Chatbot dan Kegamangan Aturan Hukum Ketenagakerjaan Kita
Pada konferensi tahunan World Economic Forum (WEF) yang
berlangsung di Davos, Swiss awal tahun ini, salah satu yang dibahas adalah
meningkatnya industri robot. Dalam sebuah artikel berjudul “The robotics
revolution is coming. Should economists be worried?” dibahas bahwa salah satu
alasan kenapa industri robot dan teknologi otomisasi meningkat adalah karena
makin rendahnya pekerja kurang terampil. Adapun negara yang menjadi contoh
dalam artikel itu adalah Inggris Raya.
Sebagaimana bayangan kita pada umumnya, robot-robot yang
terbuat dari logam memang akan mempersempit kebutuhan akan tenaga kasar
manusia. Kita pun pada satu sisi mahfum bahwa kebutuhan industri akan robot
jenis ini bisa dimaklumi. Misalnya saja, jika pabrik memproduksi besi, maka
dengan robot prosesnya akan lebih cepat. Sebab, robot bisa mengangkat beban
lebih besar dan melakukan tindakan lebih ekstrim daripada pekerja manusia.
Rasanya, tak perlu memahami ekonomi secara mendalam untuk
mengetahui bahwa pemakaian robot bisa lebih ekonomis daripada menggunakan
tenaga manusia. Selain efisiensi biaya, pemanfaatan robot juga akan lebih
kondusif. Karena kemungkinan robot akan berdemo menuntut kenaikan gaji tentu
sangat kecil peluangnya dibandingkan dengan para pekerja manusia.
Sayangnya, pemakluman meningkat pesatnya industri robot dan
otomatisasi tidak selesai sampai di situ. Beberapa lapangan usaha yang selama
ini menjadi harapan para pekerja dengan keahlian terbatas justru telah pula
dirambah. Bidang-bidang usaha tersebut antara lain: pergudangan, pengangkutan,
hotel, restoran, dan pertanian. Yang tak kurang mengkhawatirkan adalah indutri
alat angkut pun sudah mulai menerapkan hal tersebut. Artinya, di masa depan
para sopir kemungkinan besar akan menganggur.
Artificial Intelligence Kian Marak
Ketika para pekerja minim keahlian dibabat oleh robot,
banyak yang masih memakluminya atas nama efisiensi dan stabilitas. Namun,
kemahiran mesin tidak hanya sampai di sana. Kini, kecerdasan buatan pun siap
menumbangkan para pekerja yang selama ini dikategorikan sebagai tenaga kerja
terdidik.
Peringatan ini setidaknya diungkap oleh situs
id.techinasia.com melalui sebuah artikel provokatif berjudul “Era AI Tidak
Terjadi di Masa Depan, Tetapi Sekarang!”. AI sendiri merupakan kependekan dari
artificial intelligence atau secara harfiah bisa disebut sebagai kecerdasan
buatan.
Menurut situs tersebut, salah satu implementasi dari AI
adalah kehadiran chatbot. Kata terakhir merujuk pada sebuah layanan yang
dibekali dengan pertanyaan dan jawaban tetap yang memungkinkan pengguna
berinteraksi melalui chatting (obrolan) antarmuka dan menerima informasi
tentang topik tertentu. Beberapa raksasa teknologi seperti Apple, Microsoft,
dan Google telah mengaplikasikan layanan ini.
Sampai di sini, lalu lintas hukum sepertinya akan baik-baik
saja. Sebab, ketika Anda memakai Siri, Cortana, atau Google Home sebagai
asisten pribadi, tak ada konsekuensi hukum berarti. Alhasil, negara tak perlu
memperhatikan atau menjulurkan tangan saat warganya berasyik-masyuk dengan
mesin-mesin yang bisa merespon ucapan tersebut. Sepertinya, tak perlu juga
negara membuat aturan hukum khusus terkait hal tersebut. Meski tentu saja
kesimpulan ini belum final mengingat belum ada studi serius terhadap hal
tersebut. Di sini, jargon bahwa hukum tertinggal dari perubahan sosial dan
teknologi sepertinya kian terkukuhkan.
Chatbot dan Ketenagakerjaan Kita
Hingga ke depan, tulisan dalam situs World Economic Forum
menyatakan bahwa pekerjaan yang tergantung pada pada sifat-sifat manusia
seperti kreativitas, kecerdasan emosional, dan keterampilan sosial (termasuk
mengajar, mentoring, keperawatan dan perawatan sosial misalnya) kemungkinan
aman dari serbuan robot.
Sayangnya, kehadiran AI dengan chatbot salah satunya,
sepertinya sebentar lagi akan mematahkan asumsi di atas. Jika sudah demikian,
maka lalu lintas hukum kemungkinan besar akan mendapatkan gangguan berarti. Hal
ini terutama bagi negara dengan populasi besar seperti Indonesia. Yang lebih
mengkhawatirkan, hingga saat ini Indonesia belum memiliki perangkat aturan yang
memadai mengenai hal ini. Jika tak percaya, lihat berlarut-larutnya konflik
antara pengemudi online dan angkutan umum di beberapa kota di negeri ini.
Daniel Handoko (Sr. Data Scientist at Salestock) dalam
sebuah even bertajuk “Tech Talk - Frameworks and Technologies for Building your
Chatbot” mengungkapkan bahwa situsnya
telah memulai hal ini. Menurut dia,
pemakaian chatbot dikhususkan untuk menangani sebagian urusan customer service
yang kemungkinan akan lebih lama jika ditangani oleh manusia. Sampai di sini,
kita sebaiknya memahami bahwa pekerjaan sekelas customer service pun bisa
digantikan oleh mesin buatan manusia, meski hingga saat ini masih sebagian yang
diambil alih. Padahal, pekerjaan ini sejatinya masuk dalam kriteria yang tidak
dikhawatirkan sebagaimana disebutkan dalam artikel di situs World Economic
Forum di atas.
Menyoal masalah ini dari sisi ketenagakerjaan sesungguhnya
mengkhawtirkan. Bayangkan berapa tenaga kerja akan kehilangan mata
pencahariannya. Tidak sampai di situ, berapa banyak mulut yang kemudian
tersendat asupan gizinya akibat tulang punggung mereka disingkirkan mesin-mesin
yang seharusnya mempermudah kehidupan mereka. Saat itu terjadi, jika tak
diantisipasi takkan lama lagi, chaos kemungkinan besar terjadi.
Lalu, sampai di mana antisipasi pemerintah? Sependek
pengetahuan penulis yang amat terbatas ini, aturan tentang mesin atau robot
atau kecerdasan buatan sebagai tenaga kerja sama sekali belum ada. Padahal
tanpa adanya aturan, konflik seperti akibat transportasi online kemungkinan
besar akan terjadi.
Bahkan konfliknya kemungkinan akan lebih besar mengingat
yang dipertaruhkan adalah jutaan jiwa yang hilang pekerjaan. Asumsinya, jika
chatbot berkembang dan pemerintah tak tanggap maka industri manufaktur pun
kemudian akan dengan leluasa menginvestasikan dana untuk memanfaatkan robot
alih-alih memberdayakan buruh yang terkenal susah diatur dan doyan demo.
Penulis berpendapat bahwa makin cepat pemerintah
mengantisipasi masalah ini makin rendah potensi chaos di masa depan. Karena
kemajuan teknologi adalah keniscayaan, maka yang bisa dilakukan pemerintah
adalah mengeluarkan regulasi yang mengadopsi kemajuan namun tak mengorbankan
tenaga kerja manusia biasa.
Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan melindungi
industri yang bersifat “hajat hidup orang banyak” terbebas dari sebuan bot.
Pembatasan pemakaian robot dan kecerdasan manusia mutlak diperlukan demi
melindungi manusianya. Ingat, tujuan kemerdekaan kita sebagaimana dipahat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Adapun bidang ekonomi lain yang juga sebaiknya dilindungi
dari serbuan “tenaga kerja buatan ini” adalah yang terkait pelayanan publik
seperti kesehatan dan pendidikan. Sebab, sentuhan dan emosi manusia akan sangat
diperlukan dalam bidang-bidang tersebut.
Selamat datang era kecerdasan buatan, semoga bangsa
Indonesia bisa memanfaatkannya bukan sebaliknya.
Tulisan ini pernah dimuat di lintaswarta.co.
0 comments: