Saya Gak Suka SBY, Tapi Dukung AHY


Peperangan antara Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo kembali digelar. Kali ini, DKI Jakarta yang menjadi arena ketiganya. Siapakah yang bakal menjadi pemenang?

Sejak awal, Mega melalui kuasa mutlaknya di PDIP telah tercium hendak mencalonkan petahana yakni Basuki Tjahaya Purnama yang punya nama beken Ahok. Manuver Gerindera dan PKS di satu poros dan Demokrat di poros lainnya membuat pilgub DKI kali ini seru sekaligus adem. Seru karena beberapa nama muncul di detik-detik akhir. Adem karena polarisasi dua kubu yang diprediksi di awal justru menguap.

Keseruan muncul ketika ada nama Anies Baswedan yang pernah menjadi menteri pendidikan di era Jokowi kemudian digandeng oleh Gerindera dan PKS untuk menjadi DKI-1 bergandengan dengan Sandiaga Uno yang sejak beberapa bulan lalu memang mendeklarasikan diri hendak menjadi calon gubernur. Di Cikeas, kejutan tak kalah serunya. Adalah nama Agus Harimurti Yudhoyono yang kemudian diusung bergandengan dengan Sylviana Murni. 

Pertandingan Seru Namun Sejuk
Munculnya Anies dan Agus berpotensi menghadirkan pertandingan seru. Nama-nama yang santer di awal seperti Yusril dan bahkan Rizal Ramli menguap begitu saja. Tak peduli apa yang terjadi di balik itu, namun kemunculan dua nama di awal dari Koalisi Kartanegara dan Poros Cikeas patut disyukuri. 

Andai saja kedua koalisi tersebut bersatu dan mengusung satu nama, misal YIM, maka gesekan di akar rumput bisa berdarah-darah. Seru namun panas. Dikotomi kafir dan muslim bisa berkembang ke arah yang anarkistis dan pastinya siapapun tidak ingin DKI Jakarta menjadi medan berdarah anak-anak negeri. Beruntung, SBY dan Prabowo memiliki jiwa negarawan yang patut diapresiasi kali ini. (Ini pujian tulus kok, biasanya saya gak pernah muji mereka). 

Lalu di antara Anies dan Agus, siapakah yang menarik perhatian dan patut dikasih kesempatan, jawaban saya adalah Agus HY. Ahok dengan segala kelebihan dan nilai positifnya dalam membangun Jakarta, sadar atau tidak mulai tergeruk popularitas dan elektabilitasnya. Semua kebaikan dia di mata banyak pihak kian menipis ketika dia tak mampu juga mengelola komunikasi yang baik dengan warga. Dengan berbekal kebenaran versinya, semua pihak dilabrak oleh Ahok. Bahkan jikapun dia nabi, sejatinya melabrak semua pihak yang dianggap berseberangan belum tentu patut dilakukan. Labrak sana-sini kemudian kian berkembang menjadi semacam kewajiban oleh para pengikutnya.

Anies yang berpengalaman di bidang pendidikan hingga kemudian menjadi menteri bidang tersebut memang sosok yang cerdas, santun, dan terkenal bersih. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan menembus birokrasi kita yang bebal. Jadi, mohon maaf jabatan Gubernur DKI yang begitu besar kuasanya ini belumlah cocok untuk orang seperti Anies.

Lalu pilihan saya Agus HY, meski saya gak pernah suka sama bapaknya, patut diberi kesempatan memimpin Ibukota Indonesia ini. Sosok ini merupakan sosok baru yang benar-benar segar. Namun bukan berarti dia anak ingusan seperti yang dituduhkan. Bagaimanapun, menjalani pendidikan di sekolah militer dilanjutkan dengan meraih gelar di luar negeri adalah bukti bahwa dia bukan anak ingusan. Dia berpengalaman memegang komando, sesuatu yang cocok untuk memerintah negara yang masih semidemokratis dan semifeodal ini.

Jadi DKI Jakarta, bersiaplah punya pemimpin yang muda, segar, dan terbiasa memegang tongkat komando ini kan?



Sekolah Seharian? Boleh Saja, Asal Bapak dan Ibu Sejahtera


Konon, setiap pergantian menteri pendidikan di republik ini merupakan kabar buruk bagi para siswa seantero negeri. Bahkan, orang tua yang sudah pusing menghadapi hidup juga akan terpaksa mengernyitkan dahi melihat kebijakan para menteri baru. 

Ternyata, hal tersebut bukan isapan jempol belaka. Menteri terbaru dari kabinet yang baru seumur batita ini membuktikan dengan senang hati. Kebijakan terbaru yang konon masih wacana tersebut adalah sekolah seharian. Artinya, murid-murid menghabiskan waktunya di sekolah dengan aneka kegiatan mulai belajar hingga entah apa saja.

Bagi saya pribadi, kebijakan tersebut boleh-boleh saja asal ada kajian ilmiah yang mendukung. Berikanlah segenap rakyat Indonesia argumen yang masuk akal untuk meyakinkan bahwa dengan sekolah seharian anak-anak negeri ini akan jadi pemimpin atau setidaknya mampu menjadi solusi di masyarakat. Pastikan pula kepada kami yang sedang kebingungan ini bahwa konsep tersebut kemudian bisa menjadikan rakyat negeri ini makmur sejahtera. Jangan seperti sekarang, konsep ini dikenalkan dengan segudang janji bahwa anak-anak akan ini dan itu. Wahai bapak professor, kami sudah kenyang dengan janji.

Yang kedua, saya sebagai orang yang menghabiskan masa sekolah di kampung, konsep tersebut terkesan omong kosong. Bagaimana mungkin saya bisa sekolah seharian sementara orang tua berpeluh ria di kebun demi menghidupi keluarga. Mustahil juga menolak godaan bermain bersama-sama dengan teman baik di kali maupun di halaman. Adalah tidak bijak juga jika sekolah seharian kemudian anak-anak kehilangan masa-masa mengaji di surau. Bahwa Pak Menteri kemudian hendak mengundang guru ngaji ke sekolah itu memang bisa. Tapi tetap saja nuansa yang dirasakan anak-anak akan berbeda ketika mereka mengaji di madrasah atau surau.

Jadi, daripada memberikan konsep yang membuat anak-anak merasa jadi kelinci percobaan lebih baik Pak Menteri fokus bagaimana caranya agar sekolah-sekolah negeri memberikan pembelajaran yang berkualitas. Jika melihat puluhan sekolah di mana saya tinggal sekarang, maka bisa dikatakan kualitas adalah hal yang hilang pascakebijakan sekolah gratis diluncurkan. 

Karena anak-anak bersekolah dengan gratis, maka banyak hal-hal yang kemudian dijadikan tambang uang oleh sekolah dan oknum guru. Misalnya saja saat pelajaran menggambar, maka semua siswa wajib membeli kertas yang disediakan guru dengan harga berkali lipat dari harga pasaran. Bukan hanya itu, para siswa kemudian diwajibkan menerima les dari guru masing-masing demi mendapatkan nilai memuaskan. Padahal, saat jam sekolah para guru punya waktu leluasa untuk melakukan hal itu.

Jadi Pak Menteri, dengan waktu sekolah yang kadang hanya dua jam saja sudah banyak uang yang dikeluarkan orang tua murid, apalagi jika sekolah seharian penuh? Seandainya kesejahteraan masyarakat sudah cukup, kemungkinan hal itu bisa dilakukan. Tapi Pak, sekali lagi pikirkanlah bagaimana para siswa yang hanya akan mendapatkan lingkungan monoton.