Chatbot dan Kegamangan Aturan Hukum Ketenagakerjaan Kita

9:36:00 PM Gehol Gaul 0 Comments


Pada konferensi tahunan World Economic Forum (WEF) yang berlangsung di Davos, Swiss awal tahun ini, salah satu yang dibahas adalah meningkatnya industri robot. Dalam sebuah artikel berjudul “The robotics revolution is coming. Should economists be worried?” dibahas bahwa salah satu alasan kenapa industri robot dan teknologi otomisasi meningkat adalah karena makin rendahnya pekerja kurang terampil. Adapun negara yang menjadi contoh dalam artikel itu adalah Inggris Raya.

Sebagaimana bayangan kita pada umumnya, robot-robot yang terbuat dari logam memang akan mempersempit kebutuhan akan tenaga kasar manusia. Kita pun pada satu sisi mahfum bahwa kebutuhan industri akan robot jenis ini bisa dimaklumi. Misalnya saja, jika pabrik memproduksi besi, maka dengan robot prosesnya akan lebih cepat. Sebab, robot bisa mengangkat beban lebih besar dan melakukan tindakan lebih ekstrim daripada pekerja manusia.

Rasanya, tak perlu memahami ekonomi secara mendalam untuk mengetahui bahwa pemakaian robot bisa lebih ekonomis daripada menggunakan tenaga manusia. Selain efisiensi biaya, pemanfaatan robot juga akan lebih kondusif. Karena kemungkinan robot akan berdemo menuntut kenaikan gaji tentu sangat kecil peluangnya dibandingkan dengan para pekerja manusia. 

Sayangnya, pemakluman meningkat pesatnya industri robot dan otomatisasi tidak selesai sampai di situ. Beberapa lapangan usaha yang selama ini menjadi harapan para pekerja dengan keahlian terbatas justru telah pula dirambah. Bidang-bidang usaha tersebut antara lain: pergudangan, pengangkutan, hotel, restoran, dan pertanian. Yang tak kurang mengkhawatirkan adalah indutri alat angkut pun sudah mulai menerapkan hal tersebut. Artinya, di masa depan para sopir kemungkinan besar akan menganggur.

Artificial Intelligence Kian Marak

Ketika para pekerja minim keahlian dibabat oleh robot, banyak yang masih memakluminya atas nama efisiensi dan stabilitas. Namun, kemahiran mesin tidak hanya sampai di sana. Kini, kecerdasan buatan pun siap menumbangkan para pekerja yang selama ini dikategorikan sebagai tenaga kerja terdidik.
Peringatan ini setidaknya diungkap oleh situs id.techinasia.com melalui sebuah artikel provokatif berjudul “Era AI Tidak Terjadi di Masa Depan, Tetapi Sekarang!”. AI sendiri merupakan kependekan dari artificial intelligence atau secara harfiah bisa disebut sebagai kecerdasan buatan. 

Menurut situs tersebut, salah satu implementasi dari AI adalah kehadiran chatbot. Kata terakhir merujuk pada sebuah layanan yang dibekali dengan pertanyaan dan jawaban tetap yang memungkinkan pengguna berinteraksi melalui chatting (obrolan) antarmuka dan menerima informasi tentang topik tertentu. Beberapa raksasa teknologi seperti Apple, Microsoft, dan Google telah mengaplikasikan layanan ini.

Sampai di sini, lalu lintas hukum sepertinya akan baik-baik saja. Sebab, ketika Anda memakai Siri, Cortana, atau Google Home sebagai asisten pribadi, tak ada konsekuensi hukum berarti. Alhasil, negara tak perlu memperhatikan atau menjulurkan tangan saat warganya berasyik-masyuk dengan mesin-mesin yang bisa merespon ucapan tersebut. Sepertinya, tak perlu juga negara membuat aturan hukum khusus terkait hal tersebut. Meski tentu saja kesimpulan ini belum final mengingat belum ada studi serius terhadap hal tersebut. Di sini, jargon bahwa hukum tertinggal dari perubahan sosial dan teknologi sepertinya kian terkukuhkan.

Chatbot dan Ketenagakerjaan Kita

Hingga ke depan, tulisan dalam situs World Economic Forum menyatakan bahwa pekerjaan yang tergantung pada pada sifat-sifat manusia seperti kreativitas, kecerdasan emosional, dan keterampilan sosial (termasuk mengajar, mentoring, keperawatan dan perawatan sosial misalnya) kemungkinan aman dari serbuan robot.

Sayangnya, kehadiran AI dengan chatbot salah satunya, sepertinya sebentar lagi akan mematahkan asumsi di atas. Jika sudah demikian, maka lalu lintas hukum kemungkinan besar akan mendapatkan gangguan berarti. Hal ini terutama bagi negara dengan populasi besar seperti Indonesia. Yang lebih mengkhawatirkan, hingga saat ini Indonesia belum memiliki perangkat aturan yang memadai mengenai hal ini. Jika tak percaya, lihat berlarut-larutnya konflik antara pengemudi online dan angkutan umum di beberapa kota di negeri ini.

Daniel Handoko (Sr. Data Scientist at Salestock) dalam sebuah even bertajuk “Tech Talk - Frameworks and Technologies for Building your Chatbot”  mengungkapkan bahwa situsnya telah memulai hal ini.  Menurut dia, pemakaian chatbot dikhususkan untuk menangani sebagian urusan customer service yang kemungkinan akan lebih lama jika ditangani oleh manusia. Sampai di sini, kita sebaiknya memahami bahwa pekerjaan sekelas customer service pun bisa digantikan oleh mesin buatan manusia, meski hingga saat ini masih sebagian yang diambil alih. Padahal, pekerjaan ini sejatinya masuk dalam kriteria yang tidak dikhawatirkan sebagaimana disebutkan dalam artikel di situs World Economic Forum di atas.

Menyoal masalah ini dari sisi ketenagakerjaan sesungguhnya mengkhawtirkan. Bayangkan berapa tenaga kerja akan kehilangan mata pencahariannya. Tidak sampai di situ, berapa banyak mulut yang kemudian tersendat asupan gizinya akibat tulang punggung mereka disingkirkan mesin-mesin yang seharusnya mempermudah kehidupan mereka. Saat itu terjadi, jika tak diantisipasi takkan lama lagi, chaos kemungkinan besar terjadi.

Lalu, sampai di mana antisipasi pemerintah? Sependek pengetahuan penulis yang amat terbatas ini, aturan tentang mesin atau robot atau kecerdasan buatan sebagai tenaga kerja sama sekali belum ada. Padahal tanpa adanya aturan, konflik seperti akibat transportasi online kemungkinan besar akan terjadi. 

Bahkan konfliknya kemungkinan akan lebih besar mengingat yang dipertaruhkan adalah jutaan jiwa yang hilang pekerjaan. Asumsinya, jika chatbot berkembang dan pemerintah tak tanggap maka industri manufaktur pun kemudian akan dengan leluasa menginvestasikan dana untuk memanfaatkan robot alih-alih memberdayakan buruh yang terkenal susah diatur dan doyan demo.

Penulis berpendapat bahwa makin cepat pemerintah mengantisipasi masalah ini makin rendah potensi chaos di masa depan. Karena kemajuan teknologi adalah keniscayaan, maka yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan regulasi yang mengadopsi kemajuan namun tak mengorbankan tenaga kerja manusia biasa. 

Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan melindungi industri yang bersifat “hajat hidup orang banyak” terbebas dari sebuan bot. Pembatasan pemakaian robot dan kecerdasan manusia mutlak diperlukan demi melindungi manusianya. Ingat, tujuan kemerdekaan kita sebagaimana dipahat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Adapun bidang ekonomi lain yang juga sebaiknya dilindungi dari serbuan “tenaga kerja buatan ini” adalah yang terkait pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Sebab, sentuhan dan emosi manusia akan sangat diperlukan dalam bidang-bidang tersebut. 

Selamat datang era kecerdasan buatan, semoga bangsa Indonesia bisa memanfaatkannya bukan sebaliknya.

Tulisan ini pernah dimuat di lintaswarta.co.

0 comments: