Pada
tahun 1969, ARPANET menciptakan internet yang mampu menghubungkan empat buah
komputer. Penciptaan internet sendiri ditujukan untuk mempermudah pertukaran
informasi di antara para pengkaji pertahanan di Departemen Pertahanan Amerika
Serikat. Dari yang awalnya hanya mampu menghubungkan empat buah komputer,
internet telah bermetamorfosis menjadi dalah satu media paling penting dalam
kehidupan manusia.
Secara
sederhana, internet bisa dideskripsikan sebagai sekumpulan jaringan antarkomputer
yang saling terhubung satu sama lain. Jejaring ini sendiri tidak terbatas pada
wilayah tertentu, namun mampu mencakup hampir semua wailayah di muka bumi.
Internet bisa diumpamakan serupa jaring laba-laba yang membentang di seluruh penjuru
dunia.
Jumlah
pengguna internet yang menggunakan jejaring sosial ini terus meningkat setiap
tahunnya. Facebook sebagai jejaring sosial paling populer misalnya, memiliki
pengguna aktif hingga 1 milyar setiap hari. Twitter yang merupakan saingan terdekat
Facebook kini memiliki jumlah pengguna aktif sekitar 700 jutaan.
Dengan
besarnya jumlah pengguna internet yang mendaftarkan diri dalam situs jejaring
sosial ini, mendorong berbagai perusahaan-perusahaan untuk ikut terjun dalam
situs jejaring sosial. Mereka berlomba-lomba menguatkan nilai merek mereka
kepada para pemilik akun jejaring sosial media.
Di
dalam sosial media, pemilik akun jejaring sosial akan berbagi material yang
bersifat pribadi maupun umum dalam bentuk data. Foto, video, maupun ekspresi
pribadi berupa kata-kata akan diposting yang kemudian secara otomatis akan
terlihat oleh siapa saja yang berteman dengan empunya akun.
Masalah
yang muncul kemudian adalah terkait material yang dibagikan tersebut maupun
kepemilikan akun sosial media itu sendiri. Kedua hal tersebut adalah milik
seseorang yang bersifat virtual. Dalam bahasa Inggris, kepemilikan yang
bersifat maya tersebut dinamakan virtual
property.
Hingga
saat ini, belum ada aturan hukum yang secara tegas mengatur mengenai properti
virtual. Para pengembang jejaring sosial selaku pemegang lisensi semata-mata
melindungi diri mereka dengan End User License Agreement (EULA) yang
dibuat oleh pengembang jejaring sosial tersebut. EULA ini berfungsi sebagai Term
of Service (ToS) bagi para pengguna yang mendaftarkan diri menjadi anggota
suatu jejaring sosial. EULA ini merupakan perjanjian sepihak yang dibuat oleh
pihak pengembang sosial media yang harus disetujui oleh pemakai, jika ingin menggunakan
akun mereka.
Joshua
A.T. Fairfield, mengemukakan bahwa: “virtual property shares three legally
relevant characteristics with real world property: rivalrousness, persistence,
and interconnectivity. Based on these shared characteristics, subsequent
sections will show that virtual property should be treated like real world
property under the law.”
Jika
mengacu pada pemikiran dari Joshua. A.T. Fairfield ini, maka properti virtual
ini dapat diperlakukan sebagaimana layaknya properti yang ada di dunia nyata. Masalah muncul ketika
dihadapkan kepada hak cipta dari jejaring sosial tersebut. Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa hak cipta dari sebuah jejaring sosial dipegang
oleh pengembang jejaring sosial yang bersangkutan.
Dalam
Undang-undang Hak Cipta Indonesia, tidak ditemukan aturan yang mengatur
mengenai properti virtual ini. Adapun aturan hukum di Indonesia yang mengatur mengenai
hukum benda adalah Buku II KUH Perdata. Pada dasarnya, properti virtual di
dalam jejaring sosial ini merupakan benda tidak berwujud, sehingga dapat
berlaku ketentuan di dalam Buku II KUH Perdata. Namun, aturan ini tidak dapat
diterapkan begitu saja, mengingat properti virtual di dalam jejaring
sosial merupakan bagian tidak terpisahkan dari jejaring sosialnya sendiri, di mana
jejaring sosial merupakan suatu karya cipta yang dilindungi dengan Hak Cipta.
Beradasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang diambil dalam
makalah ini adalah:
- Bagaimanakah
ketentuan hukum yang mengatur mengenai kepemilikan akun sosial media?
- Bagaimanakah
tinjauan hukum kebendaan terhadap kepemilikan akun sosial media?
- Bagaimana
akun sosial media dilihat dari hukum perdata di Indonesia?
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dari skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui ketentuan hukum yang
mengatur mengenai kepemilikan akun media sosial.
2. Untuk
mengetahui tinjauan hukum kebendaan terhadap kepemilikan akun sosial media.
3. Untuk
mengetahui bagaimana akun sosial media dilihat dari hukum perdata di Indonesia.
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Agar dapat
dijadikan referensi bagi mahasiswa khususnya yang mengambil program kekhususan
hukum perdata dan hukum siber.
2. Diharapkan menjadi masukan terhadap
para pihak yang berhubungan dan terkait dengan sengketa harta bersama terutama
bagi praktisi hukum.
3. Menjadi bahan bacaan dan sumber
pengetahuan bagi masyarakat umum yang mempunyai kepedulian terhadap
persoalan-persoalan hukum.
Untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum yang
mengatur mengenai kepemilikan akun sosial media maka konsep-konsep di bawah ini
harus dipahami dengan baik dan benar.
Pengertian
Jejaring Sosial
Jejaring sosial (social network) adalah bentuk struktur sosial yang
terdiri dari simpul-simpul yang saling terkait dan terikat oleh satu atau lebih
tipe hubungan yang spesifik. Simpul-simpul yang dimaksudkan disini dapat berupa
individu maupun organisasi.
Istilah jejaring sosial
pertama kali diperkenalkan oleh Professor J.A Barnes pada tahun 1954. Jejaring
sosial merupakan sebuah sistem struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen
individu atau organisasi. Jejaring sosial ini akan membuat mereka yang memiliki
kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang telah dikenal sehari-hari sampai
dengan keluarga bisa saling berhubungan.
Andreas Kaplan dan Michael Haenlein
menyatakan bahwa media sosial adalah seperangkat aplikasi yang berjalan dalam
jaringan internet dan memiliki tujuan dasar ideologi serta penggunaan teknologi
web 2.0 yang dapat berfungsi untuk saling tukar menukar konten. Pernyataan
tersebut merupakan pengertian media sosial menurut ahli yang banyak dijadikan
rujukan para pengguna internet.
Istilah media sosial sendiri termasuk
baru dalam perkembangan internmet. Yang sering dijadikan
perbedaan inti dari jejaring sosial dan bentuk media lain yang memanfaatkan
internet adalah interaksi sosial yang berbasis web. Situs
Classmates.com (1995) bisa dikatakan sebagai situs pertama yang memakai
konsep jejaring sosial. Kemudian, muncul situs
Sixdegree yang lebih menarik untuk bersosialisasi di jagat maya. Disusul
dengan kehadiran Friendster.com yang sempat dijadikan tren sosial media.
Facebook yang kini menggurita menjadi situs sosial media paling tenar di muka
bumi sedikit meniru kesuksesan Friendster di awal kemunculannya.
Masih
terdapat perbedaan pendapat tentang pengertian media sosial di kalangan
ahli dan praktisi. Berdasarkan perkembangan teknologi informasi,
e-mail atau surat elektronik sudah masuk kategori media sosial karena setiap
pengguna internet yang memiliki akun e-mail dapat terhubung dengan pengguna
internet lainnya di belahan dunia mana pun. Jadi, menurut konsep dasar
tersebut, sejak tahun 1978, bisa dikatakan bahwa sudah ada media sosial. Saat
itu, jaringan internet menggunakan saluran telepon yang dihubungkan dengan
modem.
Namun
patut dicatat bahwa e-mail hanya menghubungkan satu orang
dengan satu orang – meski kini juga bisa terhubung dengan banyak orang
sekaligus. Tentu interaksi sosial seperti ini masih
terlalu eksklusif. Hubungan seperti ini tidak sesuai dengan definisi sosial
yang meliputi interaksi dengan banyak orang. Ada yang harus bisa dibagikan
dengan pengguna-pengguna internet lain. Karena itu, muncul gagasan layanan sewa
dan simpan data-data di website. File-file yang tersimpan di website dapat
dibagikan kepada siapa saja di belahan dunia mana pun asal terhubung dengan jaringan
internet.
Kemunculan situs-situs, seperti
Classmates, Sixdegree, Blogger, dan Friendster menumbuhkan ruang sosial yang
membawa ideologi bagi para penggunanya. Situs-situs tersebut tidak lagi hanya
digunakan untuk kegiatan berbagi konten atau berbagai data. Penggunanya sudah
bisa membentuk iklim tentang berbagi ide atau gagasan.
Situs Twitter, Facebook, Linkedin, Path,
dan G+ adalah deretan website berbasis media sosial yang membawa ideologi bagi
pendiri situs maupun para penggunanya. Situs-situs tersebut dapat membuka
negara-negara yang tertutup akses informasinya dari luar maupun dalam.
Peristiwa Arab Spring adalah contoh hasil idelogi para pengguna situs jejaring
sosial untuk menyalurkan aspirasi dan ideloginya.
Jejaring
sosial merupakan salah satu inovasi teknologi informasi dan komunikasi yang
memungkinkan kita untuk bisa berinteraksi dan berbagi informasi setiap saat
pada setiap orang tanpa harus bertatap muka secara langsung atau biasa dosebut
dengan Cyber Public Room.
Jejaring
sosial itu merupakan ‘cyber public room’ atau ruang publik maya dan ketika
berada dalam suatu ruang publik maka penggunanya harus punya etika yang baik
dan benar dalam berinteraksi dengan orang lain. Negara kita mempunyai
undang-undang yang mengatur hal tersebut yaitu UU ITE (Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik).
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Secara umum,
materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu:
a. Pengaturan
mengenai informasi dan transaksi elektronik
Pengaturan
mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen
internasional, seperti UNCITRAL Model Law on e-Commerce dan UNCITRAL Model Law
on e-Signature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku
bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum
dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa materi yang diatur, antara lain:
1. pengakuan
informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang
sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE)
2. Tanda tangan
elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE)
3. Penyelenggaraan
sertifikasi elektronik (Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE)
4. Penyelenggaraan
sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE)
b. Pengaturan
mengenai perbuatan yang dilarang
Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE,
antara lain:
1. Konten
ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian,
penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan. (pasal 27, pasal
28, dan pasal 29 UU ITE);
2. Akses ilegal
(pasal 30 UU ITE);
3. Intersepsi
ilegal (pasal 31 UU ITE);
4. Gangguan
terhadap data (data interference, pasal 32 UU ITE);
5. Gangguan
terhadap sistem (system interference, pasal 33 UU ITE);
6. Penyalahgunaan
alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);
Hukum Kebendaan
Sebelum
melangkah lebih jauh ke dalam pembahasan mengenai akun sosial media di dalam sosial
media, perlu kiranya dilakukan pembahasan mengenai akun di dalam sosial media
sebagai suatu benda.
Pengertian
mengenai benda dapat dilihat berdasarkan perumusan beberapa sarjana berikut
ini:
a. H.F.A.
Vollmar.
Menurut
Vollmar benda dalam arti dapat diraba atau berwujud adalah yang di dalamnya
termasuk segala sesuatu yang mempunyai harga, yang dapat ditundukkan di bawah
penguasaan manusia dan yang merupakan suatu keseluruhan. Vollmar menambahkan,
bahkan sesuatu yang mempunyai harga perasaan (affektif), itupun sudah
cukup merupakan salah satu unsur untuk disebut benda.
b. Paul
Scholten
Menurut
Paul Scholten "zaak is ieder deel der stoffelijke natuur, dat voor uitsluitende
heerschappij van den mensch vatbaar en voor hem van waarde is en dat door het
recht als een geheel wordt beschouwd". Terjemahan bebasnya kira-kira
adalah: Benda ialah setiap bagian dari alam yang berwujud yang semata-mata dapat
dikuasai oleh manusia, berharga untuknya dan yang oleh hukum dipandang sebagai
satu kesatuan.
c. Prof,
H.R. Sardjono
Prof,
H.R. Sardjono, berpendapat bahwa benda ialah sesuatu yang dapat dinilai dengan
uang setidak-tidaknya mempunyai nilai affektif, berdiri sendiri dan merupakan
satu keseluruhan, bukan merupakan bagian-bagian yang terlepas satu sama
lainnya.
d.
Soediman Kartohadiprodjo
Menurut
Soediman Kartohadiprodjo, yang dimaksudkan dengan benda ialah "semua
barang yang berwujud dan hak (kecuali hak milik)".
e.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan
Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan mengartikan "benda pertama-tama ialah barang yang
berwujud yang dapat ditangkap dengan pancaindera, tetapi barang yang tak
terwujud termasuk benda juga".
f.
Subekti
Subekti
mengartikan benda menjadi tiga macam, yaitu: (1) benda (zaak) dalam arti
luas adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, di sini benda berarti
objek sebagai lawan dari subjek atau "orang" dalam hukum; (2) benda
dalam arti sempit adalah sebagai barang yang dapat terlihat saja; dan (3) benda
yang berarti kekayaan seseorang, yang meliputi pula barang-barang yang tak
dapat terlihat, yaitu hak-hak.
g.
L. J. van Apeldoorn
L.
J. van Apeldoorn memberikan pengertian benda dalam arti yuridis ialah sesuatu
yang merupakan objek hukum, yaitu sesuatu yang hakikatnya diberikan oleh hukum
objektif.
Atas
dasar pendapat dari para ahli hukum tersebut, maka "sesuatu" dapat
disebut benda jika dapat memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu:
a. dapat
dikuasai manusia,
b. dapat
diraba maupun tidak,
c. dapat
dinilai dengan uang atau setidak-tidaknya berharga untuknya, dan
d. merupakan
satu kesatuan serta bersifat mandiri.
Kepemilikan
dalam Hukum Perdata
Melihat kepemilikan akun sosial media dari sudut
hukum perdata yang berlaku di Indonesia, setidaknya ada dua hal yang bisa
dijadikan landasan:
1. Hukum
Perikatan
Dalam situs jejaring sosial, hubungan
hukum antara pemilik akun dengan penyedia jasa permainan ditentukan oleh EULA
(End User License Agreement) atau Term of Services yang disepakati oleh kedua
belah pihak. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, seorang pemilik
akun sebelum dapat memainkan situs jejaring sosial harus menyetujui EULA
ataupun Term of Services yang dibuat oleh penyedia situs jejaring sosial tersebut.
EULA pada dasarnya berbeda dari Term of
Service. EULA sifatnya mengatur mengenai lisensi atas suatu program komputer
terhadap penggunanya, dalam hal ini maka mengatur mengenai lisensi situs
jejaring sosial terhadap pemilik akunnya. Sebelum melakukan pemasangan pada
perangkat komputer, pemilik akun akan mendapatkan tampilan EULA yang akan
muncul disertai dengan tombol persetujuan dan tidak persetujuan. Dengan memilih
tombol persetujuan, berarti pemilik akun menyetujui segala hal yang tercantum
di dalam EULA tersebut dan dapat melanjutkan proses pemasangan situs jejaring
sosial tersebut.
Jika pemilik akun tidak menyetujui, maka
proses pemasangan tidak dapat dilanjutkan, yang berarti pemilik akun tidak akan
dapat memainkan situs jejaring sosial tersebut. EULA ini pada umumnya dibuat
oleh pengembang situs jejaring sosial tersebut, karena mengatur mengenai apa
saja yang dilisensikan, berapa komputer yang dapat di pasang situs jejaring
sosial tersebut, dan lain sebagainya. Sedangkan Term of Service pada dasarnya
mengatur mengenai aturan-aturan saat hendak mendaftarkan akun di sosial media
bersangkutan. Term of Service umumnya
dibuat oleh penyedia jasa situs jejaring sosial tersebut.
EULA ataupun Term of Services merupakan
suatu perjanjian yang mengikat baik pemilik akun maupun pengembang/penyedia
jasa situs jejaring sosial tersebut dan berisikan peraturan yang mengatur
mengenai apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari para pemilik akun dan
juga dari pengembang/penyedia jasa situs jejaring sosial itu sendiri. Selain itu, juga mengatur mengenai berbagai
aspek di dalam situs sosial media, termasuk
aspek mengenai akun sosial media di dalam situs jejaring sosial tersebut.
2. Hukum
Benda
Akun sosial media sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya memenuhi unsur-unsur benda, sehingga dapat
diberlakukan ketentuan dalam hukum benda. Di dalam KUH Perdata, apa yang
disebut dengan benda diatur dalam Pasal 499 KUH Perdata, yang menyatakan:
“menurut paham Undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang
dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.”
Berdasarkan ketentuan
tersebut, pengertian benda tersebut meliputi segala sesuatu yang dapat dimiliki
oleh subjek hukum, baik itu berupa barang (goed) maupun hak (recht),
sepanjang objek dari hak milik itu dapat dikuasai oleh subjek hukum. Artinya
istilah benda pengertiannya bersifat abstrak, karena tidak hanya terbatas pada
benda yang berwujud saja yang dinamakan dengan barang, melainkan termasuk pula
benda yang tidak berwujud atau bertubuh, yang dapat berupa hak.
Pengertian benda yang
demikian ini merupakan pengertian dalam arti luas, yang meliputi benda berwujud
dan benda tidak berwujud, sedangkan pengertian dalam arti sempit, benda itu
hanyalah barang-barang yang berwujud atau bertubuh saja. Dengan demikian, dalam
perspektif hukum perdata berdasarkan KUH Perdata, selain mengenal barang-barang
yang berwujud (sache), juga mengenal barang-barang yang tidak berwujud
yang merupakan dari harta kekayaan (Vermögens bestanddeel) seseorang,
yang juga bernilai ekonomi.
Sebagai suatu benda, akun
sosial media termasuk ke dalam kategori benda tidak berwujud, sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 503 KUH Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap
kebendaan adalah bertubuh dan tidak bertubuh. Akun sosial media disebut sebagai
benda tidak berwujud karena pada dasarnya suatu Akun sosial media dalam situs
jejaring sosial adalah suatu benda yang tidak dapat diraba, hanya dapat dilihat
saja.
Berdasarkan pada Pasal
499 KUH Perdata hak milik menjadi hal yang penting dalam menetapkan apakah
sesuatu termasuk ke dalam pengertian benda. Hak milik disebut juga dengan
eigendom merupakan hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan
leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan
sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum,
dan tidak mengganggu hak orang lain (sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 570 KUH
Perdata).
Dengan kata lain hak
milik merupakan hak yang paling sempurna atau utama atas sesuatu kebendaan.
Karenanya pemegang hak milik diberikan keleluasaan dan berbuat bebas sepenuhnya
terhadap kebendaannya itu sesuai dengan hak yang dipunyainya, misalnya
menikmati, menjual, menyewakan, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusak
sekalipun, asai saja hal itu dilakukan dengan tanpa melanggar hukum atau hak orang
lain. ’Hal ini mengandung arti, bahwa pemegang hak milik dapat menguasai
sesuatu kebendaan secara mutlak tanpa dapat diganggu gugat (droit inviolable
et sacre) oleh orang lain, termasuk penguasa sekalipun. Dengan demikian
dalam perspektif KUH Perdata, hak milik mempunyai isi dan sifat yang tidak
terbatas, mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
DAFTAR PUSTAKA
Andasasmita,
Komar.Notaris II. 1982. Bandung: Sumur Bandung.
Hasbullah,
Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi Kenikmatan.2002.
Jakarta: Indo-Hill.co.
Riswandi,
Budi Agus. Hukum dan Internet di
Indonesia. 2003. Yogyakarta: UII Press.
Soedewi,
Sri. Masjchoen Sofwan. Hukum Perdata:
Hukum Benda. 1981. Yogyakarta: Liberty.
Subekti. Pokok-pokok
Hukum Perdata. 2001.Jakarta: Intermasa.
Usman,
Rachmadi. Hukum Kebendaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Utomo,
Tomi Suryo. Hak Kekayaan Intelektual
di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer. 2010.Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Undang-undang
No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata