Air Ada Maka Aku Ada



Air dalam Tubuh

Melihat fungsi air bagi kehidupan manusia tidak cukup dan lengkap meski kata-kata tercurah. Namun dengan melihat berbagai tindakan kita dalam keagamaan maupun ritual suci lainnya, akan jelas bagaimana air memainkan peranan kunci dalam kehidupan.

Peranan air kian nyata dalam tubuh kita. Komposisi air dalam tubuh kita sangat kompleks. Lihat saja misalnya fakta bahwa tubuh kita terdiri dari 55% sampai 78% air, tergantung dari ukuran badan.1 Jika masih kurang, maka lihatlah deretan fakta bahwa sebagian organ-organ tubuh kita sangat memerlukan air. Komposisi air dalam organ tubuh kita adalah 83% darah terdiri dari air, otot manusia memiliki 75% air, otak kita 74% bagiannya terdiri atas air/cairan dan bahkan tulang manusia yang keraspun 22% bagiannya terdiri atas air/cairan.

Tak ada Pemalas di Gehol

Ilustrasi dari (www.p-wec.org)

Saat masih SD dan masih mengaji di salah satu pesantren atau masjid di Gehol, kental sekali nuansa kerja keras dan kemandirian yang ditanamkan para guru kami. Jika kami melakukan kesalahan atau bolos dari mengaji atau sekolah maka hukumannya adalah kerja, kerja dan kerja.

Jaman itu di Gehol alias Jetak sana, banyak sekali pelajaran hafalan. Mulai dari menghafal alfabet, angka, hingga lagu-lagu nasional dan daerah tertentu. Sementara di tempat mengajipun hafalan tidak mau kalah. Dimulai dari menghafal huruf hijaiyah, surat-surat pendek, kisah nabi hingga bacaan sholat menunggu setiap waktu.


Gunung Sagara: Tempat Mengintip Neraka


Gunung Kumbang (didiwiardi.multiply.com)

Di tempatku tepatnya di Marenggeng sana, daerah ini merupakan tetangga kmpungku, terdapat seorang kuncen dari sebuah gunung yang penuh sejarah dan misteri. Gunung ini dijadikan rujukan bagi kekuatan mistik di daerahku. Sayangnya karena fokus pada kekuatan mistik yang digali, keluhuran dan nilai sejarahnya justru terlupakan. Di gunung ini berbagai mitos dan cerita menganai dunia lain terangkum begitu kuat. Gunung ini adalah Gunung Sagara.

Gunung Sagara ada yang menyebut sebagai anak dari Gunung Kumbang, namun ada juga yang menyebut Gunung Sagara adalah Gunung Kumbang itu sendiri. Gunung Sagara sendiri dinamakan demikian karena gunung ini memiliki kesamaan dengan sagara (lautan) yang jika diarungi dengan tidak dengan bijaksana bsa menyesatkan. Ada juga yang menganggap nama sagara berasal dari sebuah danau terpendam yang ada di dalam perut gunung yang sebagian besar hutannya masih alami ini.


Mereka Bukan Sekedar Angka


Peduli AIDS

Melihat ODHA bukan sekedar melihat deretan angka. Meski angka penting untuk menggambarkan betapa mengerikannya HIV/AIDS, namun mengatasinya hanya berdasarkan hitung-hitungan angka tentu kurang efektif. Mereka bukan sekedar angka-angka, mereka nyata adanya. Karena mereka nyata, maka yang dibutuhkan untuk mengatasinya bukan sekedar seabrek tips dan petunjuk di atas kertas.

Sebagaimana menurut Ketua Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sugiri Syarief, ungkapkan bahwa epidemi HIV telah terjadi di Indonesia. Bahkan menurutnya, Indonesia merupakan negara dengan penularan HIV tercepat di Asia Tenggara.  Berdasarkan data resmi Kementerian Kesehatan, kata Sugiri, sekitar 26.400 pengidap AIDS dan 66.600 pengidap HIV positif, lebih dari 70 persen di antaranya adalah generasi muda usia produktif yang berumur di antara 20-39 tahun1.  Ini hanya di Indonesia, lihat angka-angka fantastis yang berasal dari seluruh dunia di bawah ini.


Sekolah Bercelana Jeans dan Telanjang Kaki

Ilustrasi (suaramerdeka.com)
Dulu, sekitar tahun 90-an, Gehol masih belum dialiri listrik dan jalanan masih banyak yang berlumpur. Di Gehol, hanya ada dua sekolah dasar, TV yang bisa dihitung dengan jari sebelah tangan dan tiga pesantren yang ramai.

Bisa ditebak bagaimana keseharian warganya. Si kecil balita bermain belepotan lumpur setiap hari. TK adalah kemewahan yang saat itu belum kami kenal. Setiap jam penayangan film favorit, anak-anak berkumpul di salah satu rumah penduduk yang memiliki TV. Sepulang sekolah kami akan bergerombol bermain dan di malam hari yang ada hanya bermain dan mengaji.

Dilihat dari sudut kemajuan jaman mungkin jaman itu terkesan terbelakang. Namun dari sisi kepedulian sosial masa itu adalah masa keemasan. Saat itu, tak ada warga desa yang tak kenal sesam warga. Tak ada teras rumah yang kosong di sore hari. Semua orang yang berbaris di teras masing-masing berbincang dengan sesama tetangga tanpa gangguan sinetron, siaran langsung olahraga, update status, sms, atau dering telepon.