebut diceritakan apa adanya.
Rupanya, gejala 'headline society' ini tidak hanya menghinggapi masyarakat kelas menengah ke bawah yang akses terhadap sumber berita terbatas. Namun para pejabat yang sudah dibiayai negara untuk lebih pintar dari masyarakat kebanyakan mengalami hal serupa. Aneka komentar yang para oknum pejabat ini lontarkan kepada publik sering kali membuat masyarakat mengernyitkan dahi. Bukan karena sulit memahami pernyataan mereka, namu lebih kenapa ada pernyataan konyol dari mereka-mereka yang dibiayai uang pajak.
Kasus terakhir yang menimbulkan riak lumayan besar adalah tentang generalisir Saut Situmorang yang merupakan salah satu komisioner KPK terhadap HMI. Sang komisioner dalam sebuag wawancara dengan media menyatakan bahwa saat menjadi pejabat, anggota HMI korup. Sebuah kesimpulan yang dangkal yang muncul dari pengamatan yang tidak akurat dan terlalu singkat.
Bahwa ada banyak kader HMI yang oleh pengadilan divonis bersalah karena korupsi itu benar. Namun tidakkah Saut Situmorang melihat berapa pejabat jujur - minimal tidak divonis korupsi oleh pengadilan - yang berasal dari organisasi ini? Sekali lagi, terlihat bahwa gejala 'headline society' menghinggapi oknum pejabat termasuk Saut Situmorang.
Sangat mungkin ia mendengar korupnya kader-kader HMI dari media-media yang memberitakan. Namun karena media cenderung "silent" terhadap kabar baik, maka hanya yang buruk saja yang melekat dari HMI. Inilah yang kemudian Saut Situmorang ungkapkan ke media. Ia lupa bahwa pengamatannya akan HMI terbatas pada yang diceritakan koran. Jadi Pak Saut Situmorang, selamat menikmati hantaman balik dari gejala 'headline society' yang juga Anda derita.