Gehol dan Pemilu
Menantikan perubahan di Gehol sama dengan menantikan perubahan negeri ini. Lebih banyak yang skeptis daripada yang optimis. Maklum, dalam sejarah negeri ini, ketidaksesuaian janji selalu mengiringi setiap gelaran pemilu.
Banyak faktor yang membuat perubahan seolah mustahil. Pastinya, kita ikut andil di dalamnya. Tak mau ikut disalahkan? Tentu saja siapapun tak mau, tapi nyatanya perilaku kita sebagai masyarakat biasa ikut berperan dalam lambannya perbaikan negeri, bahkan kampung sendiri.
Yang pertama kita teramat mudah lupa. Lupa akan segala penyelewengan yang pernah dilakukan oleh mereka-mereka yang kita pilih. Saking mudah lupanya, kita dengan suka rela memilih kembali mereka yang nyata-nyata ingkar janji. Maka aneh jika kita tetap marah padahal kita tahu dahulu mereka juga menipu?
Yang kedua, kita ikut-ikutan oportunis, alias memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin. Secara sadar kita ikut menikmati guyuran uang yang sebenarnya diharamkan dalam setiap pemilu. Namun, jiwa oportunis kita dengan sadar mengatakan bahwa pemberian calon pemimpin itu wajib diterima. Bahkan, kita dengan segenap kesadaran berusaha mencurangi mereka yang memberi dengan menerima pemberian namun menolak memberi suara. Jadi, kenapa marah jika dicurangi pemimpin jikalau kita juga mencurangi mereka?
Yang ketiga, kita tidak peduli dengan visi misi dan program yang ditawarkan ci calon pemimpin. Kita dengan sadar sudah mencap mereka yang kampanye hanya menawarkan janji tanpa mungkin ditepati. Padahal, tidak semua calon pemimpin pasti mencurangi rakyatnya bukan.
Yang keempat apatis, alias tidak mau peduli dan ikut serta dalam memperbaiki negeri atau kampung. Kita dengan sengaja menjauhkan diri dari hal-hal yang semestinya kita ikut serta. Jika ada program memajukan daerah, kita dengan segera menjawab bahwa itu tugas pemerintah. Kita tak mau tahu dan hanya bisa menuntut. Padahal, sehebat apapun sebuah negara, peran rakyat tentu adalah yang utama. Salah satu yang biasa dilakukan kaum apatis ini adalah golput. Tak mau memilih, tapi dengan segera mencela jika yang terpilih tak sesuai harapan.
Yang kelima hanya ingin enaknya saja. Sejak awal, kita menolak semua yang dilakukan pemimpin dan aparat negara dengan alasan yang dibuat-buat, mulai dari akidah sampai sistem yang tidak benar. Mengenai pemikiran bahwa sistem negara tidak sesuai dengan akidah, lalu kenapa kita tidak mau mengubah yang dekat dengan kita selagi kita bisa? Kenapa harus menunggu sistemnya benar baru kemudian berbuat?
Nah, dari yang kelima itu, masuk yang manakah kita? Semoga tidak masuk kelima-limanya.
Hidup Enggan Mati Tak Mau kang
ReplyDelete