Tak Ada Yang Hebat Sejak Orok!

Berkali-kali dan entah sampai kapan harus membuat artikel demi melepaskan segala kejengkelan hati. Salah satu yang sering sekali membuat hati jengkel adalah penanaman logika dalam sinetron. Meski masuk ranah fiksi, namun karena terkadang mengambil fakta sebagai acuan dan disebarkan tanpa ampun kepada massa, maka mau tak mau menimbulkan jengkel. Bahkan muak!

Kini, sinetron di beberapa stasiun TV menampilkan sosok hebat di masa lalu dalam bentuk anak-anak. Tercatat mulai "Raden Kian Santang" hingga "Joko Tingkir" digambarkan begitu digdaya bahkan sejak mereka melihat dunia. Palsu dan dusta, tentu saja.

Sebagai hiburan, yang sayangnya sedikit sekali pilihan yang lebih baik, sinetron berlatar sejarah dengan mengagungkan kehebatan seseorang sejak mereka lahir tentu saja berbahaya. Hal ini mengerdilkan logika masyarakat yang harus menerima opini bahwa kehebatan seseorang selalu berkaitan dengan keajaiban bahkan sejak ia masih di rahim ibundanya.

Mengambil tokoh yang mengharu biru sejarang bangsa dengan gambaran demikian tentu saja memuakkan. Sekali lagi instanisasi bukan hanya melanda materi, namun juga kecerdasan seseorang. Sebuah pengkhianatan bukan saja kepada sejarah yang telah terbentuk dan dengan susah payah dituliskan para leluhur, namun juga kepada para orang tua yang dengan sekuat tenaga berusaha membuat anak mereka lebih baik.

Dengan menggambarkan bahwa kelebihan seorang pemimpin semata adalah anugerah, bukan tanpa usaha akan menumpulkan kemauan anak-anak bangsa. Massifnya gambaran tentang anugerah adalah hal utama dalam membentuk karya seseorang tentu mengkhawatirkan. Di saat semua stasiun TV menggambarkan hal yang serupa, maka para penikmatnya lambat laun termakan "logika" sesat tersebut.

Entah hanya demi mendongkrak pendapatan semata atau memang ada misi lain, gencarnya televisi menggambarkan tokoh ternama dalam sejarah bangsa yang hebat sejak orok ini seakan menganulir kisah-kisah lebih sahih tentang bagaimana perjuangan seseorang hingga dikenal sejarah seperti sekarang ini. Tengok saja ilmuwan sepanjang jaman, Albert Einstein, yang mesti dicap tolol di masa kecil sebelum akhirnya dengan memadukan anugerah dan kerja keras mampu menjadi ilmuwan terhebat hingga saat ini. 

Logika dangkal sinetron tersebut juga menihilkan perjuangan para nabi, yang meski dianugerahi aneka keajaiban oleh Tuhan, tetap berpeluh keringat dan darah dalam membesarkan ajaran yang diembannya. Semua dianulir oleh penyajian tokoh hebat di masa lalu yang sudah hebat sejak lahir. Hanya sedikit usaha yang dibutuhkan mereka karena sejatinya mereka sudah ditakdirkan hebat.


Bencana Ular "Tepung Gelang" dan Uroborus

Ada dongeng kuno yang selalu terngiang di telinga tentang hadirnya bencana besar yang diakibatkan Gunung Slamet meletus di kampungku. Uniknya, hal yang sama akan terjadi juga di Gunung Sagara alias Gunung Kumbang, padahal gunung ini diketahui bukan gunung berapi, setidaknya kini.

Cerita tersebut memiliki garis besar yang sama dengan dongeng Naga Baru Klinting yang menurut sahibul hikayat menjadi lantaran adanya danau Rawa Pening. Ya, ular tepung gelang. Dongeng inilah yang selalu didengungkan leluhurku, setidaknya padaku, sebagai penyebab bencana besar.

Ular tepung gelang sendiri adalah ketika seeokor ular yang melingkari gunung tertentu mampu mempertemukan ekor dengan kepala tanpa bantuan lidah. Di versi Baru Klinting, hal ini diajukan sebagai syarat sang naga untuk mendapatkan pengakuan dari Aji Saka. Versi lainnya menyebutkan syarat itu harus dicapai untuk menjadi manusia.

Di kampungku lain lagi, jika sang ular yang memeluk Gunung Slamet dan Gunung Sagara berhasil mempertemukan kepala dan ekornya maka bencana besar akan terjadi. Gunung Slamet akan meletus sehingga membelah Pulau Jawa menjadi dua. Sementara jika ular yang memeluk Gunung Sagara mampu tepung gelang, maka danau atau sagara yang terpendam di dalamnya akan muncul sehingga menimbulkan banjir bandang yang memakan korban ribuan.

Mari beranjak dari dongeng tersebut, karena ada hal menarik yang juga disimbolkan melalui ular dan terkait dengan bencana atau setidaknya perubahan yang dramatis. Uniknya simbol ini berasal nun jauh dari Yunani sana sejak jaman kuno. Hal tersebut terdapat dalam simbol Uroborus, simbol ular yang memakan ekornya. 

Sama seperti ular tepung gelang yang disimbolkan akan menghadirkan era baru meski harus melalui bencana dahulu, demikian juga dengan simbol uroborus. Simbol ini secara umum mengambil ular sebagai penanda karena ular dianggap bisa menjadi baru. Hal ini mengingat ular bisa berganti kulit. Ouroboros merupakan pembaharuan siklis abadi hidup dan tak terbatas, konsep keabadian dan kembali abadi, dan merupakan siklus kehidupan, kematian dan kelahiran kembali, yang mengarah ke keabadian. Menghadirkan yang lebih baik meski melalui "chaos" terlebih dulu.

Bencana yang hadir setelah ular tepung gelang maupun pemaknaan siklus kehidupan dari Uroborus pada intinya sama. Keduanya mengingatkan kita bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, terkadang banyak kepahitan yang harus dilewati.

Serba Salah di Pilkades

Sesaat lagi perta demokrasi di Gehol akan diselenggarakan. Tiga calon, yang sayangnya jauh dari ekspektasi masyarakat akan pemimpin yang baik, amanah, dan bervisi cerdas, telah mendaftar. 

Dari ketiga calon, masa lalu dan track record mereka selama bermasyarakat boleh jadi akan menjadi ganjalan terbesar. Namun, karena skor mereka sama-sama buruk, maka masalah figur tidak lagi menjadi kunci meraih Sindangwangi 1. Ada kekuatan lain yang bakal lebih menentukan, pertama uang, kedua psikologis pemilih, dan ketiga tokoh pendukung.

Untuk masalah uang, para calon terkesan hati-hati jikalau tidak disebut pelit. Makin kritisnya masyarakat terhadap politik dan politikus, membuat uang tidak mudah mengalir menuju pemilih. Jika mereka menghamburkan uang, maka balas budi apa yang nanti harus dipikul desa untuk mengembalikan modal calon akan jadi pertanyaan pertama di benak masyarakat. Apalagi, ketiga calon wajib menyetorkan uang sebagai mahar pencalonan kepada panitia pemilihan yang dibentuk desa. 

Sayangnya, jika terlalu pelit, maka benak masyarakat akan kembali menanyakan sejauh mana kemampuan si calon dalam menyejahterakan rakyatnya. Dilematis memang, jika jor-joran dianggap potensial untuk korupsi sementara jika pelit akan dianggap tidak layak mejadi seorang pemimpin. Teori bahwa pemimpin harus kaya sudah kadung melekat dalam benak tiap rakyat di negeri ini.

Faktor kedua adalah psikologis pemilih. Tentu saja ini akan terkait dengan kemampuan di atas meski tidak telalu signifikan. Hal lain yang amat penting dalam memengaruhi psikologi pemilih adalah kekerabatan, blok, dan faham. Untuk kekerabatan, hal ini lumrah dan bahkan caleg DPR sekalipun akan mencantumkan dan memajang foto kerabat yang dianggap berjasa demi ketiban pulung mendapat suara. 

Terkait blok dan faham akan sangat rawan karena ego ini kadang sulit dipadamkan. Fakta bahwa beberapa kades berasal dari garis turunan tertentu, dari blok atau dukuh tertentu, dan faham tertentu akan melahirkan psikologi massa yang antipati terhadap turunan, blok atau dukuh, dan faham apalagi jika kades terdahulu minim kontribusi.

Faktor ketiga tentu saja ketokohan para pendukung yang ada di belakang para calon kades. Yang terakhir ini akan menentukan untuk meredam kekuatan uang, mengendalikan psikologi massa, sekaligus mendongkrak nilai positif figur calon yang tadinya penuh dengan "dosa" masa lalu. 

Sayangnya, justru faktor tokoh di belakang layar inilah yang paling berbahaya. Jika sang kades kemudian berkuasa, maka bisa dipastikan ia akan jadi "pelayan" demi kepentingan tokoh berpengaruh tersebut. Jika si tokoh baik, maka kemaslahatan kampung jadi ikut baik. Jika si tokoh mementingkan diri sendiri, maka sudilah kiranya rakyat menunggu lebih lama untuk sejahtera.

Yang pasti, dengan tidak adanya figur "bersih" maka setidaknya rakyat sudah siap dengan kemungkinan terburuk. Bukankah akan lebih mudah menerima kenyataan jika dicurangi penjahat daripada dikadalin ustadz?

Pulang Kampung ke Gehol

Setelah beberapa hari di kampung tercinta, banyak yang sudah diceritakan. Banyak pula yang sudah dihubungi. Jawaban dari beragam pertanyaan belum juga didapat.

Selain musibah dan skandal, kampungku ternyata banyak mengoleksi aneka kebingungan. Kebingungan mencari pemimpin, kebingungan mencari jati diri dan kebingungan membiayai diri sendiri. Khas Indonesia, khas kita saat ini.

Cerita selanjutnya, kaupun mudah menebaknya.

Lebaran dan Agustusan di Gehol

Warga Gehol setidaknya punya dua momen istimewa yang wajib dihadiri. Dua momen ini memiliki peran silaturahmi yang teramat penting dalam dinamika sosial di Gehol, setidaknya hingga dekade 90-an. Keduanya adalah kalender wajib bagi para perantau untuk pulang kampung. Juga momen wajib bagi para orangtua melaksanakan pekerjaan berat mereka bagi anak-anak, baju baru.

Momen yang pertama terkait dengan religiusitas para warga Gehol, Lebaran. Yang ini hingga kini masih menjadikan momen utama perantau mudik. Bahkan, Lebaran adalah kalender resmi warga Gehol secara de facto. Warga Gehol, kebanyakan memulai segenap usaha pascalebaran dan menjadikan Lebaran sebagai puncak dari segenap usaha yang dilakukan. Lebaran adalah 0 kilometer warga Gehol dalam meraih rizki sekaligus kilometer puncak dalam rangka menikmati rizki.

Meski Lebaran kian hari kian terasa pendek durasinya, tapi momen ini tetap jadi momen utama berkumpul bersama keluarga. Jika dahulu Lebaran jadi momen berkumpul bersama warga kampung melalui acara salaman layaknya semut, kini salaman pada kawan sekampung cukup lewat pesan berantai. Jikapun bertatap muka, maka klakson jadi penanda bahwa semua salah dan dosa pada yang bersangkutan luruh. Maka, salaman menjadi ekslusif sebatas keluarga saja, di sela-sela menonton layar smartphone atau TV. 

Yang paling menyedihkan tentu saja mereka yang telah berpulang. Jika dulu keluarga yang ditinggalkan dengan susah payah mencapai makam dengan berjalan kaki sehingga acara doa akan lebih lama sekaligus ajang istirahat, kini mengingat yang telah tiada cukup sekejap saja. Motor dengan digdaya membuat warga Gehol ogah berlama-lama di pekuburan. Motor dan mobil pulalah yang menghilangkan tradisi memasuki setiap rumah di kanan-kiri jalan saat pergi dan pulang pemakaman. Jayalah teknologi.

Momen kedua yang kini mulai pudar adalah HUT RI atau biasa disebut Agustusan. Dahulu, momen ini adalah momen wajib hadir sebagai penanda nasioanalisme dan kebanggaan akan desa. Sorak sorai warga sudah ada sejak upacara dimulai hingga sore tiba. Aneka kesenian warga ditampilkan, meski kebanyakan kesenian dadakan. Warga berkarnaval ria menyajikan aneka kreasi dan kegilaan yang selama ini terpendam oleh kesibukan mencari penghasilan.

Kini, Agustusan khusus milik anak sekolah dan para pegawai negeri. Masyarakat kebanyakan cukup menyaksikannya lewat TV, dan para perantau berbahagia karena bisa libur dan bersantai tanpa beban. Semua hiburan sudah diambil alih TV sehingga seremonial dan aneka seni Agustusan dianggap sebagai pemborosan anggaran belaka. Jayalah teknologi.

Mungkin satu-satunya yang bisa menikmati dua momen ini adalah anak-anak. Jika dahulu anak Gehol kebanyakan menyandarkan pergantian baju baru pada dua momen ini, maka kini mereka bebas meminta kapanpun. Meski belum tentu juga dikabulkan orangtua masing-masing. Yang pasti Lebaran masih identik dengan baju baru. Sementara Agustusan, bahkan momen inipun sudah banyak anak yang tak peduli.

Lebaran dulu adalah momen membeli baju baru keluaran terbaru. Agustusan adalah momen ganti baju sekolah. Kini, kapanpun ada model baru, anak-anak bebas merengek. Sedangkan untuk baju sekolah, pihak sekolah telah berhasil mengambil alih.

Jika Agustusan kini mulai hilang dan ingin dilupakan karena dianggap seremonial belaka dan berujung pemborosan, bisakah Lebaran bisa bertahan dari stigma tersebut? Gehol masa depan akan menjawab.





Gehol dan Buku Ramadhan

Ramadhan datang maka yang paling senang adalah anak kecil, termasuk anak sekolah. Hanya saja, masih ada yang kerap merusak kesenangan tersebut, salah satunya Buku Kegiatan Ramadhan. Tentu saja, bagi saya pribadi buku ini teramat membebani.

Buku Kegiatan Ramadhan adalah catatan amal yang kelak disetorkan kepada guru agama masing-masing. Aneka kegiatan mulai dari taraweh, kultum, jumatan, dan ibadah lainnya selama Ramadhan ditulis dan ditandatangani pembicara, imam, dan petugas lainnya. Masih adakah jaman sekarang? Semoga tidak!

Kenapa membebani? Bagi siswa miskin seperti saya, menyambut Ramadhan adalah kesenangan luar biasa sebab dalam bulan tersebut, keluarga sekuat tenaga menyajikan makanan terlezat. Minimal di minggu-minggu pertama puasa. Bayangkan, belum juga ada jaminan bahwa puasa perta alias munggahan bakal dapat makanan enak, pos keuangan langsung tergerus oleh pembelian buku ini. Menyedihkan bukan?

Tapi namanya anak-anak, membawa buku ini setiap kali ke mesjid tentu saja bukanlah bebas. Toh namanya juga di kampung, yang mengisi ceramah tentu saja tetangga sendiri. Jadi, saat minta tanda tangan, ya ibarat minta tolong sama tetangga. Apalagi karena minimnya dana mesjid dan mushola, maka ceramah pun ya seniatnya yang mengisi saja. Jika sang kyai ada keperluan, maka jemaah dengan sukarela pulangh ke rumah masing-masing. 

Kemangkelan terhadap buku ini bagi saya pribadi terjadi saat-saat kulaih subuh. Waktu kultum yang dari namanya harusnya tujuh menit, melebar sesuka hati bahkan bisa jadi tujuh puluh menit. Mengganggu sekali, sebab alam liar anak-anak masih ingin bermain. Lucunya, kala subuh di bulan Ramadhan adalah waktu paling pas untuk jalan-jalan menyusuri jalanan aspal menuju kampung tetangga. Jalanan yang biasanya sepi ini, ramai sekali oleh anak-anak hingga remaja. 

Padahal, mau memandang apa di jalanan tanpa listrik pada pagi buta? Entahlah, Gehol memang penuh kejutan yang kadang anomali. Para remaja bisa dengan leluasa bertemu dengan kekasihnya di pagi buta tersebut. Tapi jangan salah, pacaran jaman dahulu adalah pacaran sangat sehat. Pria dan perempuan akan mebawa pasukan masing-masing, sehingga tidak ada namanya berduaan. Mereka ibarat pangeran dan putri, paling banter berjalan berdampingan dan kawan masing-masing membuntuti dari belakang.

Yang paling menyebalkan dari episode Ramadhan karena kehadiran Buku Kegiatan Ramadhan adalah, tidak diperiksa! Bayangkan berapa besar usaha yang dilakukan agar bisa memenuhi petunjuk sang guru melalui buku tersebut? Berdesakan meminta tanda tangan pada imam dan pengisi ceramah setiap malam dan pagi buta. Juga kembali berdesakan saat Jumatan. Tentu saja saat pembagian zakat fitrah pun melakukan hal yang sama. Tapi semua sia-sia belaka. Jangan lupa, semua ringkasan ceramah dibuat dengan sebaik yang bisa dilakukan.

Buku tersebut, berjalan dengan waktu dan bersamaan dengan berakhirnya Ramadhan hilang dari ingatan. Guru agama yang dengan sedikit mengancam agar semua siswa membeli, tak pernah lagi menyinggung buku yang bentuknya sudah tak karuan karena seringnya menghadapi udara lembab malam dan pagi. Belum karena ikut berdesakan layaknya sang pemilik.

Semoga Ramadhan Gehol tidak lagi dibebani buku yang sejatinya tidak diperlukan tersebut. Yang jelas, pagi setelah subuh anak-anak yang biasa berkeliaran di jalanan saat pagi buta kini hampir semuanya dewasa. Penerus tradisi jalan-jalan pascasubuh mungkin sudah punah. Motor sudah berkeliaran dan dimiliki hampir separuh warga Gehol, menjadikan kaki sukar dibawa berpeluh.

 



Dicari! Calon Kades Melek Socmed

Kabar mengejutkan datang dari beberapa desa di Brebes terkait dengan agenda rutin mencari pemimpin desa. Tercatat ada beberapa desa yang minim peminat dengan alasan yang paling banyak adalah mahalnya biaya. Maklum, kini biaya pilkades dibebankan kepada mereka yang mencalonkan. Biayanyapun beragam, tergantung seberapa banyak warga yang punya hak pilih di desa terkait.

Biaya ini dirumuskan oleh panitia pilkades yang tentu saja berasal dari desa masing-masing. Panitia inilah yang merumuskan RAB alias Rancangan Anggaran Biaya. Masalahnya, panitia menganggarkan kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk sementara sumber pendapatannya hanya sedikit yang ditanggung APBD. Artinya, dana akan dibebankan kepada calon dan anggaran desa.

Disini masalahnya, jika calonnya sepuluh tentu akan kian ringan. Namun jika hanya satu calon yang mendaftar, maka bebannya tentu akan lebih berat. Masalah berikutnya adalah, biaya itu belum tentu sesuai dengan ekspektasi. Misalnya, ada 9.500, tentu saja biaya akan didasarkan pada jumlah hak pilih tersebut. Demi menjaga hal tidak diinginkan, panitia tentu akan menganggarkan beberapa persen untuk biaya tak terduga. 

Pertanyaannya? Berapa yang pasti akan ikut menggunakan hak pilih mereka? Pastikah mereka akan hadir semua? Sebab, kini kesejahteraan susah didapat di desa, maka bisa dipastikan lebih dari 30 persen pemilik hak suara ada di luar desa mereka dalam rangka merantau. Karena biaya pulang tak sedikit, maka dijamin tidak semua yang merantau mau pulang hanya untuk memilih calon kepala desa mereka.

Mahalnya biaya untuk menyelenggarakan pilkades tentu akan menangguk masalah di masa datang. Sebab hampir pasti, keluarnya modal akan dianggap investasi oleh sang calon. Apalagi, biaya kampanye mereka tentu juga harus diperhitungkan. Lalu, sebandingkah nilai puluhan juta hanya untuk menjadi kepala desa lima tahun? 

Demi meminimalisir banyaknya golput akibat para perantau enggan pulang yang artinya menghamburkan anggaran, sebaiknya para kades mulai melirik sosial media sebagai alat mereka mendulang suara. Jika hanya mengandalkan mengumpulkan massa agar datang ke rumahnya, tentu saja ini sudah kurang efektivitasnya. Dengan sosial media, minimal mereka bisa menyampaikan pesan kampanye mereka pada pemilik suara yang tersebar di seantero negeri. Ini juga meminimalisir biaya yang harus ditanggung. Soalnya, biaya mengelola akun sosial media lebih murah ketimbang mengundang penduduk se kampung.

Menarik sekali jika calon kades memiliki akun Facebook atau Twitter yang bisa diakses oleh semua orang. Visi dan misi mereka pastinya bakal lebih teruji, sebab sosial media adalah lapangan yang kejam terkait adu opini. Ibaratnya, sang calon akan siap memimpin desanya jika ia berhasil menaklukkan para pemilih potensial di sosial media.

Beranikah bakal calon kades Gehol memiliki akun Facebook? Patut dinanti.

Derita Dibasuh Balsem

Sebenatar lagi BBM naik, sebuah kepastian yang diguratkan oleh pemangku negeri dengan alasan melindungi negara dari makhluk bernama bangkrut. Beralasankan bahwa subsidi hanya dinikmati oleh orang kaya, maka bahan yang biasa digunakan untuk memudahkan mobilitas warga ini dengan senang hati diluluskan para perwakilan rakyat untuk dinaikkan.

Apakah warga Gehol terganggu? Tentu saja ia, meski gangguan tersebut dapat dengan cepat dibasuh ucapan syukur karena masih bisa menghirup udara secara gratis. Mungkin, di masa datang yang satu inipun akan dipungut biaya. Masalahnya, bagi warga Gehol adalah seberapa mampu pemangku negeri menggantikan kejutan tersebut dengan hal menyenangkan? Maka, marilah kita lihat bagaimana warga Gehol menyikapi BLSM, alias balsem.

Sudah tak terhitung program pemerintah yang bertujuan mengentaskan kemiskinan diberikan pada warga Gehol, seperti warga negara Indonesia lainnya. Lalu, apakah kemiskinan dari Gehol sudah enyah? Tentu saja belum, ia masih bercokol hampir di sebagian besar warga yang mendapatkan berkah dari Sungai Cigunung ini. Tengok saja raskin yang menurut sahibul hikayah pernah menggegerkan warga kampungku yang bersahaja tersebut. Lalu, ada PNPM yang juga seperti biasa, kehadirannya disambut dengan sangat bahagia oleh para aparat, bukan warga.

Kini, ketika pemerintah menelurkan BLSM alias balsem, apakah bisa efektif mencegah kemiskinan kian dalam di kampungku? Jawabannya tentu saja tidak akan. Kenapa? Karena seperti biasa, kebijakan ini cenderung reaktif daripada solutif. Sesungguhnya, warga Gehol memang tidak terlalu banyak mengonsumsi BBM bersubsidi. Paling banter mereka hanya memiliki sepeda mootor dengan cc kurang dari 250cc. Ada juga yang punya mobil, namun biasanya mereka adalah kaum ningrat atau yang meningratkan diri karena punya sumber daya lebih dari sesama. So, apasih yang dibutuhkan warga kampungku tercinta?

Satu hal yang membuat mereka pantas kesal adalah terbengkalainya sarana mereka untuk beraktivitas. Jalanan yang buruk adalah sesuatu yang harus dihadapi setiap hari. Susahnya birokrasi adalam mimpi buruk yang wajib diterima tanpa bisa mengeluh apalagi komplain. Masih kurang? Tengok berapa jarak yang harus mereka tempuh hanya sekedar mengurus akte kelahiran, SIM, dan aneka surat penting yang hanya bisa dilakukan di ibukota kabupaten. Menyusahkan!

Jaminan kesusahan ini tentu saja tak sebanding dengan jumlah balsem yang diiming-iming pemerintah. Belum lagi absennya jaminan pekerjaan yang layak, kesehatan yang terjangkau, dan perekonomian yang lancar. Di kampungku, absennya pemerintah dalam melancarkan kehidupan adalah sebuah hal yang biasa. Tengok saja kantor kepala desa kami, aktivitasnya hanyalah kongko-kongko setengah hari. Maka, ketika ada tuntutan untuk diangkat jadi PNS mengemuka, gelak tawa warga tak terelakkan.

Masalah distribusi balsempun pasti akan memunculkan ketidakpuasan. Maklum, karena pemerintah terlalau lama absen dalam melayani, maka saat ada kesempatan pemangku negeri berbagi, semua orang merasa berhak sehingga terjadi rebutan. Dalam benak mereka, kapan lagi pemerintah berbuat baik? Sedangkan saat kampanye mereka hanya menjejali janji dan setelah menjabat janji menguap jadi mimpi. So, manfaatkan saja jika mereka berbagi, meski taruhannya pahit di masa datang. Sebab, masa kinipun sebenarnya sudah teramat pahit.

Jika saja jalanan bisa dilalui tanpa harus menyakiti badan, anak-anak muda dengan mudah mengais rejeki di kampung sendiri, harga pangan semurah para tengkulak membeli hasil bumi, warga Gehol sejatinya akan melipatgandakan syukur mereka. Juga melipatgandakan sifat pasrah dan menerima mereka, pada Tuhan, pada pemerintah, pada leluhur, dan pada siapa saja yang mau berbagi.

Maka, marilah kita tunggu geger baru dari balsem ini.



Privasi di Gehol

Jika ada organisasi sekaliber NSA meminta data pengguna internet termasuk yang biasa nongkrong di laman sosial media membuat warga dunia geger, mungkin Gehol perkecualian. Bukan karena orang-orang Gehol buta akan teknologi, bukan pula karena mereka tak empati dengan perjuangan si Edward Snowden. Semata karena bagi warga Gehol, privasi itu, sudah sejak lama melebur dalam keseharian sosial mereka.

Warga Gehol sejatinya sudah bosan dengan mata-mata dan hal-hal terkait intelijen. Jaman kemerdekaan dulu, tak sedikit warga Gehol yang menorehkan nama dalam rangka menegakkan republik ini. Belanda dan Jepang entah sudah berapa kali mengirimkan teliksandi demi memuluskan operasi. Miris memang, sebab sebagian besar penyusup adalah saudara sendiri.

Beralih pada jaman pemberontakan, Gehol tak luput dari kecamuk lara. Saat PKI mengobrak-abrik sendi-sendi negeri, entah berapa jiwa yang terpaksa tercerabut dari raga penduduk Gehol. Sejak kecil, cerita tentang pembantaian massal yang didahului aksi intel sudah sering didendangkan sebagai teman ngopi dan kumpul keluarga. Pun saat DI/TII bergulir, tanah Gehol kembali terpaksa menyerap banyak darah dan jasad yang harus tumpas akibat gejolak tersebut.

Semua pedih tersebut selalu tak lepas dari peran mata-mata alias intel. Mereka ada yang menyaru dengan sempurna, setengah sempurna, hingga bisa ditebak bahkan oleh otak sederhana warga Gehol. Bahkan hingga kini, orang-orang yang mengaku intel masih sering berkeliaran. Ada yang mungkin intel sejati, bisa jati cuma untuk menangguk duit dari rakyat yang lugu.

Pengalaman tentu saja adalah guru terbaik. Jadi, tatkala negeri Paman Sam didakwa memata-matai pemakai internet, apalah soal bagi warga Gehol yang sederhana ini. Bukankah, semua kehidupan tak bisa disembunyikan. Berapa banyak aib dan rahasia dapur yang berkelindan dari mulut tetangga satu ke yang lain? Di negeri dengan ramah tamah yang amat tinggi ini, rahasia adalah sesuatu yang mahal.

Warga Gehol tentu saja banyak yang memakai internet. Sosial media sudah akrab dalam kehidupan mereka. Tanpa ‘makhluk’ bernama internet, hubungan warga Gehol perantauan dengan sesamanya di kampung halaman bisa jadi tersendat. Lantas, kenapa mereka adem-ayem dengan retasan pihak yang kurang ajar yang merasa berhak mengetahui setiap rahasia hidup mereka? Karena warga Gehol adalah warga yang baik.

Sejak intel dalam wujud manusia blusukan di Gehol, satu-satunya rasa nyaman yang jadi pegangan mereka adalah kebenaran. Jika kamu benar, maka apalah yang ditakutkan? Kalimat ini adalah kalimat maha sakti yang terbukti membuat warga Gehol sedikit sekali bersentuhan dengan hukum. Mereka mampu menjaga diri dari jeratan ideologi PKI dan DI/TII. Mereka meski dibelit kemiskinan dan kesusahan yang sebagian diciptakanan oleh pemangku aturan, toh hingga kini mampu bertahan dan survive.

Jadi, jikapun benar bahwa privasi warga Gehol ditelanjangi, selama mereka dalam jalur kebenaran buat apa takut? Toh, yang diperangi adalah teroris, dan di Gehol teroris itu cuma bayangan.

Bersyukur dan Sukurin!

Bersyukurlah, begitu ungkap dan pesan setiap orang tua Gehol pada anaknya. Sesulit apapun kehidupan, kata syukur selalu tersemat. Tak peduli kau NU, Muhammadiyah, atau kaum yang jauh dari Mesjid model aku ini, kata syukur senantiasa wajib disebut.

Kata itu pula yang menguatkan kami, anak-anak Gehol dan tentu saja semua warga Gehol dimanapun berada. Tak peduli BBM naik, PNPM tak sampai, raskin di garong orang, atau e-KTP yang melelahkan tak kunjung jadi, warga Gehol tetap bisa tersenyum. Syukur masih bisa hidup dan menikmati hidup jauh lebih indah daripada si Paul Cumming yang kisahnya "mengerikan". 

Bagi warga Gehol, sesungguhnya kehadiran kebahagiaan telah melekat sejak mereka lahir dan besar di Gehol sana. Sistem yang sudah disematkan leluhur sesungguhnya dengan apik telah menyediakan kebahagiaan dalam arena kehidupan. Namun sistem itu diperkosa oleh cekokan materi. Maka, kini Gehol sudah mulai dirasuki hal-hal serba materi.

Jika dulu kau akan bahagia mengerjakan sawah dan kebun bersama tetanggamu, kini kau harus rajin menghitung seberapa anggaran untuk mereka. Liliuran yang diciptakan dengan penuh rasa syukur dan cinta sesama berubah menjadi ngabedug yang sejatinya komersialisasi tetangga sendiri. Miris. Begitu juga saat kau membangun rumah, tak ada lagi kajak dimana tetanggamu berkumpul sebab ikut bersyukur kau mampu bangun tempat berteduh yang layak. Kini, kajak diperkosa dengan sistem kerja harian yang sekali lagi menilai pekerjaan tetanggamu dari seberapa uang yang menurut umum layak diberikan.

Tapi, liciknya para pemerkosa sistem ini adalah kemampuan tetap mewajibkan warga Gehol bersyukur. Jika liliuran dan kajak dikomersialisasi antartetangga, maka kerid yang sejatinya adalah kewajiban pemerintah menyediakan fasilitas yang layak bagi warga Gehol justru dibebankan kepada warga Gehol itu sendiri. Sedih! Kerid dengan jumawa telah memaksa warga Gehol untuk aktif berpartisipasi membangun desa, sebuah kewajiban yang seharusnya dilakukan pemerintah.

Kini, ketika nestapa begitu sering menyapa kaum miskin, termasuk warga Gehol, pemerintah bisa jadi punya kerjaan. Tidak sengaja memang, mungkin juga tak ada niat. Seburuk-buruknya pemerintah, toh ada juga warga Gehol yang menjadikan dirinya abdi negeri ini. Menyandang status jempolan sebagai PNS, dimana masa depannya ditanggung peluh dan lelah warga Gehol yang taat pajak. Namun, banyak hal yang seharusnya mampu ditangani pemerintah yang justru terjadi kekosongan.

Kemana pemerintah saat warga Gehol berdiaspora ke kota-kota besar karena kebutuhan pekerjaan yang layak susah diperoleh di desa? Entah di mana pemerintah saat warga Gehol terpaksa blekukan menelusuri jalanan aspal berlumpur hanya sekedar untuk membuat akte lahir demi memastikan anaknya diakui negara? Lenyap, beserta janji-janji yang ditebar saat hendak menjabat.

Tapi, bukan warga Gehol namanya jika tak sanggup bertahan dari nestapa. Jika dilihat dari sejarah yang kuingat, warga Gehol yang bunuh diri sebab cengeng menghadapi kehidupan tak terangkum dalam sensus penduduk. Maka, saat pemerintah dengan lantang ingin menaikkan BBM, warga Gehol relatif tenang dan optimis menghadang masa depan. Jika sehari-hari mereka biasa ditinggal aparat, kenapa pula mesti menggantungkan harapan pada mereka yang terbukti keparat?

Sampai kapanpun, warga Gehol tetap akan tersenyum dan bersyukur, tanpa mengucapkan kata "sukurin" saat para perangkai nestapa terkena bala. Sukurin!








Terima Kasih "Odong-odong"

Kau bidadari turun dari surga ....

Itulah bait yang sudah seminggu ini dinyanyikan anak perempuanku yang berusia 3,5 tahun. Ia menyanyikannya setelah pulang dari rumah temannya yang berusia hanya setahun lebih tua. Setelah menyanyikannya, beruntung hanya sebait itu yang hapal, ia lalu menyebut-nyebut Coboy Junior. 

Masalah kembali muncul saat boyband bocah ini kemudian akan merilis filmnya di bioskop. Anakku kembali merengek bahwa ia ingin sekali menyaksikan film yang dibintangi oleh empat orang anak kecil yang menyanyikan lagu, yang menurut saya, aneh tersebut. Aneh mengingat anak-anak seusia mereka begitu fasih bersenandung tentang cinta dan kegombalan. Sesuatu, yang tidak mungkin ditemui saat saya kanak-kanak.

Saya masih beruntung sebab anak saya sudah terlebih dulu dijejali dengan koleksi CD bapak dan ibunya yang berisi Joshua, Trio Kwek-Kwek, dan sederet artis cilik jaman saya kecil. Juga beruntung karena dia sudah terbiasa mendengar lagu-lagu anak-anak, yang benar-benar diperuntukkan bagi anak-anak. Ia masih hafal lagu-lagu, Bintang Kecil, Kereta, Balonku, dan deretan lagu anak-anak wajib lainnya. Seandainya saya telat, mungkin semua lagu Coboy Junior dan bocah-bocah boyband atau girlband bisa-bisa dikunyah tanpa saringan.

Bayangkan, anak sekecil anak saya dengan fasihnya menyanyikan sebuah bait tentang merayu kekasih. Menyedihkan juga, jika seandainya anak saya yang masih berusia 3,5 tahun bersenandung tentang betapa indahnya cinta pertama. Padahal, untuk sekedar mencopot celana jeans saja ia masih kesulitan.Entah apa pula yang dirasakan orang tua jika anaknya yang ingus masih menempel di hidung dengan ceria bercerita tentang idolanya yang bisa jadi masih belum hapal bacaan Sholat.

Satu hal yang baru saya sadari adalah kontribusi tukang odong-odong. Setelah era industri yang menomorsatukan pasar ini, anak-anak seolah menjadi dunia yang ogah dilirik sama industri musik. Tiadanya ciptaan lagu anak-anak baru bukan satu-satunya hal yang bikin hati miris. Lihat saja aneka ajang pencarian bakat di negeri ini. Semua talenta seolah dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Hanya tukang odong-odong yang konsisten menyajikan lagu anak-anak.

Koleksi mereka lengkap untuk menemani anak-anak menaiki wahana yang mereka sajikan. Tentu saya sebagai orang tua sangat bersyukur, masih ada yang bisa menarik anak-anak untuk menyanyikan lagu-lagu yang diperuntukkan bagi mereka. Seandainya tak ada tukang odong-odong, mungkin anak-anak akan cepat bosan mendengarkan senandung lagu yang pas buat mereka. Bagaimanapun, magnet televisi telah begitu kuat menarik semua perhatian kita, termasuk anak-anak. 

Kuatnya televisi menyedot perhatian anak-anak adalah kian sepinya ruang terbuka yang ada di lingkungan kita saat primetime. Juga kian berkurangnya jamaah mengaji di surau-surau terdekat. Atau kian cepatnya, mereka pulang dari mengaji dan sekolah. Dan, terpujilah tukang odong-odong yang "hanya" demi uang ribuan, menyajikan wahana yang memikat hati anak kecil dan mengisi telinga serta otak mereka dengan lagu-lagu yang pas dengan usia mereka. 

Tentunya, ketekunan mereka wajib diapresiasi di tengah anggapan para penggarap industri hiburan yang menomorsatukan uang tanpa memerhatikan efek negatif sajian mereka bagi anak-anak. Ssalut!








Brebes, Diantara Kebo dan Jalan Blekukan

Pilkada untuk memilih Gubernur Jawa Tengah usai sudah. Pemenangnya adalah muka baru dari Partai Kebo alias PDIP. Meski secara definitive KPUD Jawa Tengah belum mengumumkan kemenangan Ganjar Pranowo, namun seluruh lembaga penyelenggara quick count menunjukkan bahwa langkah tokoh muda ini di Jateng 1 tak terbendung.

Kemenangan Ganjar cukup keren mengingat PDIP sempat “membuang” kader militant asli Jawa Tengah yang digadang-gadang bakal dijadokan jagoan. Rustriningsih, yang jadi kader PDIP militant dan popular di Jateng batal dijadikan jagoan karena dinilai Megawati “mbalelo”. Maka, kemenangan Ganjar patut diapresiasi, apalagi lawannya kali ini adalah incumbent sekaligus pensiunan jenderal yang didukung mesin politik solid dan sedang berkuasa.

Namun, bagi warga Brebes khususnya Gehol, kemenangan kaum muda dari PDIP belumlah tentu angin segar. Ingat! Saat ini Bupati Brebes yang baru seumur jagung memimpin G-1 juga berasal dari PDIP. Malangnya, buruknya insfratruktur di Brebes, terutama Brebes Selatan membuat langkahnya bak mendaki dinding terjal. Belum juga dilantik, Sang Bupati sudah digoyang pemekaran.

Beruntung, 2013 adalah tahun politik tahunnya siap-siap meraih sesuatu yang lebih oke di saat pemilihan nanti. Kini, para pegiat pemekaran menghilang mengembara membawa kepentingan mereka masing-masing. Buktinya, arena pilgub jadi pertaruhan. Yang sibuk omong pemekaran menyelinap di tiap-tiap tim sukses guna amankan kursi 2014 nanti. Nah, lengkap sudah derita Gehol bukan?

Gehol dan masyarakat Bantarkawung lainnya akan tetap tersaruk-saruk di jalanan penuh lubang dan lumpur. Rasanya sulit menghilangkan “blekukan” di jalanan Brebes saat ini. Maklum saja, baik pemimpin local alias bupati dan gubernurnya berasal dari partai dengan lambing kerbau. Dan tahukan sifat kerbau? Suka gupak alias mandi lumpur.

Jadi, jangan berharap banyak dengan terjadinya peralihan kekuasaan dari mantan militer didukung Demokrat yang elitis ke partai yang mencitrakan diri sebagai partai wong cilik ini. Sebagaimana yang terjadi dengan Brebes, maka sudah sepantasnya jika Jawa Tengah tetap memalingkan wajah dari Gehol. Ibarat pantun Gehol, bahwa Gehol milih Gehol dipigih.


Jika pemilihan bupati dan gubernur tak memberikan perubahan signifikan bagi kehidupan bangsa Gehol, apakah demikian juga dengan pemilihan presiden, dpr, dprd, dan kepala desa tahun mendatang? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Cobain BlackBerry Channel Yuk!

Kabar mengejutkan dari BlackBerry yang “membebaskan” BBM menuju berbagai OS. Tercatat, iOS 6 ke atas milik Apple dan Android ICS yang dibesut Google dan dibebaskan dipakai produsen handset mana saja bisa mencicipi sistem pesan instan yang sudah menyatu dengan BlackBerry.
Tampilan BBM 8 Beta

Kabar lainnya adalah, BlackBerry bersiap meluncurkan sosial media yang mirip seperti Twitter. Nah, karena menarik, maka saya coba untuk menjajal aplikasi teranyar dari perusahaan yang dulunya bernama RIM ini. Pertama kali, tentu saja kudu terdaftar di BlackBerry Beta Zone. Daftarnya mudah saja, tinggal masukin BlackBerry ID aja kok. Nah kalo sudah daftar, yuk kita coba BBM Channel versi beta.

Pertama, kita bakal disuguhin sama beberapa brand yang sudah punya BBM Channel. Ada Mercedes AMG Petronas, BlackBerry Live, CreakBerry, CrackBerry Kevin, BlackBerry OS, N4BB, BlackBerry Developer Channel, dan lainnya. Nah, kalo mau ikut salah satu dari BBM Channel di atas, tinggal klik dan join aja. Gampang banget, gak perlu nunggu undangan segala, hampir kayak Twitter kalo kita follow orang.

Tampilan Update Kontak
Kalo mau bikin BBM Channel sendiri, ya tinggal klik Create Channel aja. Prosesnya mirip sama daftar jejaring sosial lainnya. Tinggal create name,  deskripsi channel, lokasi dan ya biasa, data pemilik channel. Oya lupa, buat BBM Channel ini, BlackBerry udah upgrade BBM dari versi 7 ke versi 8 dan bisa didownload untuk OS 5 ke atas.

Tampilan dari BBM 8 ini mirip banget sama Twitter for BlackBerry. Bagian paling atas ada profil kita, kemudian deretan bawahnya ada chatting, biasa berlogo BBM seperti biasa. Kemudian ada ikon orang yang merupakan kontak dan sebelahnya ada ikon grup BBM. Yang baru tentu saja ikon share (bulatan dengan 3 kaki) yang merupakan logo BBM Channel. Dan terakhir ada ikon refresh yang berisi update terbaru dari kontak BBM kita.

Mau tahu lebih banyak, silakan aja lihat gambar-gambar yang saya share. Semoga bermanfaat.
Beberapa BBM Channel
Bikin BBM Channel Baru

Sudah Bikin BBM Channel

Statistik BBM Channel Mirip Twitter




Pengaturan Lokasi, Invite, Barcode, dan PIN BBM Channel




Berharap Harta Amalillah

Kisah tentang Bung Karno hingga detik ini selalu menghiasi telinga anak bangsa. Kisah mistis dan kekayaan Beliau merasuk dalam sanubari kaum-kaum pinggiran yang tak kebagian remah-remah kekayaan negeri ini. Termasuk kisah tentang harta Bung Karno sebagai dana revolusi yang di simpan di sebuah bank di negara Swiss yang bernilai triliunan rupiah sudah lama bergaung.

Di antara penggoreng isu harta karun Bung Karno, maka Yayasan Amalillah adalah yang terdepan. Menurut berbagai hikayat, Yayasan Amalillah diketuai oleh Raden Aiyon Suharis Restuningrat. Saat ini, kaki tangannya telah merambah di berbagai pelosok nusantara memburu mangsa.

Kampung-kampung di Kelurahan Sindangwangi pun masku perangkap para pemburu keuntungan dari keluguan warga. Kini, virus cepat kaya tanpa kerja mewabah dan mencuci otak para pengikut Yayasan Amalillah. Setiap saat, kertas bertanda tangan entah siapa dan mengatasnamakan EFG Bank yang ada di Swiss sana jadi sandaran. Tercatat, seorang kawan diklaim punya deposito di bank tersebut sebesar US$ 12,5 juta.

Dalam usahanya mengumpulkan dana, setiap warga kampung yang berminat cukup menyetorkan uang sebesar Rp 25.000 per orang sebagai biaya administrasi dan pada saatnya nanti akan memperoleh hibah dana revolusi Bung Karno yang disimpan di luar negeri dan akan dibayarkan melalui Bank Indonesia.

Tapi benarkah klaim ini? Lihat saja pengumuman dari Bank Indonesia berikut ini: 

No.6/41/BGub/Humas

BANK INDONESIA TIDAK MEMILIKI KAITAN DENGAN YAYASAN AMALLILLAH

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan masyarakat mengenai kebenaran isi dokumen/surat yang ditunjukkan oleh oknum/pihak tertentu mengenai rencana pencairan dana Yayasan Amallillah oleh Bank Indonesia melalui beberapa bank umum nasional pada akhir Maret 2004, dengan ini diberitahukan bahwa:
  1. Bank Indonesia tidak memiliki kaitan apapun, baik langsung maupun tidak langsung dengan Yayasan Amallillah.
  2. Bank Indonesia tidak pernah mengeluarkan surat keputusan/dokumen/persetujuan berkaitan dengan rencana pencairan dana Yayasan Amallillah tersebut.
  3. Bank Indonesia tidak mengelola rekening atas nama Yayasan Amallillah. Dengan demikian, kebenaran seluruh isi dokumen/surat tersebut tidak dapat
    dipertanggungjawabkan atau palsu.
Selanjutnya diharapkan kewaspadaan seluruh anggota masyarakat apabila ada oknum atau pihak tertentu yang akan memanfaatkan surat/dokumen palsu tersebut untuk kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, agar segera melaporkannya kepada pihak yang berwajib. 

Jakarta, 26 Maret 2004

Biro Komunikasi

Rusli Simanjuntak
Kepala Biro 

Nah, sudah jelas atau masih terpesona dengan iming-iming kaya tanpa usaha?


Ketika Jalan “Blekukan” Apa Gunanya Pajak?

Lihat Twitter saat senggang berita miring tentang tanah kelahiran yang didapat. Tersebutlah wilayah yang merasa rajin membayar pajak, ternyata harus rajin juga berpeluh ria di jalanan. Sayangnya, jalan yang biasa mereka gunakan jauh dari kata layak. Semua sudah berlubang, hingga mirip empang saat hujan mendera.

Jalur itu adalah jalur Bumiayu-Salem, urat nadi masyarakat Kecamatan Bantarkawung dan Salem. Masyarakat yang sudah lama “teraniaya” karena kurangnya perhatian Kabupaten Brebes dalam menyejahterakan mereka. Apalah daya, hingga bupati berganti berpuluh-puluh kali, mereka hanya kenyang dengan janji.

Sejuta marah dan keluh kesah seolah angin yang mendesah. Dianggap lalu oleh setiap yang mendengar. Terpaksalah mereka berinisiatif. Menggelontorkan marah meski dengan jalur yang sangat teramat sopan. Tulisan. Tujuannya hendak menyentil rasa malu para penguasa namun entah apakah sentilan itu dianggap ada.

Bahkan hingga ke social media sentilan menyebar, jalanan tetaplah berkubang. Blekukan ucap warga Gehol sana. Mirip jalan berlumpur yang biasa dilalui kerbau atau sapi. Yang bisa jadi “pakboletus” alias “tapak kebo lelene satus”. Ini artinya, jalanan sudah benar-benar menjelma menjadi empang. Salah siapa?

Tapi Brebesku memang sedang ayik-masyuk dengan ide memekarkan diri. Energi habis untuk meraih pemisahan yang dianggap jalan pintas menyejahterakan rakyat. Meski kuyakin, hanya segelintir elit yang merasakannya. Tidak sekedar jalur Bumiayu-Salem yang secara tradisi lekat dengan “blekukan”, jalur lainpun seolah “iri” sehingga merusakkan diri.
Brebesku, perbaikilah jalan warga-warga yang sudah lelah menunggu di sana.

Eyang Bulpusan

Ada yang menapikan peran dukun dalam kehidupan di dunia? Tentu saja banyak. Jika kau ingin dianggap alim, pintar, intelek, dan mengikuti perkembangan jaman, silakan tolak eksistensi dukun. Tapi wajib ingat bahwa tidak memercayai bukan berarti tidak ada.

Bagi kaum bulpusan sendiri, dukun dan segala jenis supranatural pastilah ada. Ia nyata senyata tubuh kita. Hanya saja, perlu latihan dan bakat untuk mampu menikmatinya. Jangan minder juga jika kau tak mampu menikmati olahan dan sajian para dukun. Jika kau tak merasakan manfaatnya, bukahkah tak rugi jika tak dapat menikmatinya?

Dukun dan perdukunan ibarat menu makanan. Tidak semua suka dan tentu saja tak ada larangan seseorang menyajikan dan memakan makanan yang tidak kita sukai bukan? Larangan untuk dukun dan perdukunan hanya ada di ranah supranatural juga. Kitab Suci.

Lalu bagaimana jika dukun dan perdukunan masuk dalam ranah kasat mata semisal undang-undang? Tentu saja bisa dan baik sepanjang yang dimasukkan adalah hal-hal yang bisa dilihat dan dirasakan semua orang tanpa perlu ritual dan latihan segala. Inilah yang coba digodok pemerintah.

Masalahkah jika yang beginian dimasukkan dalam undang-undang. Mari kita teliti ayat-ayatnya. 
Pasal 293 
(1). Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. 

(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). 

Pasal 545 
(1) Barang siapa menjadikan sebagai pencariannya untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.

(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan. Pasal 546 Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:  2. barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib; 3. barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri. 

Pasal 547

Seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan di bawah sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.

Melihat ayat-ayat di atas, masuk akal bukan hal-hal yang dijadikan peraturan dan tindak pidana. Pasal ini sejatinya hanya mengenai janji palsu seseorang yang menjanjikan bahwa mereka memiliki ilmu sakti dan menawarkannya kepada orang lain.

Jikapun janggal hanya ada pada pasal 547 mengenai benda-benda sakti. Bagaimana cara mengukur sebuah benda memiliki kesaktian atau tidak.